Proeksistensi
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 29 Januari
2016
Candi Borobudur yang
berada di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, oleh UNESCO ditetapkan sebagai
salah satu dari tujuh keajaiban dunia.
Sekalipun candi ini
merupakan warisan Hindu-Buddha yang dibangun sekitar abad ke-7, masyarakat
sekelilingnya mayoritas beragama Islam, termasuk mereka yang bekerja sebagai
penjaga keamanan, penjual suvenir, pemandu wisata, dan pekerja lain yang
berkaitan dengan Borobudur.
Oleh karena itu, sulit dipahami oleh masyarakat Islam sekitar ketika dulu
pernah ada orang meledakkan bom dengan tujuan untuk menghancurkan monumen
sejarah ini dengan alasan akan merusak akidah umat Islam.
Patung-patung itu
dianggap berhala yang diharamkan untuk disembah. Padahal, jangankan agama
Islam, agama Hindu-Buddha pun tidak mengajarkan menyembah batu.
Orang Islam yang bertawaf mengelilingi Kakbah dan berebut
mencium Hajar Aswad juga bukan memuja Kakbah.
Terbayang, andaikan
Borobudur ini berada di Timur Tengah, mungkin sekali telah dihancurkan oleh
kelompok Taliban atau pun ISIS karena mereka memang rendah apresiasinya
terhadap warisan dan monumen sejarah. Sekian banyak warisan budaya keagamaan,
termasuk gereja yang usianya ratusan tahun, merekahancurkan.
Karena terlahir dan
tumbuh dewasa di daerah Magelang, saya merasakan dan melihat sendiri betapa
masyarakat di sana hidup damai dalam keragaman agama dan budaya. Di sana
terdapat pusat pendidikan seminari Katolik yang terkenal di tingkat Asia
Tenggara, yaitu di Muntilan dan Mertoyudan.
Tak jauh dari situ
terdapat pondok pesantren tua yang tersohor, misalnya saja Pesantren
Watucongol, Pesantren Pabelan, Pesantren Tegalrejo, dan Pesantren Payaman. Di
Muntilan juga terdapat bangunan Kelenteng Konghucu tertua di Indonesia. Jadi,
Magelang merupakan daerah titik temu berbagai agama dan budaya tua yang
semuanya hidup damai, berdampingan, dan tidak saling menghancurkan, yang saya
istilahkan proeksistensi, bukan sekadar koeksistensi.
Akhir-akhir ini muncul
suasana batin sebagian umat Islam yang selalu menekankan perbedaan yang
mengarah pada kebencian dan permusuhan terhadap kelompok umat beragama lain.
Bahkan terhadap sesama muslim hanya karena berbeda mazhab, mereka mudah
melakukan kekerasan. Perlu kita sadari bahwa ajaran dasar Islam itu satu,
namun memungkinkan muncul tafsiran yang berbeda, sehingga melahirkan beragam
mazhab.
Namun, ajaran dasarnya
tak pernah berubah sejak zaman Rasulullah sampai hari ini. Sejak dari doktrin
bagaimana salat, puasa, zakat, dan haji, semuanya sama dan tak berubah.
Tetapi ketika menyangkut kekuasaan politik yang berimplikasi pada keuntungan
ekonomi, muncullah ketegangan dan pertikaian antarkelompok.
Situasi ini semakin
memburuk ketika ada kekuatan luar yang mendompleng mengambil keuntungan. Apa
yang terjadi di Timur Tengah dan Indonesia selalu terkena dampaknya, akarnya
adalah persaingan politik-ekonomi dan kekuasaan dengan melibatkan kekuatan
asing, Amerika dan Rusia.
Khususnya di wilayah
Magelang, saya mengalami sendiri. Dulu perbedaan agama dan mazhab itu tidak
menimbulkan perpecahan dalam keluarga dan masyarakat. Namun, akhir-akhir ini
umat beragama di berbagai kawasan cenderung menjadi sensitif dan pemarah
ketika melihat perbedaan. Berbeda itu tidak bisa dinafikan, bahkan kini kian
membesar dengan hadirnya revolusi teknologi informatika, terutama internet.
Kalau kita tidak siap menghadapi maka jangan-jangan keberagamaan justru akan
menjadi pemicu keresahan dan perpecahan masyarakat. Agama bukan memperkuat
negara, melainkan malah jadi beban negara.
Kalau setiap
perbedaan, lalu disikapi dengan penindasan dan ancaman, ini menunjukkan
negara gagal melindungi dan mendidik warganya untuk hidup damai saling
menghormati. Lebih dari itu, kalangan intelektual dan ulama berarti gagal
menawarkan jalan damai bagi umatnya yang bertikai. Kesimpulan akhir bisa
mengarah bahwa umat beragama, termasuk partai keagamaan, lebih disibukkan
oleh percekcokan ketimbang memajukan peradaban, pendidikan, dan kesejahteraan
masyarakat.
Slogan Bhinneka
Tunggal Ika dan Islam sebagai rahmat hanya berhenti sebagai pernyataan
verbal. Ini mesti menjadi keprihatinan kita semua, jangan sampai organisasi
semacam ISIS yang merupakan urusan internal Irak dan Suriah menjalar ke
Indonesia. Apa urusan kita dengan ISIS?
Pertanyaan serupa juga
berlaku dengan ide mendirikan kekhalifahan, yang sesungguhnya bagi umat Islam
Indonesia tidak relevan. Karena umat Islam Indonesia justru memiliki prestasi
politik yang luar biasa, yaitu ikut mendirikan Republik Indonesia, bukan
negara agama, bukan negara sekuler, bukan pula sistem dinasti atau khalifah
sebagaimana yang masih berlaku di Timur Tengah.
Dulu di Indonesia
berdiri banyak kesultanan yang kemudian bergabung masuk dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Jadi, isu dan agenda kekhalifahan yang diusung ISIS tidak
relevan untuk gerakan Islam Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar