Regina
Arswendo Atmowiloto ;
Budayawan
|
KORAN JAKARTA, 23
Januari 2016
Saya tak mengenal
Regina, dan Regina tak mengenal saya. Saya mendengar banyak kisah Regina,
sebagaimana masyarakat lain yang dibuai dunia entertainment, dunia sajian hiburan.
Regina Andriane Saputri, muncul dalam dunia gaul, yang disebut dengan dunia
sosialita. Kita mungkin banyak mendengar kisahnya, walau tetap samar.
Misalnya awal
karier—kalau bisa dikatakan karier, sebagai wakil sekretaris tingkat DPC
sebuah partai politik. Di sini kemudian bertemu dengan suami yang memberi
satu anak, dan menjadi masalah karena suami ini masih menjadi suami perempuan
lain. Sang suami ini yang mengenalkan kepada sosok lain, Farhat Abbas, mantan
atau waktu itu masih suami Nia Daniaty, yang sahabat sesama lelaki. Hubungan
Regina dengan Farhat juga berbau politik diawalnya, karena kampanye di Koala,
Sulawesi Tenggara.
Farhat gagal, tapi
hubungan dengan Regina jalan terus. Lalu kawin siri—dan Regina mengulangi apa
yang pernah dialami. Regina merekam lagu—karena Farhat selain calon presiden
termuda juga, katanya, pengorbit artis, dan kemudian menjadi juru bicara
ketika perseteruan dengan tokoh lain, Ahmad Dhani. Dari perjalanan ini kita
tahu akan banyak cerita, banyak berita karena menyangkut namanama yang
dimanja media hiburan.
Termasuk perjanjian
suami Regina dengan Farhat, bahwa Regina akan bekerja secara professional,
dan bukan untuk diselingkuhi. Kisah berlanjut, bak benang kusut bagi yang
suka merunut. Selepas dari kawin siri dengan Farhat, Regina menikah lagi,
–kemungkinan juga siri, dengan Krisna Murti. Yang juga pengacara dan juga
sudah punya—atau statusnya masih,beristri. Dari latar ini, pastilah akan
banyak komentar, karena kini pihak yang berkomentar makin melebar. Istri
Krisna, saudara-saudaranya, ibunya, lalu balasan komentar dari Regina,
jadilah hingar bingar, membakar telinga dan kesadaran, juga kesabaran.
Misalnya Krisna
menikahi Regina karena dipelet, atau juga karena mau dibayari hutangnya.
Misalnya istri Krisna tadinya mengeluhkan terjadinya KDRT, kekerasan dalam
rumah tangga, lalu mengatakan baik-baik saja setelah berkumpul bersama
suaminya di suatu hotel. Juga dilengkapi komentar Adik dan atau Kakak, atau
Paman Krisna… dan lain sebagainya, termasuk teori konspirasi yang canggih
adanya.
Kisah Regina, atau
nama yang terkait dengannya, adalah kisah dengan data dan fakta yang bisa
berubah. Dan itu urusan yang bersangkutan, yang melakoni ini semua, mungkin
dengan riang ria, dan memang begitulah tata nilai yang diinginkan. Yang
dirugikan adalah tata nilai yang selama ini diyakini masyarakat.
Tata nilai pernikahan,
misalnya. Selama ini tata nilai dalam pernikahan adalah sakral, hubungan
suami-istri adalah saling setia dan saling menghormati, dalam susah dan
senang selalu bersama, menjadi berantakan. Karena realitas lain yang
dimunculkan soal kawin siri, soal rebutan suami, soal rebutan harta,
soal-soal yang tadinya tercela.
Dua tata nilai yang
berbeda— untuk tidak saling berlawanan, inilah yang mengharu biru dalam
kehidupan kita sehari hari, mempengaruhi sikap dan penilaian kita selama
ini.Dan itu bukan hanya oleh Regina—karena akan selalu ada nama lain, selalu
ada “tokoh tanpa pekerjaan tapi manja gaul” yang muncul.
Kita butuh hiburan
karena hidup yang penat. Dan menyikapinya dengan santai sebagaimana tulisan
di media sosial, pada bagian komentar tertuliskan justru iklan ingin hamil,
atau penawaran pakaian, atau hal yang tak berhubungan dengan kisah seru dan
saru. Dan begitulah cara menjaga kewarasan kita, keseimbangan dalam hidup
yang ramai ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar