Militer dan Politik
Al Araf ;
Direktur
Eksekutif Imparsial;
Pegiat Koalisi Masyarakat Sipil
Reformasi Sektor Keamanan
|
KOMPAS, 25 Januari
2016
Dugaan keterlibatan
oknum prajurit TNI AD dalam politik Pemilihan Kepala Daerah Kepulauan Riau telah
menjadi persoalan serius dalam proses peralihan kekuasaan di daerah. Ketua
tim hukum salah satu kandidat menilai telah terjadi pelanggaran terstruktur
dan sistematis yang dilakukan oknum TNI dalam pilkada di Kepulauan Riau
(Kompas.com, 22/12/2015). Menurut dia, hal itu terlihat dari upaya
penangkapan oleh oknum militer di Batam terhadap koordinator saksi
pemilu, pengerahan pasukan dalam tempat pemungutan suara atau tempat penyelenggaraan
pemilu lain, serta diduga terlibat mendukung salah satu calon pasangan
gubernur dan wakil gubernur.
Keterlibatan oknum
militer dalam proses politik peralihan kekuasaan di masa reformasi ini
bukanlah hal yang baru. Sebelumnya, pada proses pergantian presiden di Pemilu
2014 yang lalu, oknum bintara pembina desa TNI di Jakarta diduga terlibat
mendukung salah satu kandidat presiden. Keterlibatan oknum militer dalam
proses pergantian kekuasaan di masa reformasi ini jangan dipandang sebagai
persoalan yang biasa, tetapi harus dilihat sebagai persoalan serius yang akan
mengganggu kehidupan politik yang demokratis.
Secara historis,
keterlibatan militer secara langsung di dalam kehidupan politik praktis
pernah terjadi pada masa rezim pemerintahan Orde Baru. Di masa itu, rezim
autoritarian Soeharto melakukan politisasi militer demi menjaga dan
mempertahankan kekuasaannya. Alhasil, peran dan fungsi militer di masa itu
lebih banyak terlihat pada kehidupan politik praktis.
Meski cikal bakal
keterlibatan militer dalam politik sudah di- mulai pada masa Orde Lama,
keterlibatan militer secara sistematis dan masif di dalam kehidupan politik
praktis memuncak pada masa pemerintahan Orde Baru. Militer yang dulu dikenal
dengan nama ABRI masuk hampir di semua ruang-ruang politik. ABRI menduduki
jabatan-jabatan strategis, seperti menteri, gubernur, bupati, serta berada di
dalam parlemen. ABRI juga melakukan kontrol dan pengawasan ketat kepada
komunitas politik, seperti partai politik dan masyarakat sipil.
ABRI juga mengintervensi internal parpol dan bisa
menjatuhkan ketua umum parpol dengan berbagai macam cara jika dianggap
melawan kekuasaan. ABRI juga melakukan kontrol terhadap proses politik
pergantian kekuasaan melalui pemilu. Dalam setiap proses pemilu, ABRI terjun
langsung mengawasi dan mengintervensi proses
pemilu. Tidak heran jika hasil pemilu pada masa Orde Baru selalu
memenangkan parpol yang akan mendukung kelanggengan kekuasaan Soeharto.
Keterlibatan militer
dalam politik di masa Orde Baru ditopang doktrin Dwifungsi ABRI dan struktur
komando teritorial (koter). Pada masa Orde Baru, keberadaan koter memang
sangat terkait dengan Dwifungsi ABRI. Meski cikal bakal koter ada pada masa
Orde Lama, fungsi koter sebagai struktur yang menunjang peran politik ABRI
baru dipermanenkan dan diperkuat pada masa Orde Baru. Sayangnya, di masa
reformasi ini meski doktrin Dwifungsi ABRI telah dihapus, struktur koter tak kunjung
direstrukturisasi hingga sekarang.
Reformasi dan OMSP
Di masa reformasi ini,
secara hukum prajurit TNI dilarang berpolitik praktis. Pasal 39 Ayat 2
Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 menyebutkan, prajurit TNI dilarang terlibat dalam
kegiatan politik praktis. Pelarangan TNI untuk berpolitik itu adalah
konsekuensi dari dicabutnya doktrin Dwifungsi ABRI dan merupakan capaian positif dari proses reformasi TNI.
Meskipun demikian, meski prajurit TNI dilarang berpolitik praktis, ternyata
masih terdapat oknum prajurit TNI yang diduga terlibat kegiatan politik
praktis sebagaimana terjadi pada kasus Pemilu 2014 dan pilkada di Kepulauan
Riau, Desember 2015. Di masa kini, dugaan keterlibatan oknum militer dalam
proses politik peralihan kekuasaan biasanya tidak bisa dilepaskan dari peran
internal TNI dalam kegiatan operasi militer selain perang (OMSP) di dalam
mengamankan situasi keamanan dalam negeri.
Dalam diskursus kajian
militer dan keamanan, persoalan tentang peran internal militer di dalam
sebuah negara melalui operasi nonperang memang menjadi perhatian banyak
kalangan. Sebagian pandangan memandang keterlibatan militer dalam operasi
nonperang di dalam negeri yang dilakukan secara berlebihan dan tidak
kontekstual akan membuka ruang kembalinya militer dalam politik.
Hasil kajian LIPI pada
2001 menyebutkan bahwa kontribusi militer di dalam negeri dapat bersifat
negatif apabila digunakan secara berlebihan dan tidak tepat secara kontekstual
yang akan berimplikasi pada: pertama, keterlibatan yang berlebihan
dikhawatirkan akan memecah konsentrasi, pengaturan, pelatihan, dan persiapan
militer terhadap pelaksanaan peran utamanya, yaitu menghadapi perang.
Kedua, keterlibatan
yang tidak tepat secara kontekstual juga dikhawatirkan dapat menimbulkan
bentuk-bentuk intervensi militer terhadap ranah sipil, di mana hal ini akan
menjadi preseden buruk bagi demokrasi ataupun pembangunan profesionalisme
(Lihat Dewi Fortuna Anwar, "Demokrasi, Keamanan dan Peranan
Militer", dalam Ikrar Nusa Bhakti, Dinamika
Pemikiran Internal tentang Peran dan Fungsi TNI di era Transisi Demokrasi
(Laporan Penelitian), Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2001, hal
42-45).
Melanggar UU TNI
Guna menghindari terjadinya
ruang baru bagi militer dalam berpolitik dengan dalih OMSP itu, maka banyak
negara-negara di dunia mengatur pelaksanaan tugas operasi nonperang di dalam
negeri dalam sebuah aturan yang jelas dan ketat. Secara konsep, keterlibatan
militer dalam operasi nonperang memang dapat dilakukan. Namun, keterlibatan
militer itu tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan tidak kontekstual.
Keterlibatan internal militer dalam operasi nonperang perlu ditempatkan
sebagai respons terhadap beberapa situasi yang terbatas. Yang dimaksud dengan
situasi terbatas adalah ketika terdapat keterbatasan instansi sipil dalam
menghadapi situasi tersebut karena situasi tersebut sangat jarang muncul (Schnabel, Albrecht and Marc Krupanski,
Mapping Evolving Internal Roles of The Armed Forces, Geneva: DCAF, 2012, hal
5).
Peran internal militer
dalam OMSP hanya ditujukan sebagai bantuan terhadap instansi sipil karena
adanya permintaan dari institusi sipil sehingga pelibatan militer itu pilihan
terakhir (last resort), di bawah
otoritas sipil yang bertanggung jawab, dan hanya dibatasi dalam hal penguatan
kapabilitas dan kapasitas yang dibutuhkan. Lebih dari itu, pelibatan militer
dalam OMSP harus didasarkan pada keputusan politik (prinsip legitimasi),
bersifat sementara dan militer tidak berperan sebagai leading role.
Di Indonesia,
keterlibatan militer dalam OMSP diatur dalam UU TNI Nomor 34 Tahun 2004.
Pasal 7 ayat 3 menyebutkan, keterlibatan TNI dalam menjalankan tugas operasi
militer selain perang hanya bisa dilakukan jika ada kebijakan dan keputusan
politik negara. Yang dimaksud dengan keputusan politik negara di dalam UU TNI
adalah kebijakan politik pemerintah bersama- sama DPR yang dirumuskan melalui
mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR, seperti rapat konsultasi
dan rapat kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Penjelasan Pasal
5 UU TNI).
Dalam konteks
tersebut, dugaan keterlibatan oknum prajurit TNI AD di Pilkada Kepulauan Riau
secara berlebihan di mana sampai terlibat dalam upaya menangkap saksi pemilu
adalah bentuk tindakan yang melanggar UU TNI dan dapat dikatakan sebagai
bentuk keterlibatan oknum militer dalam politik praktis. Di Indonesia, upaya penegakan hukum
dijalankan oleh kepolisian dan bukan
oleh TNI. TNI adalah alat pertahanan negara dan bukan institusi penegakan
hukum.
Kehendak untuk
menjauhkan militer di dalam kegiatan politik praktis adalah sesuatu yang
perlu kita rawat bersama demi keberlangsungan proses berdemokrasi. Pemimpin
sipil tidak boleh menarik-narik militer untuk terlibat dalam kegiatan politik
praktis dan sebaliknya institusi militer juga jangan mencoba-coba kembali
masuk dalam kehidupan politik praktis.
Institusi militer harus tetap diletakkan sebagai alat pertahanan
negara yang profesional. Dengan demikian, menjadi penting bagi otoritas
politik untuk memenuhi kebutuhan utama tentara di bidang pertahanan demi
terciptanya tentara yang profesional. Kebutuhan utama itu meliputi
modernisasi persenjataan, peningkatan kualitas dan kuantitas pelatihan serta
pendidikan, serta yang terpenting adalah peningkatan kesejahteraan prajurit.
Dengan memenuhi semua kebutuhan utama militer itu, maka konsentrasi dan fokus
utama militer ditujukan pada upaya membangun pertahanan yang kuat dan bukan
terlibat dalam politik praktis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar