Arti Pemilu Taiwan bagi Tiongkok
Steven Yohanes Polhaupesy ; Peneliti The Habibie Center; Saat Ini
Sedang Melanjutkan Studi Pascasarjana di Universitas Lund dengan Konsentrasi
Studi Tiongkok
|
KOMPAS,
23 Januari 2016
Kemenangan Tsai Ing
Wen dalam pemilu yang digelar pada Sabtu (16/1) lalu berhasil menuliskan
sejarah baru bagi Taiwan. Tsai menjadi perempuan presiden pertama Taiwan
sekaligus presiden kedua berasal dari Partai Progresif Demokratik, partai
yang dikenal sebagai partai pro kemerdekaan.
Tiongkok melihat
kemenangan Tsai dapat memicu eskalasi dalam hubungan Tiongkok-Taiwan dalam
empat tahun mendatang. Apa saja faktor yang memengaruhi pandangan Tiongkok
tersebut?
Setidaknya terdapat tiga faktor yang akan
memengaruhi pandangan Tiongkok terhadap Taiwan pasca kemenangan Tsai.
Pertama, domestik politik Tiongkok. Kedua, perkembangan internal sosial dan
politik Taiwan. Ketiga, hubungan Tiongkok dan Amerika Serikat. Ketiga hal
tersebut diyakini tidak hanya berdampak pada perubahan hubungan Tiongkok
dengan Taiwan, juga pada stabilitas keamanan kawasan.
Domestik politik Tiongkok
Kemenangan Tsai dalam
pemilu Taiwan direspons oleh Tiongkok yang langsung memberi penegasan
terhadap konsensus 1992: "One China Policy". Penegasan ini
merupakan gambaran bahwa Pemerintah Tiongkok tidak bereaksi berlebihan
terhadap perubahan politik di Taiwan dan tetap menginginkan status quo. Tidak
heran, respons Tsai pun melunak dengan menyatakan bahwa dirinya akan menjamin
status quo hubungan Taiwan dengan Tiongkok.
Sebab, bagi Partai Komunis Tiongkok (PKT),
Salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan rezim adalah kemampuan
mengakomodasi masalah Taiwan tetap dalam konsensus 1992. Menjamin status quo
hubungan Tiongkok-Taiwan merupakan kalkulasi rasional, karena prioritas utama
Tiongkok saat ini lebih condong pada upaya pertumbuhan ekonomi dan penguatan
legitimasi PKT. Oleh karena itu, kegagalan rezim untuk menjamin status quo
hubungan Tiongkok-Taiwan dapat berdampak pada kemarahan publik dan
menciptakan instabilitas terhadap survavibilitas PKT.
Opini publik Tiongkok juga menganggap urusan
dengan Taiwan tidak semata-mata sebagai urusan kedaulatan dan integritas
teritorial dari sudut pandang historis. Lebih dari itu, urusan Taiwan
merupakan patriotisme kehormatan Tiongkok dan simbol dari nasionalisme
Tiongkok. Upaya deklarasi kemerdekaan Taiwan akan menimbulkan gejolak yang
sama pada Tibet, Xinjiang, maupun Hongkong.
Situasi internal Taiwan
Meskipun Tsai berhasil
memperoleh dukungan sebanyak 56,1 persen suara dan 113 kursi Legislatif Yuan,
perkembangan situasi politik, ekonomi, dan sosial Taiwan empat tahun
mendatang akan memberikan tekanan terhadap pemerintahan Tsai untuk
mendeklarasikan kemerdekaan. Tidak menutup kemungkinan, Partai Progresif
Demokratik (DPP) yang memiliki platform politik demikian akan mendukung
keinginan rakyat Taiwan.
Terlebih lagi,
platform politik yang diusung DPP sering kali menciptakan eskalasi hubungan
Taiwan dengan Tiongkok. Presiden Chen Shui Bian (2000-2008), yang berasal
dari DPP, dapat dijadikan indikator platform politik tersebut. Pada 2004,
Chen merencanakan referendum kemerdekaan Taiwan dan merencanakan penghapusan
National Unification Council (NUC) dua tahun setelahnya. Meskipun Tsai
bukanlah Chen, tetapi gerakan pro kemerdekaan yang diusung DPP bukanlah
retorika nasionalisme Taiwan.
Hal ini juga didorong oleh diskursus publik
mengenai identitas kultural rakyat Taiwan. Survei yang dilakukan oleh
National Chengci University di Taipei mencatat bahwa terdapat 18 persen
responden yang menyatakan identitasnya sebagai Taiwan di tahun 1992. Hari
ini, tercatat bahwa 59 persen responden menyatakan dirinya memiliki identitas
sebagai Taiwan.
Selain itu, munculnya
generasi muda yang mayoritas memiliki pemikiran progresif menolak reunifikasi
dan lebih menghendaki kemerdekaan Taiwan. Poling yang dilakukan Taiwan
Indicators Survey Research membuktikan bahwa 50 persen generasi muda Taiwan
menginginkan kemerdekaan dan hanya 18 persen yang menghendaki unifikasi.
Lemahnya pertumbuhan ekonomi Taiwan yang
hanya mencapai 1 persen di tahun 2015, dan bertambahnya angka pengangguran
serta stagnansi pendapatan, dapat menyulut gerakan-gerakan pro kemerdekaan
Taiwan lebih cepat dalam empat tahun ke depan. Belum lagi publik Taiwan tidak
merasa puas terhadap eratnya hubungan Taiwan dengan Tiongkok pada era
Presiden Ma Ying Jeou yang dianggap menyebabkan ketergantungan dan
menghilangkan independensi Taiwan.
Hubungan Tiongkok-AS
Kemenangan Tsai
sebenarnya menempatkan AS pada dilema dalam menjaga hubungan dengan Tiongkok.
Taiwan di bawah Presiden Ma dengan Partai Kuomintang (KMT)-nya lebih disukai
AS dibandingkan Taiwan di bawah Presiden Tsai dengan DPP-nya. Hubungan Tiongkok- Taiwan mengalami banyak
kemajuan berarti, khususnya pasca pertemuan Presiden Xi dan Ma pada November
2015. Kemenangan Tsai dinilai akan banyak mengubah kemajuan tersebut menuju
eskalasi.
Pada satu sisi, AS tidak ingin terseret
dalam skenario di mana rezim Tsai memiliki kecenderungan pro kemerdekaan lebih
besar dibandingkan apabila Eric Chu dari KMT memenangi pemilu. Artinya,
apabila hal tersebut benar-benar terjadi, maka intervensi militer AS adalah
keniscayaan. Belum lagi ramifikasi Taiwan Relations Act (1979) juga membuat
AS akan terjebak pada dilema ini. Pada sisi lain, AS juga harus tetap menjaga
kredibilitas dan komitmen terhadap keamanan Taiwan.
Miskalkulasi kebijakan AS terhadap Taiwan
dapat menyebabkan efek domino terhadap konflik yang terjadi di Laut Tiongkok
Timur dan Laut Tiongkok Selatan. Dengan kata lain, eskalasi tensi hubungan Tiongkok dan Taiwan yang
disertai dengan pendekatan militer akan memicu hal yang sama pada konflik
lain, di mana Tiongkok dan AS juga terlibat.
Bagi Tiongkok, kebijakan yang paling tepat
untuk diambil adalah menunggu dan melihat (wait and see) terhadap perubahan politik di internal Taiwan
dengan memberikan batasan (red line)
terhadap Taiwan untuk menghormati konsensus 1992 "One China
Policy". Dengan kata lain, menjaga status quo hubungan Tiongkok-Taiwan
adalah prioritas utama Beijing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar