Mengapa Kursi Itu Panas Membara?
Dahlan Iskan ;
Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA POS, 25 Januari
2016
BOLEHKAH kita
membandingkan Freeport Indonesia (FI) dengan Blok Mahakam dan Asahan?
Saya hanya tahu
Asahan. Agak banyak. Soal berakhirnya kontrak itu. Menarik. Sangat menarik.
Soal Blok Mahakam,
saya hanya tahu sebagian. Sedangkan soal FI, saya tidak banyak tahu.
Ketiganya mungkin bisa
dibandingkan. Mungkin juga tidak. Ketiganya beda industri. Juga beda negara
asal.
Asahan dengan perusahaan
Jepang. Bergerak di peleburan aluminium. Blok Mahakam dengan perusahaan
Prancis. Di bidang migas.
Dan Freeport dengan
perusahaan Amerika. Bidangnya pertambangan tembaga dan emas.
Asahan kini sudah 100
persen kembali milik ibu pertiwi. Blok Mahakam sedang diproses. Dan FI masih
agak jauh. Yang dekat baru heboh-hebohnya.
Di pengakhiran kontrak
Asahan, saya menjadi bagian yang ikut menangani prosesnya. Di Blok Mahakam,
saya hanya sempat membuat salah satu pagar pengamannya. Sedangkan di FI, saya
hanya ikut menonton kehebohannya.
Di Blok Mahakam, peran
saya hanya terbatas: ikut membidani lahirnya keputusan Pertamina. Keputusan
yang taktis. Yakni, keputusan bahwa Pertamina sanggup mengelola Blok Mahakam.
Dan mampu.
Kenapa saya anggap
taktis?
Pertama, telah beredar
luas opini bahwa Pertamina tidak akan mampu. Karena itu, sebaiknya kontrak
diperpanjang.
Kedua, saya khawatir
direksi Pertamina tidak cukup kuat. Khususnya kalau ada tekanan begini:
Keluarkan putusan bahwa Pertamina tidak sanggup! Bukan tidak sanggup. Tapi
disuruh tidak sanggup.
Gejala munculnya
tekanan seperti itu belum ada. Atau lebih tepatnya: saya tidak tahu. Saya
hanya khawatir. Karena itu, lebih baik didahului. Dipagari. Saya minta
direksi Pertamina membahas soal kemampuan itu. Secara profesional. Jangan
tidak mampu mengaku mampu. Atau mampu mengaku tidak mampu.
Tiga bulan kemudian,
Pertamina lapor: mampu. Sangat mampu. Saya minta kesanggupan itu dinyatakan
dalam dokumen yang kuat. Lalu dikirimkan ke semua pihak.
Dengan demikian, tidak
akan ada lagi yang memutarbalikkan opini. Pun Pertamina, siapa pun
direksinya, terikat dengan putusan itu. Memang bisa saja diubah. Oleh direksi
berikutnya, misalnya. Tapi, setidaknya memerlukan proses.
Peran saya sebatas
itu. Tak lama kemudian, masa jabatan saya berakhir.
Soal FI lain lagi.
Saya tidak banyak tahu. Kondisi FI juga sudah memburuk. Dividen sudah seret.
Ditagih sulit. Atau tidak bisa. Lebih tepatnya memang tidak ada dividen.
Berarti tidak ada lagi setoran untuk negara.
Lantas, apa sumbangan
FI pada keuangan negara? Dari dividen tidak ada lagi. Maka, saya
memperjuangkan ide ini: Saham 9 persen itu disatukan saja dengan saham-saham
minoritas milik negara di tempat lain.
Disatukan dalam satu
perusahaan. Lalu, nilai saham-saham itu dijadikan agunan untuk mencari uang.
Uangnya bisa dipakai membangun infrastruktur.
Ide seperti itu
setidaknya bisa membuat saham yang tidak berarti itu menjadi saham hidup.
Bukan saham yang hanya kelihatan angkanya.
Tapi, memperjuangkan
ide tersebut juga tidak mudah. Tepatnya: sulit. Saham itu bukan milik BUMN.
Tapi milik negara. Untuk membicarakannya, harus memutari labirin birokrasi.
Saya merasa gagal memperjuangkan ide tersebut. Tapi, dengan iklim
pemerintahan sekarang, mestinya bisa dicoba lagi.
Cara itu penting
karena, rasanya, sampai berakhirnya kontrak FI tahun 2021 nanti, sulit
mengharapkan bisa dapat setoran dividen dari FI.
Kondisi FI memang
benar-benar sulit. Apalagi setelah tahun 2013 lalu membeli perusahaan minyak
Plains Company yang produksinya 300 ribu barel per hari (bukan 300 juta
seperti tulisan saya minggu lalu). Sejak jatuhnya harga tembaga, Freeport
terhuyung-huyung. Dengan jatuhnya harga minyak, Freeport terjungkal.
Mau diapakan FI?
Sulit. Sulit sekali.
Terutama karena ini: adanya peraturan yang menyulitkan banyak pihak. Menurut
peraturan itu, pemerintah baru boleh membicarakan kontrak FI dua tahun
sebelum kontrak berakhir. Berarti tahun 2019. Baru boleh membicarakan.
Saya tidak tahu
mengapa batas itu dua tahun. Mengapa tidak lima tahun? Atau empat tahun? Apa
latar belakangnya? Bagaimana asbabun
nuzulnya?
Kita betul-betul ingin
mendengar dari si pemilik ide dua tahun itu. Perlu buka-bukaan. Secara jenih.
Akademis. Kepala dingin. Semata untuk mencari solusi.
Penentuan waktu dua
tahun itu benar-benar menyulitkan semua pihak: pemerintah, yang merasa punya
kepentingan, dan Freeport. Menyulitkan bagi pihak yang ingin memperpanjang.
Bahkan sekaligus menyulitkan pihak yang tidak ingin memperpanjang.
Untuk skala seraksasa FI, dua tahun itu
tidak cukup. Sangat. Sangat mepet. Akibatnya, semua pihak tersandera.
Jangan-jangan, dulu, penentuan dua tahun
itu tidak mempertimbangkan besarnya skala usaha FI. Perlu ada kesaksian dari
penyusun draf peraturan tersebut. Agar yang ingin mengubahnya tidak dituduh menyimpan udang di balik tembaga.
Kondisi FI sangat berbeda dengan Asahan. Di
Asahan, jelas ada kesepakatan bagaimana kalau suatu saat kontrak berakhir.
Pihak Jepang wajib menyerahkan kembali
Asahan dalam kondisi terbaiknya. Kita tidak khawatir akan menerima barang
rongsokan.
Saya memuji habis perusahaan Jepang
tersebut. Dalam acara perpisahan dengan mereka, pujian itu saya ulangi
beberapa kali. Jepang menyerahkan kembali Asahan tidak hanya dalam kondisi
baik. Tapi seperti baru: baik PLTA-nya maupun industri aluminiumnya. Bahkan
investor tersebut meninggalkan uang cash
yang sangat besar.
Apakah Jepang waktu itu tidak menuntut
perpanjangan? Jelas: menuntut. Sangat. Amat sangat. Ngotot. Mengancam. Tidak
hanya itu. Jepang juga mengancam ke arbitrase. Bukan. Bukan hanya mengancam.
Tapi sudah melakukannya.
Pak Hidayat, menteri industri saat itu,
berjuang habis-habisan. Bersama timnya. Berhasil.
Untuk FI, sebenarnya bisa lebih pasti.
Perpanjangan dalam pengertian seperti kontrak lama sudah pasti tidak mungkin.
Dalam UU kita yang baru, tidak dikenal lagi binatang bernama KK (kontrak
karya). Ke depan yang dikenal hanya dua: izin usaha pertambangan (IUP) dan
izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Juntrungannya begini: (1) Seluruh KK
Freeport berakhir sesuai dengan kontraknya. (2) Wilayah bekas KK tersebut
berubah status menjadi ’’wilayah pencadangan nasional’’ (WPN). (3) Pemerintah
bisa mengeluarkan izin khusus (IUPK) tanpa harus tender, tapi maksimum 50.000
hektare di wilayah WPN.
Maka, kalaupun Freeport minta izin
perpanjangan, maksudnya adalah minta IUPK. Untuk 50.000 hektare. Mungkin
sudah mengincar di wilayah terbaik dari areal yang sekarang dimilikinya.
Masalahnya, sampai sekarang belum ada
aturan yang memerincinya. Misalnya: siapa yang boleh mengajukan IUPK. Siapa
yang akan diberi. Apa saja persyaratan untuk memenangkan perebutan itu. Dan
seterusnya.
Menurut UU, menteri ESDM-lah yang berwenang
mengeluarkan aturan itu. Maka betapa panas kursinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar