Sabtu, 23 Januari 2016

ISIS, Ikhwanul Muslimin, dan Salafi

ISIS, Ikhwanul Muslimin, dan Salafi

Ibnu Burdah  ;   Pemerhati Timur Tengah dan dunia Islam;
Dosen UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
   JAWA POS, 16 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

ISIS belum berhenti menebar kekejian ke berbagai penjuru dunia. Jakarta menjadi pilihan aksi brutal mereka setelah rentetan kekejian di belahan dunia lain. Kekejian secara ekstrem merupakan pusat ideologi dan trademark kelompok itu.

Apa sesungguhnya basis ideologi bagi negara horor ISIS yang menjadi pembicaraan luas saat ini? Adakah hubungannya dengan Ikhwanul Muslimin (IM), kelompok Salafi Jihadi, dan lainnya?

Abu Sufyan Amr Sadad al Kurdasi dan Abu Zayad Muhammad Ali Ya’qub al Nubi dalam Haqiqat al-Dawlah al-Islamiyah Daisy (2015: 8-10) menyebutkan, akar ideologis ISIS terbentuk melalui proses panjang. Ia melemparkan jaring sejarah jauh ke belakang hingga ke masa pembubaran Turki Ustmani pada 1924. Menurut mereka, peristiwa itu telah membuat keperihan yang luas dalam kalangan umat Islam, khususnya di Timur Tengah.

Kosongnya khilafah itu memunculkan reaksi yang begitu luas di kalangan aktivis muslim, terutama yang ’’penuh semangat (mutahammis)’’. Cerita kemudian berlanjut dengan berbagai upaya untuk membangkitkan kembali politik Islam (baca: khilafah dan semacamnya).

Salah satu tokoh yang berupaya membangunkan kembali kekhilafahan menurut mereka adalah Hasan al Bana yang kemudian mendirikan jamaah Al Ikhwan al Muslimin pada 1928 di Alexandria, Mesir.
Karisma dan kekuatan prinsip tokoh itu membuat organisasi tersebut tumbuh besar dan menjadi kelompok politik Islam yang paling diperhitungkan dalam sejarah politik Islam. Bahkan, Al Bana, menurut penulis di atas, berhasil membangun manhaj dan garis ideologi tersendiri dalam gerakan politik Islam. Paham aktivisme Islam Al Bana itu kemudian menjadi rujukan para aktivis politik Islam secara luas.

Mudah ditebak, cerita kemudian mengalir hingga ke Sayyid Qutub, Abi A’la al Maududi, dan seterusnya. Ini narasi yang sangat dikenal di kalangan penstudi politik Islam, bahkan di kalangan mubtadiin. Narasi penulis di atas, menurut hemat saya, memang terlalu jauh melempar jangkar sejarah ke belakang. Bahkan, upaya pengaitan itu terkesan dipaksakan.

Dengan mengaitkan ISIS dengan gerakan politik Islam Al Bana dan lainnya, tokoh itu terlihat jelas hendak berupaya melepaskan ikatan ISIS dengan Salafi. Dia berupaya menunjukkan pendapat para ulama Salafi mengutuk tindakan dan perilaku ISIS. Nama-nama yang dikutip adalah pentolan-pentolan Salafi, yakni Abdul Aziz bin Baz, Abdul Aziz bin Ali Syekh, Syekh Salih Fauzan, Syekh Abdul Muhsin Ibad, ulama Salafi Jihadi, Syekh Abu Muhammad al-Maqdisi, dan tokoh-tokoh lainnya (h 191–206).

Namun, di bagian akhir bukunya, penulis buku tersebut seperti keceplosan. Dia menyatakan secara cukup jelas bahwa pentolan-pentolan ISIS memang mengidolakan tokoh-tokoh Salafi tersebut, kendati para tokoh itu mengecam ISIS dan Al Qaeda.

Karena itu, entah bermaksud menyanggah buku tersebut atau tidak, Abdul Bari Athwan, peneliti ISIS yang paling dirujuk saat ini, menolak keras pengaitan ISIS dengan Ikhwan. Menurut dia, Al Baghadi dan kelompoknya sama sekali tak bersentuhan dengan Ikhwan. Tak ada sedikit pun bau Ikhwan dalam perjalanan sejarah Al Baghdadi. Bahkan, dia menulis tentang hal itu dalam bab khusus ’’ hal kana Ikhwaniyan?’’ pada bukunya, al-Dawlah al-Islamiyyah: al-Judzur, alTawakhkhush, al-Mustaqbal (2015).

Menurut dia, keterkaitan ISIS dengan Salafi, khususnya Salafi Jihadi Alami (Salafi Jihad Global), sangatlah kuat. Menurut penelitiannya, termasuk wawancara dengan sejumlah orang yang pernah hidup sepenjara dengan Al Baghadi, tetangga ’’kos’’ saat kuliah, dan para tetangganya, inspirasi Al Baghadi untuk bergabung dengan kelompok teror satu ke yang lain, lalu membangun kelompok sendiri, adalah paham Wahabi Jihadi Takfiri. Paham itu memang berkembang kuat di sejumlah wilayah di Iraq. Menurut dia, kebiadaban ISIS sekarang ini merupakan hasil racikan paham Wahabi Jihadi Takfiri dengan kultur kekerasan Iraq.
Menurut dia, di samping tercatat sebagai tempat lahir dan pusat peradaban (mahdul hadharah) dalam sejarah, Iraq merupakan negara yang memiliki catatan tindakan brutal yang panjang. Ibnu Khaldun juga pernah mencatat tumbuhnya kelompok yang sangat brutal dalam sejarah Islam di wilayah Iraq, tepatnya Mosul, ibu kota ISIS saat ini.

Menurut sumber-sumber wawancaranya (19-21), tak ada sedikit pun indikasi Al Baghdadi terkait dengan IM. Sebab, dalam ceramah-ceramah yang disampaikan, dia selalu mengecam keras kelompok IM sebagai telah keluar dari Islam. Dia juga mengecam keras keterlibatan ’’kelompok Ikhwani’’ Iraq untuk bergabung dengan pemerintahan yang disebutnya boneka dan Syiah.

Hal itu membuat marah Al Baghdadi yang dikenal kalem dan pendiam. Memang benar ada kabar, sebelum tersiar isu ISIS, ulama rujukan IM Syekh Yusuf al Qardhawi menyebut nama Al Baghdadi sebagai kader IM, tetapi kemudian segera diralat sendiri.

Waspadalah

Dari sisi historis, pendapat yang mengaitkan ISIS dengan Jihadi Salafi Takfiri lebih kuat ketimbang yang mengaitkannya dengan IM.
Namun, jika ditilik dari sisi investasi ideologis, dua pendapat di atas ada benarnya. ISIS ada benarnya dikaitkan dengan sebagian atau sempalan IM dalam konteks kesamaan ideologi takfiri. Misalnya, yang disuarakan Sayyid al Qutub dalam ma’alim fi al-Thariq maupun saudaranya, Muhammad al Qutb. Sedangkan terkait dengan Salafi, tak dimungkiri bahwa ISIS mengidolakan banyak tokoh yang menjadi rujukan Salafi secara umum seperti disebutkan di atas, bukan hanya Salafi Jihadi.

Karena itu, kelompok-kelompok muslim saat ini, semua tanpa pandang bulu, harus berani melakukan introspeksi diri mengenai hal itu. Keislaman kita rentan ditafsirkan secara ekstrem oleh sebagian umat Islam. Dan ingat, jika kita menyimak pidato Al Baghdadi (khotbah Jumat) di sebuah masjid di Mosul, isi khotbah dan bacaannya sama persis dengan yang dibaca khatib-khatib kita, terutama khatib ’’kota’’. Hadis yang paling ditonjolkan juga sama, yakni hadis bidah. Bahwa semua bidah itu sesat dan setiap kesesatan dalam neraka. Waspadalah, waspadalah. Introspeksilah, introspeksilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar