Teror, BUMN, Ekonomi Rakyat
Fachry Ali ; Salah
Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia
|
KOMPAS, 28 Januari
2016
Hal yang amat perlu
dicatat dalam peristiwa teror di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada Kamis,
14 Januari, lalu adalah bangkitnya optimisme.
Tak mengherankan, berdasarkan fakta pendapat publik, judul berita
utama Kompas (15 Januari) adalah ”Bangkit Bersama Melawan Terorisme”. Ini
bertolak belakang dengan keresahan Verkerk Pistorius, elite Belanda pada
1869, ketika berhadapan dengan serangkaian pemberontakan agama di Sumatera
Barat. ”Kita,” ujarnya dengan nada
khawatir, seperti dikutip sejarawan Taufik Abdullah dalam Islam dan
Masyarakat (1987), ”duduk di atas
volkano pengikut Muhammad.”
Membaca karya Tb Ronny
Rachman Nitibaskara, ”Bom Bunuh Diri
sebagai Media” (Kompas, 16 Januari), kita mendapatkan penjelasan
”teknikal” mengapa dan apa akibat kekerasan itu. Kini, yang diperlukan adalah
penjelasan fundamentalnya. Dalam pengantar buku editannya, When Men Revolt-and Why (1971), James
Chowning Davies menolak pikiran bahwa demi stabilitas, tokoh-tokoh penggerak
revolusi dan kekerasan harus dieliminasi. Sejak disimak Aristoteles abad ke-4
sebelum Masehi hingga Hobbes 20 abad kemudian, kita, ujarnya, kian menyadari
bahwa ”civil disorders and revolution
begin in the minds of men”.
Dalam konteks ”teror
Thamrin” dan berbagai teror lain di mancanegara, alam pikiran yang mendasari
aksi-aksi itu adalah refleksi diskrepansi tafsir terhadap Islam di alam modernisasi.
Sementara lingkungan sosial-politik, budaya, dan ilmu pengetahuan serta
geopolitik telah jauh membentuk realitas kehidupan baru, para pelaku teror
tersebut justru masih mendasarkan tafsir padarealitas kehidupan zaman
pertengahan ketika Islam dilahirkan. Alam pikiran yang terbentuk dengan
metode tafsir inilah faktor pendorong aksi-aksi teror itu.
Mengingat sebagian
besar pelaku teror bukan kalangan elite ekonomi, apakah ada faktor struktural
yang menjelaskan aksi kekerasan itu? Pada 1985, dengan mengembangkan makalah
untuk pertemuan kaum muda dunia di Jepang, saya menulis buku saku dengan
judul Islam, Ideologi Dunia dan
Dominasi Struktural?
yang diterbitkan Mizan, Bandung. Argumentasi saya, penggunaan Islam sebagai
ideologi perlawanan adalah ”alat terakhir” kalangan terpinggirkan akibat
dominasi struktural kapitalisme Barat atas wilayah kaya sumber daya alam
Timur Tengah.
Betapa pun akar konflik
agama dan politik-ekonomi Timur Tengah yang merembet ke seluruh dunia dewasa
ini telah jauh lebih kompleks, argumen yang saya ajukan abad lalu itu masih
meninggalkan jejak. Yaitu, pendukung ideologi kekerasan itu tetap berasal
dari golongan terpinggirkan secara ekonomi dalam modernisasi dan pembangunan
kapitalistik Barat. Sirnanya sosialisme-komunisme, tandingan ideologi
kapitalisme Barat awal 1990-an, kian mendorong Islam, dengan metode tafsir di
atas, menjadi alat perumus keresahan kalangan ini. Yang disebut Samuel
Huntington sebagai benturan peradaban pada intinya adalah konflik ”pencari
keadilan” berdasarkan ”tafsir atas realitas Islam abad pertengahan” dengan
kapitalisme tak manusiawi abad modern.
Menyodok ”sejarah besar”
Dalam konteks
sosiologi dan sejarah Indonesia, jenis tafsir semacam ini disebut sejarawan
Sartono Kartodirdjo sebagai the millennial beliefs, yakni kepercayaan akan
keunggulan sistem sosial-politik dan budaya masa lalu. Maka, walau realitas
kehidupan sudah berubah radikal, hal ideal yang harus dilakukan adalah
kembali ke masa lalu. Dalam tulisannya, Agrarian
Radicalism in Java (1971), Kartodirdjo menyatakan bahwa sistem
kepercayaan rumusan ulama Islam lokal itu menjadi senjata para petani Jawa
abad ke-19 dan awal abad ke-20 melawan keterpinggiran dari kolonialisasi dan
modernisasi Belanda. Inilah yang menjelaskan terjadinya rentetan tak
berkesudahan apa yang disebutnya sebagai deep
rooted rural discontent, terungkap dalam rangkaian panjang pemberontakan
petani.
Walau abad telah berganti,
the millenial beliefs ini bukan
saja tetap efektif menggerakkan tindak kekerasan seperti kita saksikan pada
”teror Thamrin” hari ini, melainkan juga telah meningkatkan efek
destruktifnya. Karena berlangsung di wilayah pinggiran, radikalisme desa Jawa
masa lalu memang, tulis Kartodirdjo, tidak sampai mengganggu sejarah besar.
Namun, kini, dipicu the millennial
beliefs yang sama, gerakan radikal itu telah bertransformasi jadi
pemberontakan massa kota.
Mirip pemberontakan
massa miskin kota menjelang gerakan reformasi agama di Jerman abad ke-16,
seperti dilukiskan Friedrich Engels dalam The
Peasant War in Germany (1850), sifat kota gerakan ini berpengaruh
signifikan. Dengan kemampuan menggunakan peralatan modern seperti bom dan
teknologi informasi, efek demonstratif skala global tindakan kekerasan
itulangsung menyodok sejarah besar: berpotensi merontokkan kestabilan dan
corak kontestasi kekuasaan tingkat nasional, bahkan tingkat global.
Aliansi ekonomi BUMN dan rakyat
Secara teoretis,
deradikalisasi gerakan teror berdasar the millennial beliefs ini bisa
dilakukan dengan cara persuasif lain. Hanya saja, menyadari gerakan ini lebih
dilakukan kalangan terpinggirkan secara ekonomi, maka deradikalisasi perlu
juga dilakukan secara politik-ekonomi. Hal itu yakni dengan meluaskan
aktivitas ekonomi yang terjangkau rakyat banyak tanpa kualifikasi pendidikan
yang ketat. Jalan itu adalah ”aliansi ekonomi” badan usaha milik negara
(BUMN) dengan rakyat.
Dalam kalkulasi
strategis, ”aliansi” ini dimungkinkan sebab berbeda dengan sebelumnya ketika
badan-badan usaha ini terpencar di bawah kontrol tiap departemen teknis atau
ekonomi, sejak 16 Maret 1998 BUMN telah terkonsolidasi sebagai kekuatan
ekonomi negara dalam bentuk kementerian tersendiri.
Pendirian Kementerian BUMN
ini adalah tindakan politik-ekonomi terakhir Presiden Soeharto menyelamatkan
perekonomian Indonesia akibat krisis finansial 1997-1998. Tanri Abeng, tokoh
pendiri kementerian ini dan Menteri BUMN yang pertama, dalam bukunya,
Indonesia, Inc., (2001) menulis bahwa di tengah krisis itu Indonesia praktis
tanpa harapan. Depresiasi rupiah yang radikal menarik turun seluruh kinerja
ekonomi nasional. Ini terjadi karena biaya impor, yang harus dibayar dengan
mata uang dollar Amerika Serikat, meningkat berkali lipat.
Dengan keharusan tetap
memberikan subsidi pada energi, impor komoditas ini bukan saja memeras
cadangan devisa, melainkan juga mendorong inflasi. Sementara itu, juga karena
depresiasi rupiah, gabungan utang luar negeri pemerintah dan swasta tiba-tiba
membengkak. Maka, ujungnya adalah krisis kepercayaan pelaku-pelaku ekonomi
global terhadap Indonesia karena baik pemerintah maupun usaha swasta tidak
berkinerja.
Untuk menyelamatkan
perekonomian Indonesia inilah, Kementerian BUMN didirikan. Antara lain, lanjut
Tanri Abeng, tugas kementerian ini adalah membayar utang yang membengkak,
meningkatkan penerimaan negara melalui pajak dandividen, melakukan investasi
menciptakan lapangan kerja, mendorong aktivitas pasar modal, dan jadi mitra
pengembangan usaha kecil-menengah. Walau diakui Tanri Abeng tak semua BUMN
berkinerja baik, menurut saya pendirian kementerian itu tetap menentukan dan
bersejarah. Sebab, di tengah lumpuhnya sektor swasta besar, kekuatan ekonomi
BUMN yang telah terkonsolidasikan di bawah satu atap itu menjadi andalan
satu-satunya memelihara kepercayaan aktor-aktor global terhadap perekonomian
Indonesia.
Kini, dalam posisi
yang telah mapan, di bawah Menteri Rini Soemarno, BUMN berpeluang menjadi
sarana deradikalisasi pandangan keagamaan. Ini, telah disebut, bisa dilakukan
melalui penciptaan ”aliansi ekonomi” dengan rakyat. Jalannya adalah mendorong
aktivitas ekonomi yang terjangkau penduduk kebanyakan melalui pembentukan dan
mengorporatkan badan usaha milik rakyat (BUMR) di bawah koordinasi BUMN.
Seperti pernah saya
kemukakan di sini (Kompas, 2 November 2015), sampai dengan 2012 saja terdapat
56.534.592 unit usaha kecil dan menengah yang bisa digabung ke dalam BUMR.
Usaha ini berpotensi melahirkan aktivitas ekonomi raksasa sebab secara
keseluruhan, ujar Tanri Abeng, dalam bukunya BUMR: Badan Usaha Milik Rakyat
(2015), gabungan usaha kecil dan menengah ini menyerap tenaga kerja sebesar
107.657.509 atau 97,2 persen dari seluruh angkatan kerja.
Dalam konteks
Kementerian BUMN sendiri, ”aliansi” ini akan membuatnya mempunyai ”kaki
sosial-ekonomi” di lapisan terbawah. Dalam konteks rakyat, melalui kemampuan know how aktor-aktor BUMN, ”aliansi”
ini tanpa preseden mendorong pemberdayaan massif ekonomi rakyat. Akan tetapi,
di atas semua itu, di samping memperhatikan secara kreatif kritik Ketua Umum
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri
baru-baru ini, ”aliansi” tersebut adalah sarana efektif bagi deradikalisasi
paham-paham keagamaan. Mengapa? Fakta bahwa 10 persen penduduk mengontrol 77
persen kekayaan Indonesia dan 1 persen penduduk mengontrol 50 persen kekayaan
nasional (The Jakarta Post, 11 Desember
2015) adalah ketimpangan pendapatan paling akut pasca reformasi.
Semua ini berpotensi
menciptakan alienasi dan hilangnya harapan rakyat jelata akan perbaikan
ekonomi di masa kini dan mendatang. Seperti telah dinyatakan di atas,
alienasi dan kehampaan inilah yang mengawetkan the millennial beliefs yang
telah mendorong aksi-aksi radikal dan kekerasan atas nama agama. Dalam posisi
peran konglomerat swasta belum bisa diharapkan dengan segera, aksi ”aliansi
ekonomi” antara BUMN dan rakyat ini secara tidak langsung bisa menjadi sarana
deradikalisasi paham-paham keagamaan yang berlangsung dewasa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar