Kala Senja di Bawah Beringin Tua
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
23 Januari 2016
Pohon beringin memang
sangat kokoh. Lingkar batangnya besar-besar. Akar-akarnya kuat mencengkeram
perut bumi. Akar gantungnya melilit, saling merekatkan. Saking kokohnya
sampai-sampai badai reformasi tahun 1998 pun tidak mampu menumbangkannya.
Padahal, Presiden Soeharto yang menanam dan merawat beringin saja lengser.
Yang tak bisa dibendung beringin adalah usianya makin menua. Tunas-tunas muda
belum mampu menggantikan dahan-dahan tua. Meskipun besar, beringin tampak
keropos. Mampukah beringin tua bertahan? Atau inikah senja kala Partai
Golkar?
Senja kala? Sanusi
Pane (1905-1968), pujangga besar era Poejangga Baroe, melukiskan senja kala
Kerajaan Majapahit dalam drama Sandhyakala ning Majapahit tahun 1933.
Perjuangan, keberanian, pengorbanan berbalut rebutan kuasa, intrik, fitnah,
gaduh, ribut, saling curiga, distrust
menjadi bumbu tak sedap yang meruntuhkan Majapahit. Benar, Majapahit runtuh
karena perang saudara. Benar pula Majapahit jatuh setelah ditaklukkan Demak.
Namun, itu hanya final attack. Sesungguhnya bukan serangan pasukan yang
memicu Majapahit runtuh, melainkan karena sudah keropos di dalam digerogoti
virus: ingkar janji, pengkhianatan, dan rebutan kuasa. Majapahit pun sirna
ilang kertaning bumi (lenyap ditelan bumi) pada 1478 atau 1400 tahun Saka.
Dan, rebutan kuasa,
adu kuat, rebutan kantor, rebutan kursi di parlemen, saling gugat, menjadi
adegan-adegan mengejutkan dalam sepenggal episode Golkar akhir-akhir ini.
Konflik Golkar sepertinya tak menemukan ujung jalan. Terlalu panjang dan
berliku. Lebih setahun, Golkar terbelah dua: kubu Munas Bali dipimpin
Aburizal Bakrie dan kubu Munas Jakarta dipimpin Agung Laksono. Meskipun
pemerintah mencabut SK kubu Munas Jakarta dan tidak menerbitkan SK kubu Munas
Bali, akhir 2015, tak lantas rekonsiliasi terwujud.
Padahal, dua kubu itu
sama-sama pengurus hasil Munas Riau tahun 2009. Ketika Aburizal menjadi ketua
umum, Agung adalah wakil ketua umum. Dulu teman, sekarang lawan. Namun,
begitulah politik, tak ada teman atau musuh abadi. Teman sendiri bisa saling
”memakan”. Hanya kepentingan yang membuat mereka berkantor sama di satu meja
seperti saat menghadapi pilkada serentak pada Desember 2015. Selebihnya cuma
saling tuding dan saling gugat.
Dalam partai politik,
konflik sesungguhnya bisa menjadi katup pengendali yang dapat mendinamisasi
partai. Tanpa konflik, partai mungkin terlihat monoton. Mirip sayur tanpa
garam. Kurang sedap. Padahal, namanya partai sewajarnya ada kejutan-kejutan.
Di Golkar bukan kali ini saja berkonflik. Rebutan posisi puncak partai sudah
biasa. Mereka yang kalah lalu membangun jalan sendiri. Sudah empat partai
lahir dari rahim Golkar: PKPI, Hanura, Gerindra, dan Nasdem.
Belum lagi, diaspora
Golkar tersebar di hampir semua partai di negeri ini. Sejatinya begitulah
beringin, mampu memberikan berlimpah kebaikan bagi alam sekitar: memberi
oksigen kehidupan, menyerap polusi, menjernihkan mata air. Meskipun banyak
kader yang loncat pagar, Golkar tetap kokoh. Seperti sifat alamiahnya,
beringin memang kuat dan tahan banting dalam kondisi iklim apa pun juga.
Sejarah mencatat, ketangguhan dan kelenturan Golkar sangat tinggi.
Di era Soeharto,
Golkar jadi elemen penting dalam struktur kekuasaan Orde Baru yang dikenal
dengan jalur ABG (ABRI/TNI, Birokrat, Golkar). Golkar jadi partai paling
berpengalaman, punya sumber daya dan struktur paling lengkap. Mereka yang
tidak ikut Golkar bisa dianggap subversif. Maka, dua partai lain, PPP-PDI,
barangkali jadi pemanis demokrasi saja. Akar-akar beringin menjalar ke
mana-mana. Maka, ketika ada badai reformasi pun, Golkar tetap bertahan.
Bayangkan, di tengah
kemarahan rakyat, Golkar masih bisa meraih peringkat kedua pada Pemilu 1999.
Di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung dengan slogan ”Golkar baru”, partai
beringin meraih 120 kursi di DPR. Pada Pemilu 2004, Golkar meraih 128 kursi
di DPR, menyalip ke posisi teratas, mengalahkan PDI-P. Pada Pemilu 2009,
Golkar di posisi kedua, tetapi kursi di DPR turun menjadi 106. Pada Pemilu
2014, walau bertahan di posisi kedua, suaranya merosot hingga tinggal 91
kursi di DPR.
Di usianya yang
menapak ke-52, Golkar memang partai paling tua, yang kaya pengalaman dan
sumber daya. Sayang, apabila modal politik itu berantakan gara-gara para
pemimpin partai gagal menjalankan peran politiknya. Golkar bukanlah
korporasi, apalagi milik perorangan. Negarawan Inggris, Edmund Burke
(1729-1797), mewanti-wanti, bahwa partai politik memang tempat sekelompok
orang yang menjalankan prinsip tertentu, tetapi tentu saja untuk mengabdi dan
melindungi kepentingan nasional.
Lantas bisakah Ketua
Tim Transisi Jusuf Kalla, Wakil Presiden yang mantan Ketua Umum Partai
Golkar, menyelesaikan konflik Golkar? Gelagat melunak kubu Aburizal mungkin
pertanda baik. Dengan pengalamannya, Golkar sebetulnya bisa melakukan self healing. Sebab, sejatinya
beringin punya khasiat banyak. Kabarnya akar dan daunnya berkhasiat
menyembuhkan berbagai penyakit. Akan tetapi, kalau adu otot yang digunakan
sebagai basis berpikir dan bertindak, barangkali jalan berliku akan makin
curam.
Jika Golkar tak mampu
mengelola konflik internal, bagaimana bisa menyelesaikan problem bangsa yang
lebih besar? Menikmati senja di bawah beringin tua, sayup-sayup terdengar
penggalan lagu grup musik rock era 1980-1990, Elpamas, yang mengentak:
Beringin tua, saat ambang senja/desa yang sunyi dan sepi/alam
temaram, mentari tenggelam.../ beringin tua kembali menggoda
lamunanku/misteriku, beringin yang kemarin di sini/sekarang tak aku tahu di
mana.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar