Senin, 25 Januari 2016

Kutu Loncat

Kutu Loncat

Samuel Mulia  ;  Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu
                                                      KOMPAS, 24 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di sebuah meja panjang, saya berkumpul bersama-sama dengan beberapa tim kerja membahas soal satu klien yang mencabut pemasangan iklannya yang sudah disetujui dan klien lain yang sama sekali tidak membalas pesan yang saya kirimkan, padahal saya ini hanya mau minta waktu untuk berjumpa.

"Legowo" KW1

Masih di sekitar meja panjang itu, di dalam hati saya berkata, ahh, ya, enggak masalah. Siapa pun dapat membatalkan rencana pemasangan iklannya dan tak menjawab pesan. Kan, sudah ada dua klien lain yang memasang iklan, bahkan melebihi nilai pembatalan klien yang satu itu.

Dan, kalau mereka tak menjawab pesan yang saya kirimkan, mungkin mereka sedang sibuk meski sudah terbaca dan saking sibuknya lupa untuk membalasnya. Bisa jadi juga mereka tak membalasnya karena tahu dengan pasti kalau tujuan saya untuk berjumpa tak lain dari "menodong" mereka agar bisa membagi dananya untuk pemasangan iklan.

Setelah mencari pembenaran yang terjadi di dalam hati itu, kekesalan gara-gara dua kejadian itu lumayan berangsur hilang. Tetapi, beberapa hari kemudian, ketika salah seorang tim kerja menyinggung dua masalah di atas, saya mulai naik pitam lagi. Mulai kesal lagi. Jadi, perasaan jengkel yang beberapa hari lalu hilang sekarang muncul lagi.

Kejadian itu persis sama seperti ketika saya harus memutuskan hubungan asmara dengan seorang pemberi harapan palsu. Pada saat harus memutuskan, saya berkata, yaah, namanya juga belum jodoh, saya harus legowo untuk berhenti meletakkan harapan kepadanya.

Dan, kalaupun dia pergi, itu bukan karena ia jahat, tetapi bagiannya sudah selesai di dalam cerita perjalanan asmara itu. Karena saya percaya, sebuah perjumpaan bukanlah sebuah pertemuan dengan seseorang yang akan meninggalkan saya.

Dengan pembenaran yang super dahsyat itu, perasaan kesal saya hilang. Tetapi, beberapa waktu kemudian muncul lagi setiap kali ada yang membicarakan soal hubungan asmara semacam itu, atau yang curhat dengan kasus yang sama, atau yang menyebutkan nama manusia itu ke gendang telinga.

Jadi, legowo pada ketiga contoh di atas itu, sesungguhnya bukan legowo beneran. Legowo yang semusim lamanya. Sekarang, di hari Minggu ini, saya mau curhat bahwa saya sudah bisa benar-benar legowo. Bukan legowo KW1.

"Air bag"

Kuncinya hanya satu, jangan membiasakan menjadi kutu loncat. Harus dengan besar hati menerima keadaan yang sesungguhnya dan tidak loncat pada sebuah pembenaran yang dicari, yang kok kebetulan cocok dijodohkan dengan permasalahan yang dihadapi.

Besar hati untuk menerima itu harus diawali dengan mengerti situasinya, bukan memanipulasi situasi. Mencari pembenaran buat saya adalah bentuk manipulasi. Nah, setelah mengerti mengapa sebuah keadaan terjadi, maka timbullah perasaan legowo.

Nah, legowo akan memberikan kemampuan untuk tidak meloncat kembali pada masalah yang lama, legowo memampukan melihat masalah yang lama dengan kacamata yang baru. Dalam kasus saya, salah satu buktinya adalah lahirnya kejernihan hati, mata, dan pikiran sehingga saya bisa berpikir bahwa sebetulnya yang patut dikasihani itu adalah mereka.

Bukti berikutnya, saya tak kesal lagi bahkan ketika seseorang menyinggung nama klien, nama perusahaan, atau nama si PHP itu. Di hari jadi saya beberapa waktu lalu, si PHP mengirimkan ucapan selamat. Kami mengobrol panjang lebar seperti teman lama. Dan, setelah pembicaraan itu selesai, tak ada perasaan rindu yang hadir. Jadi seperti mengobrol dengan teman biasa.

Namanya memang pembenaran, tetapi buat saya sesungguhnya mencari pembenaran itu sungguh tidak benar. Mencari pembenaran itu seperti spons yang mengisap kekuatan atau energi seseorang sehingga tak berdaya menerima keadaan yang sesungguhnya.

Mencari pembenaran itu semacam mencari bantuan agar kuat. Padahal, di dalam mencari pembenaran, yang ditemui hanya sebuah bantuan dalam bentuk kekuatan yang semu. Mencari pembenaran itu mengurangi nilai yang ada di dalam diri seseorang.

Kebiasaan saya mencari pembenaran itu sebuah bukti bahwa saya telah dilatih dalam kehidupan menjadi kutu loncat. Saya tidak dilatih untuk menerima kesakitan, tetapi saya dibiasakan untuk jatuh di lokasi yang "empuk" agar tidak terlalu sakit.

Mencari pembenaran itu selain menjadikan saya seperti kutu loncat juga semacam menyediakan air bag agar kalau "kecelakaan" terjadi saya tidak terluka parah. Pengalaman saya membuktikan, semakin saya jatuh ke atas air bag, maka semakin saya mengumpulkan tabungan bernama luka yang tak akan sembuh.

Yang empuk-empuk itu enak sesaat, sengsara selamanya. Yang empuk itu hanya memberikan perasaan lega KW1, tetapi yang sengsara awalnya akan mampu mengundang datangnya perjalanan hidup yang baru, klien baru, dan pacar baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar