ISIS, Ikhwanul Muslimin, dan Salafi
Ibnu Burdah ; Pemerhati Timur Tengah dan dunia Islam;
Dosen UIN Sunan Kalijaga
Jogjakarta
|
JAWA
POS, 16 Januari 2016
ISIS belum berhenti menebar kekejian ke
berbagai penjuru dunia. Jakarta menjadi pilihan aksi brutal mereka setelah
rentetan kekejian di belahan dunia lain. Kekejian secara ekstrem merupakan
pusat ideologi dan trademark kelompok itu.
Apa sesungguhnya basis ideologi bagi negara
horor ISIS yang menjadi pembicaraan luas saat ini? Adakah hubungannya dengan
Ikhwanul Muslimin (IM), kelompok Salafi Jihadi, dan lainnya?
Abu Sufyan Amr Sadad al Kurdasi dan Abu Zayad
Muhammad Ali Ya’qub al Nubi dalam Haqiqat al-Dawlah al-Islamiyah Daisy (2015:
8-10) menyebutkan, akar ideologis ISIS terbentuk melalui proses panjang. Ia
melemparkan jaring sejarah jauh ke belakang hingga ke masa pembubaran Turki
Ustmani pada 1924. Menurut mereka, peristiwa itu telah membuat keperihan yang
luas dalam kalangan umat Islam, khususnya di Timur Tengah.
Kosongnya khilafah itu memunculkan reaksi yang
begitu luas di kalangan aktivis muslim, terutama yang ’’penuh semangat (mutahammis)’’.
Cerita kemudian berlanjut dengan berbagai upaya untuk membangkitkan kembali
politik Islam (baca: khilafah dan semacamnya).
Salah satu tokoh yang berupaya membangunkan
kembali kekhilafahan menurut mereka adalah Hasan al Bana yang kemudian
mendirikan jamaah Al Ikhwan al Muslimin pada 1928 di Alexandria, Mesir.
Karisma dan kekuatan prinsip tokoh itu membuat
organisasi tersebut tumbuh besar dan menjadi kelompok politik Islam yang
paling diperhitungkan dalam sejarah politik Islam. Bahkan, Al Bana, menurut
penulis di atas, berhasil membangun manhaj dan garis ideologi tersendiri
dalam gerakan politik Islam. Paham aktivisme Islam Al Bana itu kemudian menjadi
rujukan para aktivis politik Islam secara luas.
Mudah ditebak, cerita kemudian mengalir hingga
ke Sayyid Qutub, Abi A’la al Maududi, dan seterusnya. Ini narasi yang sangat
dikenal di kalangan penstudi politik Islam, bahkan di kalangan mubtadiin.
Narasi penulis di atas, menurut hemat saya, memang terlalu jauh melempar
jangkar sejarah ke belakang. Bahkan, upaya pengaitan itu terkesan dipaksakan.
Dengan mengaitkan ISIS dengan gerakan politik
Islam Al Bana dan lainnya, tokoh itu terlihat jelas hendak berupaya
melepaskan ikatan ISIS dengan Salafi. Dia berupaya menunjukkan pendapat para
ulama Salafi mengutuk tindakan dan perilaku ISIS. Nama-nama yang dikutip
adalah pentolan-pentolan Salafi, yakni Abdul Aziz bin Baz, Abdul Aziz bin Ali
Syekh, Syekh Salih Fauzan, Syekh Abdul Muhsin Ibad, ulama Salafi Jihadi,
Syekh Abu Muhammad al-Maqdisi, dan tokoh-tokoh lainnya (h 191–206).
Namun, di bagian akhir bukunya, penulis buku
tersebut seperti keceplosan. Dia menyatakan secara cukup jelas bahwa pentolan-pentolan
ISIS memang mengidolakan tokoh-tokoh Salafi tersebut, kendati para tokoh itu
mengecam ISIS dan Al Qaeda.
Karena itu, entah
bermaksud menyanggah buku tersebut atau tidak, Abdul Bari Athwan, peneliti
ISIS yang paling dirujuk saat ini, menolak keras pengaitan ISIS dengan
Ikhwan. Menurut dia, Al Baghadi dan kelompoknya sama sekali tak bersentuhan
dengan Ikhwan. Tak ada sedikit pun bau Ikhwan dalam perjalanan sejarah Al
Baghdadi. Bahkan,
dia menulis tentang hal itu dalam bab khusus ’’ hal kana Ikhwaniyan?’’ pada
bukunya, al-Dawlah al-Islamiyyah: al-Judzur, alTawakhkhush, al-Mustaqbal
(2015).
Menurut dia, keterkaitan ISIS dengan Salafi,
khususnya Salafi Jihadi Alami (Salafi Jihad Global), sangatlah kuat. Menurut
penelitiannya, termasuk wawancara dengan sejumlah orang yang pernah hidup
sepenjara dengan Al Baghadi, tetangga ’’kos’’ saat kuliah, dan para
tetangganya, inspirasi Al Baghadi untuk bergabung dengan kelompok teror satu
ke yang lain, lalu membangun kelompok sendiri, adalah paham Wahabi Jihadi
Takfiri. Paham itu memang berkembang kuat di sejumlah wilayah di Iraq.
Menurut dia, kebiadaban ISIS sekarang ini merupakan hasil racikan paham
Wahabi Jihadi Takfiri dengan kultur kekerasan Iraq.
Menurut dia, di samping tercatat sebagai tempat
lahir dan pusat peradaban (mahdul hadharah)
dalam sejarah, Iraq merupakan negara yang memiliki catatan tindakan brutal
yang panjang. Ibnu Khaldun juga pernah mencatat tumbuhnya kelompok yang
sangat brutal dalam sejarah Islam di wilayah Iraq, tepatnya Mosul, ibu kota
ISIS saat ini.
Menurut sumber-sumber wawancaranya (19-21),
tak ada sedikit pun indikasi Al Baghdadi terkait dengan IM. Sebab, dalam
ceramah-ceramah yang disampaikan, dia selalu mengecam keras kelompok IM
sebagai telah keluar dari Islam. Dia juga mengecam keras keterlibatan
’’kelompok Ikhwani’’ Iraq untuk bergabung dengan pemerintahan yang disebutnya
boneka dan Syiah.
Hal itu membuat marah Al Baghdadi yang dikenal
kalem dan pendiam. Memang benar ada kabar, sebelum tersiar isu ISIS, ulama
rujukan IM Syekh Yusuf al Qardhawi menyebut nama Al Baghdadi sebagai kader
IM, tetapi kemudian segera diralat sendiri.
Waspadalah
Dari
sisi historis, pendapat yang mengaitkan ISIS dengan Jihadi Salafi Takfiri
lebih kuat ketimbang yang mengaitkannya dengan IM.
Namun,
jika ditilik dari sisi investasi ideologis, dua pendapat di atas ada
benarnya. ISIS ada benarnya dikaitkan dengan sebagian atau sempalan IM dalam
konteks kesamaan ideologi takfiri. Misalnya, yang disuarakan Sayyid al Qutub
dalam ma’alim fi al-Thariq maupun saudaranya, Muhammad al Qutb. Sedangkan
terkait dengan Salafi, tak dimungkiri bahwa ISIS mengidolakan banyak tokoh
yang menjadi rujukan Salafi secara umum seperti disebutkan di atas, bukan
hanya Salafi Jihadi.
Karena itu, kelompok-kelompok muslim saat ini,
semua tanpa pandang bulu, harus berani melakukan introspeksi diri mengenai
hal itu. Keislaman kita rentan ditafsirkan
secara ekstrem oleh sebagian umat Islam. Dan ingat, jika kita menyimak pidato
Al Baghdadi (khotbah Jumat) di sebuah masjid di Mosul, isi khotbah dan
bacaannya sama persis dengan yang dibaca khatib-khatib kita, terutama khatib
’’kota’’. Hadis yang paling ditonjolkan juga sama, yakni hadis bidah. Bahwa semua bidah itu
sesat dan setiap kesesatan dalam neraka. Waspadalah,
waspadalah. Introspeksilah, introspeksilah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar