Selasa, 26 Januari 2016

Kemiskinan dan Daya Saing Bangsa

Kemiskinan dan Daya Saing Bangsa

A Prasetyantoko ;  Dosen pada Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta
                                                      KOMPAS, 25 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada yang menarik dari dua berita berikut ini. Pertama, kajian mengenai kemiskinan multidimensi yang diluncurkan Kompas, Ford Foundation, dan Perkumpulan Prakarsa. Kedua, pencanangan kereta cepat Jakarta-Bandung oleh Presiden Joko Widodo. Adakah kaitan keduanya?

Dalam pidatonya, Presiden menekankan arti penting daya saing bangsa menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Untuk itu, pembangunan infrastruktur fisik harus dipercepat. Pembangunan jalur kereta cepat Jakarta-Bandung adalah bagian dari upaya tersebut. Kendati ada kontroversi mengenai urgensi pembangunannya, kita terima saja argumen proyek padat karya ini.

Harus diakui, pembangunan infrastruktur fisik membuka lapangan kerja cukup masif. Ada pula dampak ikutan seiring pembangunan kota-kota yang dilewati jalur kereta cepat. Jelas, proyek ini mendukung penyerapan tenaga kerja. Namun, pembukaan lapangan kerja hanya bagian kecil dari pembangunan manusia. Masih ada begitu banyak dimensi lain yang perlu diperhatikan.

Dalam Laporan Pembangunan Manusia 2015 terbitan UNDP bertema ”Work for Human Development”, ada perbedaan mendasar antara lapangan kerja (job) dan pekerjaan (work). Untuk membangun manusia, membuka lapangan kerja saja tidak cukup, tetapi harus menciptakan pekerjaan.

Pekerjaan tak sekadar mendapatkan upah. Pekerjaan sosial tak berorientasi imbalan materi. Pekerja seni menganggap pendapatan material secara relatif. Di era digital, pekerjaan yang menuntut kreativitas, ekspresi kebebasan, dan inovasi marak terjadi. Semua bukan perkara uang belaka.

Bagi kebijakan publik, implikasi pembangunan tidak hanya soal fisik, tetapi juga dimensi tak material. Sayangnya, pemerintah masih terlalu fokus pada pembangunan fisik. Beban menyerap tenaga kerja guna mengurangi pengangguran dan kemiskinan masih terlalu dominan. Mestinya, dimensi lain tetap harus dijaga.

Pembukaan lapangan kerja memang berguna mengatasi kemiskinan. Namun, harus disadari, kemiskinan bersifat multidimensi. Program pengentasan rakyat miskin pun mempertimbangkan banyak dimensi kehidupan. Indeks Kemiskinan Multidimensi mengukur kemiskinan dari tiga pokok, yaitu kesehatan, pendidikan, dan kualitas hidup. Konsep ini dikembangkan Oxford Poverty and Human Development Initiative, yang diadopsi UNDP dalam menyusun laporan tahunan pembangunan manusia.

Dimensi kesehatan mengukur gizi dan kematian anak. Dimensi pendidikan diukur dari lama bersekolah dan tingkat kehadiran. Indikator kualitas hidup mencakup berbagai komponen, yaitu ketersediaan bahan bakar untuk memasak, akses sanitasi, dan air bersih, ketersediaan sumber penerangan, kondisi lantai di rumah, serta kepemilikan aset.

Implikasinya, menyelesaikan kemiskinan yang hanya fokus pada proyek padat karya akan menyingkirkan dimensi lain. Pernah ada tuduhan, pemerintah hanya fokus pada infrastruktur fisik, sedangkan pembangunan dimensi kemanusiaan lain terkesan ditinggalkan. Penggunaan tolok ukur kemiskinan multidimensi layak menjadi perhatian mengingat secara teknis tak terlalu rumit dan secara akal sehat bisa diterima. Poin penting, kemiskinan bukan semata soal pendapatan. Itulah kelemahan pokok perhitungan konvensional menggunakan pendapatan per kapita sebagai tolok ukur utama.

Bank Pembangunan Asia menggunakan pendapatan per kapita dengan batas garis kemiskinan 1,25 dollar AS dan 2 dollar AS. Dengan dua tolok ukur ini, penduduk miskin di Indonesia berjumlah 43,1 juta jiwa dan 117,4 juta jiwa. Adapun dengan pendekatan Indeks Kemiskinan Multidimensi, jumlah penduduk miskin 73,6 juta jiwa.

Posisi Indonesia terhadap negara ASEAN dalam hal Indeks Kemiskinan Multidimensi, sebagaimana dijelaskan dalam Human Development Report 2015, tak terlalu baik. Dalam hal kesehatan, posisi Indonesia (35,1) lebih rendah daripada Vietnam (25,7), tetapi lebih baik daripada Thailand (51,3). Pendidikan Indonesia (24,7) lebih baik daripada Vietnam (35,9), tetapi lebih rendah daripada Thailand (19,4). Untuk kualitas hidup, berturut-turut Indonesia (44,8), Vietnam (38,4), dan Thailand (29,4).

Fokus pada pembangunan manusia melalui pengentasan rakyat miskin dalam perspektif multidimensi merupakan pendekatan penting. Pertama, meningkatkan daya saing bangsa menghadapi MEA. Kedua, melawan kelesuan global yang masih berlanjut.

Pemerintah harus mengoordinasikan program stabilisasi, intervensi, dan intermediasi dalam rangka mendorong ekonomi secara komprehensif. Program antarkementerian dan koordinasi dengan program pemerintah daerah harus dilakukan dalam mengatasi persoalan bangsa, mulai dari stabilisasi ekonomi, pemberantasan kemiskinan, stimulus ekonomi melalui proyek padat karya, hingga meningkatkan daya saing bangsa.

Menopang daya saing bangsa perlu upaya multidimensi dengan cakupan program sangat luas. Intensitas pembangunan infrastruktur fisik satu hal, tetapi memperbaiki kualitas kesehatan, pendidikan, dan standar hidup secara sistematis harus dilakukan. Dengan tujuan searah, maka melawan pelambatan global, membuka lapangan kerja, mengatasi kemiskinan, dan meningkatkan daya saing bangsa terjadi simultan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar