Kutu Loncat
Samuel Mulia ;
Penulis
Kolom “PARODI” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 24 Januari
2016
Di sebuah meja
panjang, saya berkumpul bersama-sama dengan beberapa tim kerja membahas soal
satu klien yang mencabut pemasangan iklannya yang sudah disetujui dan klien
lain yang sama sekali tidak membalas pesan yang saya kirimkan, padahal saya
ini hanya mau minta waktu untuk berjumpa.
"Legowo" KW1
Masih di sekitar meja
panjang itu, di dalam hati saya berkata, ahh, ya, enggak masalah. Siapa pun
dapat membatalkan rencana pemasangan iklannya dan tak menjawab pesan. Kan,
sudah ada dua klien lain yang memasang iklan, bahkan melebihi nilai
pembatalan klien yang satu itu.
Dan, kalau mereka tak
menjawab pesan yang saya kirimkan, mungkin mereka sedang sibuk meski sudah
terbaca dan saking sibuknya lupa untuk membalasnya. Bisa jadi juga mereka tak
membalasnya karena tahu dengan pasti kalau tujuan saya untuk berjumpa tak
lain dari "menodong" mereka agar bisa membagi dananya untuk
pemasangan iklan.
Setelah mencari
pembenaran yang terjadi di dalam hati itu, kekesalan gara-gara dua kejadian
itu lumayan berangsur hilang. Tetapi, beberapa hari kemudian, ketika salah
seorang tim kerja menyinggung dua masalah di atas, saya mulai naik pitam
lagi. Mulai kesal lagi. Jadi, perasaan jengkel yang beberapa hari lalu hilang
sekarang muncul lagi.
Kejadian itu persis
sama seperti ketika saya harus memutuskan hubungan asmara dengan seorang
pemberi harapan palsu. Pada saat harus memutuskan, saya berkata, yaah,
namanya juga belum jodoh, saya harus legowo untuk berhenti meletakkan harapan
kepadanya.
Dan, kalaupun dia
pergi, itu bukan karena ia jahat, tetapi bagiannya sudah selesai di dalam
cerita perjalanan asmara itu. Karena saya percaya, sebuah perjumpaan bukanlah
sebuah pertemuan dengan seseorang yang akan meninggalkan saya.
Dengan pembenaran yang
super dahsyat itu, perasaan kesal saya hilang. Tetapi, beberapa waktu
kemudian muncul lagi setiap kali ada yang membicarakan soal hubungan asmara
semacam itu, atau yang curhat dengan kasus yang sama, atau yang menyebutkan
nama manusia itu ke gendang telinga.
Jadi, legowo pada ketiga contoh di atas itu,
sesungguhnya bukan legowo beneran. Legowo yang semusim lamanya. Sekarang,
di hari Minggu ini, saya mau curhat bahwa saya sudah bisa benar-benar legowo. Bukan legowo KW1.
"Air bag"
Kuncinya hanya satu,
jangan membiasakan menjadi kutu loncat. Harus dengan besar hati menerima
keadaan yang sesungguhnya dan tidak loncat pada sebuah pembenaran yang
dicari, yang kok kebetulan cocok dijodohkan dengan permasalahan yang
dihadapi.
Besar hati untuk
menerima itu harus diawali dengan mengerti situasinya, bukan memanipulasi
situasi. Mencari pembenaran buat saya adalah bentuk manipulasi. Nah, setelah
mengerti mengapa sebuah keadaan terjadi, maka timbullah perasaan legowo.
Nah, legowo akan
memberikan kemampuan untuk tidak meloncat kembali pada masalah yang lama, legowo memampukan melihat masalah yang
lama dengan kacamata yang baru. Dalam kasus saya, salah satu buktinya adalah
lahirnya kejernihan hati, mata, dan pikiran sehingga saya bisa berpikir bahwa
sebetulnya yang patut dikasihani itu adalah mereka.
Bukti berikutnya, saya
tak kesal lagi bahkan ketika seseorang menyinggung nama klien, nama
perusahaan, atau nama si PHP itu. Di hari jadi saya beberapa waktu lalu, si
PHP mengirimkan ucapan selamat. Kami mengobrol panjang lebar seperti teman
lama. Dan, setelah pembicaraan itu selesai, tak ada perasaan rindu yang
hadir. Jadi seperti mengobrol dengan teman biasa.
Namanya memang
pembenaran, tetapi buat saya sesungguhnya mencari pembenaran itu sungguh
tidak benar. Mencari pembenaran itu seperti spons yang mengisap kekuatan atau
energi seseorang sehingga tak berdaya menerima keadaan yang sesungguhnya.
Mencari pembenaran itu
semacam mencari bantuan agar kuat. Padahal, di dalam mencari pembenaran, yang
ditemui hanya sebuah bantuan dalam bentuk kekuatan yang semu. Mencari pembenaran
itu mengurangi nilai yang ada di dalam diri seseorang.
Kebiasaan saya mencari
pembenaran itu sebuah bukti bahwa saya telah dilatih dalam kehidupan menjadi
kutu loncat. Saya tidak dilatih untuk menerima kesakitan, tetapi saya
dibiasakan untuk jatuh di lokasi yang "empuk" agar tidak terlalu
sakit.
Mencari pembenaran itu
selain menjadikan saya seperti kutu loncat juga semacam menyediakan air bag
agar kalau "kecelakaan" terjadi saya tidak terluka parah.
Pengalaman saya membuktikan, semakin saya jatuh ke atas air bag, maka semakin
saya mengumpulkan tabungan bernama luka yang tak akan sembuh.
Yang empuk-empuk itu
enak sesaat, sengsara selamanya. Yang empuk itu hanya memberikan perasaan
lega KW1, tetapi yang sengsara awalnya akan mampu mengundang datangnya perjalanan
hidup yang baru, klien baru, dan pacar baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar