Negara di Tengah Perubahan Harga Minyak Dunia
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 28
Januari 2016
Buat Anda yang pernah
membaca buku No Ordinary Disruption
(2015), di sana disebutkan empat kekuatan global yang merombak semua tren di
dunia. Sesuai judulnya, perombakan itu
terjadi dengan cara-cara yang tidak biasa. Apa saja? Pertama, pergeseran pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi dari kawasan utara ke selatan, terutama ke China, India, dan Afrika.
Kedua, kemajuan teknologi yang mempercepat terjadinya perubahan, termasuk
perubahan di lingkungan ekonomi dan bisnis.
Ketiga, demografi.
Betul terjadi tren di sejumlah negara yang penduduknya kian menua (aging population). Namun, perkembangan
teknologi kesehatan dan kosmetika membuat orang-orang tua tadi tak lagi
menjadi beban. Mereka bukan sekadar menjadi orang jompo. Orang-orang tua
sekarang mempunyai daya beli yang luar biasa. Mereka semakin tua, tapi tidak
semakin miskin.
Keempat, dunia yang
kian terkoneksi melalui aktivitas perdagangan internasional, aliran modal,
maupun pergerakan orang dan informasi yang menembus batas-batas negara.
Mungkin karena buku
ini diluncurkan tahun 2015—yang artinya riset dilakukan tahun-tahun
sebelumnya, tiga penulisnya (Dobbs, Manyika, dan Woetzel) belum
memperhitungkan terjadinya penurunan harga minyak dunia hingga setajam ini.
Padahal, kita tahu naik turunnya harga minyak mengubah banyak tatanan dunia,
bahkan termasuk tatanan ekonomi dan geopolitik.
Lihat saja sekarang.
Ketika harga minyak anjlok rata-rata 70% dari di atas USD100 per barel
menjadi tinggal USD30 per barel, sejumlah perusahaan minyak dunia
(International Oil Company atau IOC) rontok.
Raksasa minyak Shell,
misalnya, tahun ini bakal memangkas 6.500 karyawannya dan memotong dana
investasi hingga USD7 miliar (atau setara Rp94,2 triliun). Begitu juga dengan
Societa Anonima Italiana Perforazioni E Montaggi (Saipem), perusahaan
kontraktor minyak dan gas Italia, bakal mengurangi hingga 8.800 karyawannya
dalam dua tahun ke depan. Saipem adalah anak usaha dari perusahaan energi
Italia, ENI. Di Inggris, British Petroleum juga akan memangkas 4.000
karyawannya hingga 2017.
Menurut laporan BBC
News, yang mengutip riset perusahaan akuntansi Moore Stephen, anjloknya harga
minyak membuat 28 perusahaan migas global terancam bangkrut. Pemicunya karena
dibatalkannya proyek-proyek migas di berbagai belahan dunia yang nilainya
mencapai USD200 miliar.
Harap dicatat, itu
saat harga minyak mentah dunia masih berkisar USD30 per barel. Padahal, IMF
meramalkan bahwa harga minyak bakal turun sampai USD20 per barel.
Negara yang Terpukul
Itu pada tataran
korporasi. Di tingkat negara pun fenomenanya nyaris sama. Rusia merupakan
salah satu negara yang paling terpukul. Menurut perkiraan IMF, pada 2015
pertumbuhan ekonomi Rusia menyusut 3,7% dibanding tahun sebelumnya.
Perekonomian Rusia memang sangat tergantung sektor migas. Sekitar 70% ekspor
Rusia datang dari migas.
Menurut BBC News,
setiap harga minyak turun USD1 per barel, Rusia bakal kehilangan penerimaan
hingga USD2 miliar.
Arab Saudi pun
terpukul. Sebab sekitar 90% penerimaan pemerintahnya memang datang dari
bisnis migas. Untuk menutup kekurangan anggaran belanja akibat turunnya harga
minyak, pemerintah Arab Saudi terpaksa berutang hingga USD4 miliar (Rp54
triliun) melalui penerbitan obligasi.
Penurunan harga minyak
juga membuat pertumbuhan orang-orang kaya di Negeri Petrodolar itu bakal
melambat. Mengutip data Wealthinsight , sepanjang 2015-2020 tingkat
pertumbuhan orang-orang kaya di Arab Saudi diperkirakan hanya akan mencapai
12,4%. Padahal, selama 2010-2015 tingkat pertumbuhannya masih bisa mencapai
25%.
Iran, yang baru
terbebas dari sanksi negara-negara Barat, juga terpukul oleh jatuhnya harga
minyak. Separuh penerimaan Iran datang dari bisnis minyak. Lalu, 80% lebih
ekspor Iran juga berupa minyak.
Mereka yang Untung
Namun, tak semua
negara terpukul oleh jatuhnya harga minyak dunia. Negara-negara Eropa mungkin
malah diuntungkan. BBC News melaporkan, setiap harga minyak turun hingga 10%,
pertumbuhan ekonomi negara-negara Eropa bakal naik 0,1%. Ini terutama dipicu
oleh meningkatnya konsumsi.
China, sebagai negara
yang rakus energi, juga diuntungkan oleh penurunan harga migas. Sepanjang
2014, China mengimpor lebih dari 7,15 juta barel minyak per hari (bandingkan
dengan Indonesia yang sekitar 600.000 barel per hari), atau tumbuh lebih dari
15% dibandingkan tahun sebelumnya. Jadi, penurunan harga minyak ini
betul-betul menguntungkan China. Meski begitu, penurunan harga migas ini
diperkirakan tak akan mampu dengan cepat mengatrol pelemahan pertumbuhan
ekonomi China.
India pun serupa.
Negara ini mesti mengimpor 70% dari seluruh kebutuhan minyaknya. Penurunan
harga jelas membuat biaya subsidi minyak India terpangkas hingga mencapai
USD2,5 miliar (Rp33,75 triliun). Lumayan, meski ada syaratnya, yakni harga
minyak dunia harus terus rendah.
Manfaatkan Peluang
Lalu, bagaimana dengan
kita? Kata orang, ”Opportunity never
knocks twice.” Kesempatan tak datang dua kali. Jadi, menurut saya, kita
mesti memandang jatuhnya harga minyak dunia sebagai peluang. Bagaimana
caranya?
Pertama, kita mesti
mengerem volume produksi minyak dan gas. Buat apa menaikkan volume produksi,
toh harganya sedang murah. Sebaiknya kita berhemat, supaya umur cadangan
minyak kita bertahan lebih dari 10 tahun ke depan. Ini akan menjadi warisan
penting bagi anak-cucu kita.
Kedua, kita dorong
Pertamina untuk lebih sigap memborong ladang-ladang minyak di luar negeri
yang tengah bermasalah. Ini agar cadangan minyak kita bertambah lagi dan
Pertamina betul-betul menjadi perusahaan raksasa sekelas Petronas.
Ketiga, jangan
berhenti mengembangkan energi baru terbarukan (EBT). Biar bagaimana energi
fosil pada saatnya bakal habis. Pemerintah perlu membuat aturan yang tegas
soal ini.
Keempat, meski harga
minyak murah, kita tetap harus berhemat. Perilaku kita sekarang ini masih
sangat boros energi. Itu sebabnya saya berharap pemerintah tak tergoda untuk
bersikap populis dengan menurunkan harga BBM. Belakangan saya memang
mendengar ada anggota DPR yang sudah melontarkan pernyataan tentang perlunya
pemerintah menurunkan harga BBM. Abaikan saja.
Sepanjang 2015,
pemerintah masih mengalokasikan Rp81,8 triliun untuk subsidi BBM. Ke depan,
hapus subsidi BBM dan alokasikan ke dana untuk pendidikan, kesehatan dan
membangun sarana transportasi publik.
Di Jakarta, Gubernur
Basuki Tjahaja Purnama siap menanggung biaya kuliah bagi siswa SMA atau SMK
ber-KTP DKI Jakarta yang diterima di perguruan tinggi negeri di mana pun.
Langkah yang luar biasa. Ketimbang APBD DKI Jakarta digerogoti para koruptor,
lebih baik diberikan kepada anak-anak yang pintar.
Pemerintah perlu
meniru langkah Gubernur Basuki. Ketimbang memanjakan perilaku rakyat kita
yang masih boros energi, lebih baik alihkan dana subsidi BBM untuk menyubsidi
anak-anak negeri yang pintar-pintar. Jauh lebih bermanfaat, bukan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar