Senin, 25 Januari 2016

Regina

Regina

Arswendo Atmowiloto  ;  Budayawan
                                             KORAN JAKARTA, 23 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saya tak mengenal Regina, dan Regina tak mengenal saya. Saya mendengar banyak kisah Regina, sebagaimana masyarakat lain yang dibuai dunia entertainment, dunia sajian hiburan. Regina Andriane Saputri, muncul dalam dunia gaul, yang disebut dengan dunia sosialita. Kita mungkin banyak mendengar kisahnya, walau tetap samar.

Misalnya awal karier—kalau bisa dikatakan karier, sebagai wakil sekretaris tingkat DPC sebuah partai politik. Di sini kemudian bertemu dengan suami yang memberi satu anak, dan menjadi masalah karena suami ini masih menjadi suami perempuan lain. Sang suami ini yang mengenalkan kepada sosok lain, Farhat Abbas, mantan atau waktu itu masih suami Nia Daniaty, yang sahabat sesama lelaki. Hubungan Regina dengan Farhat juga berbau politik diawalnya, karena kampanye di Koala, Sulawesi Tenggara.

Farhat gagal, tapi hubungan dengan Regina jalan terus. Lalu kawin siri—dan Regina mengulangi apa yang pernah dialami. Regina merekam lagu—karena Farhat selain calon presiden termuda juga, katanya, pengorbit artis, dan kemudian menjadi juru bicara ketika perseteruan dengan tokoh lain, Ahmad Dhani. Dari perjalanan ini kita tahu akan banyak cerita, banyak berita karena menyangkut namanama yang dimanja media hiburan.

Termasuk perjanjian suami Regina dengan Farhat, bahwa Regina akan bekerja secara professional, dan bukan untuk diselingkuhi. Kisah berlanjut, bak benang kusut bagi yang suka merunut. Selepas dari kawin siri dengan Farhat, Regina menikah lagi, –kemungkinan juga siri, dengan Krisna Murti. Yang juga pengacara dan juga sudah punya—atau statusnya masih,beristri. Dari latar ini, pastilah akan banyak komentar, karena kini pihak yang berkomentar makin melebar. Istri Krisna, saudara-saudaranya, ibunya, lalu balasan komentar dari Regina, jadilah hingar bingar, membakar telinga dan kesadaran, juga kesabaran.

Misalnya Krisna menikahi Regina karena dipelet, atau juga karena mau dibayari hutangnya. Misalnya istri Krisna tadinya mengeluhkan terjadinya KDRT, kekerasan dalam rumah tangga, lalu mengatakan baik-baik saja setelah berkumpul bersama suaminya di suatu hotel. Juga dilengkapi komentar Adik dan atau Kakak, atau Paman Krisna… dan lain sebagainya, termasuk teori konspirasi yang canggih adanya.

Kisah Regina, atau nama yang terkait dengannya, adalah kisah dengan data dan fakta yang bisa berubah. Dan itu urusan yang bersangkutan, yang melakoni ini semua, mungkin dengan riang ria, dan memang begitulah tata nilai yang diinginkan. Yang dirugikan adalah tata nilai yang selama ini diyakini masyarakat.

Tata nilai pernikahan, misalnya. Selama ini tata nilai dalam pernikahan adalah sakral, hubungan suami-istri adalah saling setia dan saling menghormati, dalam susah dan senang selalu bersama, menjadi berantakan. Karena realitas lain yang dimunculkan soal kawin siri, soal rebutan suami, soal rebutan harta, soal-soal yang tadinya tercela.

Dua tata nilai yang berbeda— untuk tidak saling berlawanan, inilah yang mengharu biru dalam kehidupan kita sehari hari, mempengaruhi sikap dan penilaian kita selama ini.Dan itu bukan hanya oleh Regina—karena akan selalu ada nama lain, selalu ada “tokoh tanpa pekerjaan tapi manja gaul” yang muncul.

Kita butuh hiburan karena hidup yang penat. Dan menyikapinya dengan santai sebagaimana tulisan di media sosial, pada bagian komentar tertuliskan justru iklan ingin hamil, atau penawaran pakaian, atau hal yang tak berhubungan dengan kisah seru dan saru. Dan begitulah cara menjaga kewarasan kita, keseimbangan dalam hidup yang ramai ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar