Kemiskinan dan Daya Saing Bangsa
A Prasetyantoko ; Dosen
pada Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS, 25 Januari
2016
Ada yang menarik dari
dua berita berikut ini. Pertama, kajian mengenai kemiskinan multidimensi yang
diluncurkan Kompas, Ford Foundation, dan Perkumpulan Prakarsa. Kedua,
pencanangan kereta cepat Jakarta-Bandung oleh Presiden Joko Widodo. Adakah
kaitan keduanya?
Dalam pidatonya,
Presiden menekankan arti penting daya saing bangsa menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA). Untuk itu, pembangunan infrastruktur fisik harus dipercepat.
Pembangunan jalur kereta cepat Jakarta-Bandung adalah bagian dari upaya
tersebut. Kendati ada kontroversi mengenai urgensi pembangunannya, kita
terima saja argumen proyek padat karya ini.
Harus diakui,
pembangunan infrastruktur fisik membuka lapangan kerja cukup masif. Ada pula
dampak ikutan seiring pembangunan kota-kota yang dilewati jalur kereta cepat.
Jelas, proyek ini mendukung penyerapan tenaga kerja. Namun, pembukaan lapangan
kerja hanya bagian kecil dari pembangunan manusia. Masih ada begitu banyak
dimensi lain yang perlu diperhatikan.
Dalam Laporan
Pembangunan Manusia 2015 terbitan UNDP bertema ”Work for Human Development”, ada perbedaan mendasar antara
lapangan kerja (job) dan pekerjaan
(work). Untuk membangun manusia,
membuka lapangan kerja saja tidak cukup, tetapi harus menciptakan pekerjaan.
Pekerjaan tak sekadar
mendapatkan upah. Pekerjaan sosial tak berorientasi imbalan materi. Pekerja
seni menganggap pendapatan material secara relatif. Di era digital, pekerjaan
yang menuntut kreativitas, ekspresi kebebasan, dan inovasi marak terjadi.
Semua bukan perkara uang belaka.
Bagi kebijakan publik,
implikasi pembangunan tidak hanya soal fisik, tetapi juga dimensi tak material.
Sayangnya, pemerintah masih terlalu fokus pada pembangunan fisik. Beban
menyerap tenaga kerja guna mengurangi pengangguran dan kemiskinan masih
terlalu dominan. Mestinya, dimensi lain tetap harus dijaga.
Pembukaan lapangan
kerja memang berguna mengatasi kemiskinan. Namun, harus disadari, kemiskinan
bersifat multidimensi. Program pengentasan rakyat miskin pun mempertimbangkan
banyak dimensi kehidupan. Indeks Kemiskinan Multidimensi mengukur kemiskinan
dari tiga pokok, yaitu kesehatan, pendidikan, dan kualitas hidup. Konsep ini
dikembangkan Oxford Poverty and Human
Development Initiative, yang diadopsi UNDP dalam menyusun laporan tahunan
pembangunan manusia.
Dimensi kesehatan
mengukur gizi dan kematian anak. Dimensi pendidikan diukur dari lama
bersekolah dan tingkat kehadiran. Indikator kualitas hidup mencakup berbagai
komponen, yaitu ketersediaan bahan bakar untuk memasak, akses sanitasi, dan
air bersih, ketersediaan sumber penerangan, kondisi lantai di rumah, serta
kepemilikan aset.
Implikasinya, menyelesaikan
kemiskinan yang hanya fokus pada proyek padat karya akan menyingkirkan
dimensi lain. Pernah ada tuduhan, pemerintah hanya fokus pada infrastruktur
fisik, sedangkan pembangunan dimensi kemanusiaan lain terkesan ditinggalkan.
Penggunaan tolok ukur kemiskinan multidimensi layak menjadi perhatian
mengingat secara teknis tak terlalu rumit dan secara akal sehat bisa
diterima. Poin penting, kemiskinan bukan semata soal pendapatan. Itulah
kelemahan pokok perhitungan konvensional menggunakan pendapatan per kapita
sebagai tolok ukur utama.
Bank Pembangunan Asia
menggunakan pendapatan per kapita dengan batas garis kemiskinan 1,25 dollar
AS dan 2 dollar AS. Dengan dua tolok ukur ini, penduduk miskin di Indonesia
berjumlah 43,1 juta jiwa dan 117,4 juta jiwa. Adapun dengan pendekatan Indeks
Kemiskinan Multidimensi, jumlah penduduk miskin 73,6 juta jiwa.
Posisi Indonesia
terhadap negara ASEAN dalam hal Indeks Kemiskinan Multidimensi, sebagaimana
dijelaskan dalam Human Development Report 2015, tak terlalu baik. Dalam hal
kesehatan, posisi Indonesia (35,1) lebih rendah daripada Vietnam (25,7),
tetapi lebih baik daripada Thailand (51,3). Pendidikan Indonesia (24,7) lebih
baik daripada Vietnam (35,9), tetapi lebih rendah daripada Thailand (19,4).
Untuk kualitas hidup, berturut-turut Indonesia (44,8), Vietnam (38,4), dan
Thailand (29,4).
Fokus pada pembangunan
manusia melalui pengentasan rakyat miskin dalam perspektif multidimensi
merupakan pendekatan penting. Pertama, meningkatkan daya saing bangsa
menghadapi MEA. Kedua, melawan kelesuan global yang masih berlanjut.
Pemerintah harus
mengoordinasikan program stabilisasi, intervensi, dan intermediasi dalam
rangka mendorong ekonomi secara komprehensif. Program antarkementerian dan
koordinasi dengan program pemerintah daerah harus dilakukan dalam mengatasi
persoalan bangsa, mulai dari stabilisasi ekonomi, pemberantasan kemiskinan,
stimulus ekonomi melalui proyek padat karya, hingga meningkatkan daya saing
bangsa.
Menopang daya saing
bangsa perlu upaya multidimensi dengan cakupan program sangat luas.
Intensitas pembangunan infrastruktur fisik satu hal, tetapi memperbaiki
kualitas kesehatan, pendidikan, dan standar hidup secara sistematis harus
dilakukan. Dengan tujuan searah, maka melawan pelambatan global, membuka lapangan
kerja, mengatasi kemiskinan, dan meningkatkan daya saing bangsa terjadi
simultan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar