Polisi juga Punya Hak Asasi
Reza Indragiri Amriel ; Penulis
Buku Polisi [bukan] Manusia;
Alumnus Psikologi Forensik The
University of Melbourne
|
MEDIA INDONESIA,
22 Januari 2016
DALAM satu bulan ini saja ada sekian banyak
peristiwa mengenaskan yang dialami personel Polri. Sebut saja ada polisi yang
menjadi korban serangan teroris, dihajar oknum tentara, ditembaki gerombolan
pengacau di Papua, dan yang mutakhir, polisi dianiaya sindikat narkoba.
Polisi bertugas melindungi hak asasi manusia
(HAM) warga sipil. Namun, publik kerap abai bahwa polisi, baik selaku manusia
pribadi maupun individu profesi, juga mempunyai HAM yang harus dijamin
pemenuhannya. Diasumsikan, faktor mendasar di balik pengabaian HAM polisi itu
ialah anggapan polisi sebagai makhluk yang melampaui manusia. Tidak hanya
membuat polisi tidak mungkin jatuh sebagai korban, kondisi omnipotent tersebut justru memosisikan
mereka sebagai satu-satunya pihak yang selalu disalahkan ketika terjadi
pergesekan antara polisi dan masyarakat.
Anggapan seperti itu pula yang boleh jadi
membuat masyarakat dan media lebih peduli pada data tentang jum lah dan jenis
pelanggaran yang dilakukan personel Polri. Kehirauan setara tidak diberikan
pada jumlah dan penyebab cedera maupun tewasnya anggota korps Tribrata.
Padahal, tidak tertutup kemungkinan kemalangan yang diderita personel Polri
tersebut juga disebabkan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran terhadap HAM mereka.
Terkuncinya persepsi bahwa HAM semata-mata
merupakan milik warga sipil bisa dipastikan menyebabkan masyarakat sulit
memikirkan nasib personel kepolisian yang menjadi korban dalam
insiden-insiden kritis. Efek lanjutannya, manakala HAM polisi dinihilkan,
tidak begitu manusiawi untuk menuntut polisi harus tetap mampu menjamin
terlindunginya HAM masyarakat sipil.
Ketika masyarakat relatif tidak memiliki
wacana mengenai HAM polisi, institusi kepolisian sendiri sepatutnya memiliki
keinsafan yang lebih baik dalam rangka memastikan bahwa HAM polisi bukanlah
isu tiap pribadi personel, melainkan masalah yang dikelola secara
terorganisasi (terlembaga).
Internal dan eksternal
Indikator bagi HAM polisi yang terkelola oleh
organisasi kepolisian ialah, antara lain, tersedianya berbagai pranata
tertulis yang mengatur tindak-tanduk personel kepolisian. Prosedur tetap
(protap) penanganan gerombolan pengacau keamanan, misalnya, dapat dipandang
telah peka HAM polisi apabila di dalamnya juga mencantumkan gambaran
definitif tentang cakupan hak personel dalam situasi kritis dan mekanisme
yang dapat personel tempuh ketika HAM mereka tercederai. Jadi, protap peka
HAM polisi tersebut tidak berhenti pada apa yang harus polisi lakukan
terhadap pengacau, tetapi juga berlanjut dengan uraian tentang bagaimana
sistem perlindungan HAM polisi bisa difungsikan. Salah satu bentuk layanan
utama bagi perlindungan HAM polisi tersebut ialah jaminan penyelenggaraan
investigasi atas situasi yang memviktimisasi polisi.
Selain masyarakat ataupun pihak-pihak
eksternal institusi kepolisian lainnya, organisasi kepolisian sendiri juga
bisa menjadi pelaku pelanggaran HAM terhadap personelnya, baik yang dilakukan
secara individual (ulah atasan terhadap bawahan) maupun secara institusional
yakni ketika organisasi memang tidak berprakarsa membangun peranti-peranti
perlindungan HAM polisi.
Bentuk-bentuk pelanggaran HAM polisi secara
internal tersebut biasanya bersangkut paut dengan pengabaian terhadap hak-hak
profesional personel. European Platform
for Policing and Human Rights memuat beberapa rinciannya; hak hidup, hak
atas pengadilan yang adil, hak privasi, kebebasan berekspresi, kebebasan
berhimpun dan berkelompok, bebas dari diskriminasi, hak atas lingkungan kerja
yang adil dan mengembangkan, serta jaminan keamanan sosial.
Ketika kasus pelanggaran terhadap HAM polisi
oleh pihak eksternal sering luput dari perhatian publik, pelanggaran terhadap
HAM personel yang berlangsung di lingkungan internal kepolisian berpeluang
lebih tinggi lagi terlewatkan dari cermatan khalayak. Konsekuensinya, lebih
pelik pula bagi polisi-korban untuk memulihkan HAM mereka.
Pada sisi itulah timbul kerisauan. Adakah
kemungkinan bahwa 335 anggota Polri yang dipecat pada 2015 (meningkat hampir
tiga kali lipat jika dibandingkan dengan 119 polisi yang dipecat pada tahun
sebelumnya), hingga beberapa segi juga diakibatkan pelanggaran HAM yang
mereka alami?
Pelanggaran terhadap HAM personel, baik oleh
pihak internal maupun eksternal, membuat polisi-polisi tersebut mengalami
demoralisasi yang kemudian termanifestasikan ke dalam bentuk perilaku-perilaku
tak pantas. Tragisnya, sasaran paling empuk penyaluran demoralisasi itu
justru pihak yang semestinya polisi ayomi,
yaitu masyarakat. Bentuknya mulai dari mutu pelayanan yang buruk hingga
tindak kriminalitas yang memangsa masyarakat.
Beda tujuan
Kendati HAM polisi sama signifikannya dengan
HAM warga sipil, tujuan perlindungan HAM keduanya berbeda satu sama lain.
Perlindungan terhadap HAM masyarakat sipil berkutat pada bagaimana agar HAM
mereka terjaga, terlindungi, termasuk oleh institusi kepolisian. Sementara
itu, perlindungan terhadap HAM polisi ditujukan agar HAM mereka bisa terjaga,
terlindungi, sehingga para awak korps Tribrata tersebut pada gilirannya juga
mampu menjaga dan melindungi HAM masyarakat sipil.
Allahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar