Teroris dan Perlawanan Bandar Narkoba
Bambang Soesatyo ; Ketua Komisi III DPR Fraksi Partai Golkar
|
KORAN SINDO, 28
Januari 2016
Sebagai garda terdepan
yang memerangi kelompok-kelompok radikal dan sindikat narkotika serta obat-obatan
(narkoba) terlarang, potensi ancaman terhadap institusi Polri dan jajaran
prajuritnya tereskalasi.
Kecenderungan itu
terlihat pada perlawanan dua bandar narkoba dan ledakan bom Sarinah, Jakarta.
Eskalasi ancaman terhadap institusi Polri dan prajuritnya itu sudah diakui
sendiri oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Badrodin
Haiti. Dia tegaskan lagi potensi ancaman itu selepas ledakan bom Sarinah.
Polisi menjadi salah satu target utama teroris. Tidak hanya anggota Polri,
tetapi juga markas-markas polisi, bahkan juga Kapolri.
Bagaimanapun kelompok-kelompok
teroris pasti memendam amarah dan dendam kepada polisi. Selain menggagalkan
sejumlah rencana aksi teror, polisi pun terus menangkapi anggota jaringan
teroris di berbagai daerah. Akan tetapi, menyusul perlawanan dua bandar
narkoba di Jakarta baru-baru ini, Kapolri dan jajarannya tampaknya perlu
meng-update lagi potensi ancaman
terhadap prajurit Polri di lapangan. Ada kecenderungan bandar narkoba dan
kelompoknya kini tidak lagi sekadar lari atau bersembunyi saat menghadapi
penindakan polisi, tetapi mereka berani melancarkan perlawanan atau serangan
balik.
Kalau mereka berani
melawan, berarti perlawanan itu telah dipersiapkan, bahkan mungkin juga
direncanakan. Peristiwa penindakan atau penggerebekan bandar narkoba di
Matraman, Jakarta Timur, dan penggerebekan di Jalan Bima, Johar Baru, Jakarta
Pusat, nyata-nyata menunjukkan adanya eskalasi ancaman terhadap prajurit
Polri di lapangan. Di Matraman, bandar narkoba dan kelompoknya melancarkan
perlawanan dengan serangan balik yang mematikan.
Bersenjata tajam,
kelompok pengedar narkoba membacok polisi yang melakukan penggerebekan.
Anggota polisi Bripka Taufik Hidayat tewas dengan cara yang sangat
mengenaskan. Dalam penggerebekan di Jalan Bima, Johar Baru, Jakarta Pusat,
alih-alih menyerahkan diri, bandar narkoba itu justru lebih dulu memuntahkan
tembakan ke arah polisi. Karena rencana penggerebekan itu sudah dipersiapkan
dengan matang, korban dari pihak polisi dan warga bisa dihindari.
Dua peristiwa ini
hendaknya menjadi pembelajaran bagi seluruh prajurit Polri di mana pun mereka
bertugas. Bukan tidak mungkin, dua perlawanan bandar narkoba di Jakarta itu
akan menginspirasi para bandar narkoba lainnya di berbagai tempat. Para
bandar narkoba mampu mempersenjatai kelompoknya karena kemampuan finansial
mereka yang mumpuni. Perkembangan terbaru yang berkait dengan potensi ancaman
itu patut diwaspadai.
Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme mengaku sudah mendapatkan informasi bahwa gembong
narkoba kelas kakap, Freddy Budiman, telah bergabung dengan Negara Islam Irak
dan Suriah (ISIS). Freddy, penghuni Lapas Nusakambangan itu, pun diduga ikut
membiayai serangan bom Sarinah. Walaupun peran Freddy belum terkonfirmasi,
informasi seperti ini tak boleh diremehkan.
Kalau sosok seperti
Freddy bisa membiayai aktivitas kelompok radikal, dia pun mampu
mempersenjatai anggota jaringannya yang tersebar di berbagai kota seperti
Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar. Freddy, bandar narkoba yang memiliki
jaringan internasional, pun menyimpan dendam kepada polisi. Dia telah divonis
mati oleh pengadilan karena terbukti mengatur peredaran narkoba dari dalam
sel penjara. Dari peristiwa penggerebekan di Matraman dan Johar Baru itu, ada
pesan yang sangat jelas kepada semua prajurit Polri.
Jangan lagi menganggap
remeh bandar narkoba dan anggota jaringannya. Menghadapi penindakan oleh
polisi, mereka bisa melancarkan serangan balik yang mematikan. Maka setiap
kali melakukan penindakan, prajurit Polri harus waspada dan dipersenjatai.
Basis ISIS
Pernyataan Kapolri
bahwa polisi menjadi salah satu target serangan teroris bukanlah mengada-ada.
Rangkaian penangkapan terduga teroris oleh Densus 88/Antiteror Mabes Polri di
berbagai kota menjadi bukti bahwa ancaman itu nyata dan serius. Kendati
banyak yang sudah ditangkap, ancaman tidak berkurang dengan sendirinya.
Apalagi pola pengorganisasian para terduga teroris itu tidak mudah dibaca.
Ada kelompok yang
mengikuti pola komando dari petinggi ISIS, sementara kelompok lainnya berada
dalam jaringan Santoso. Tidak kurang dari 800 warga negara Indonesia (WNI)
sudah bergabung dengan ISIS. Puluhan di antaranya dinyatakan tewas
melaksanakan misi ISIS. Hingga jelang akhir tahun 2015, sekitar 300 WNI yang
pernah bergabung dengan ISIS itu kembali ke Tanah Air. Aktivitas mereka
inilah yang dipantau intensif oleh Polri. Dari pemantauan itu, pihak berwajib
memang menangkap 9 tersangka plot serangan Natal dan Tahun Baru pada Desember
2015.
Namun mereka masih
mampu melakukan serangan dengan ledakan Bom Sarinah. Selain simpatisan ISIS,
ancaman teror juga datang dari kelompok Santoso yang diburu dalam operasi
yang digelar sejak 28 Oktober 2015. Hingga berakhirnya Operasi Camar Maleo IV
pada 9 Januari 2016, Santoso sebagai pentolan belum bisa ditangkap. Operasi
Camar Maleo digelar untuk mencari dan menangkap kelompok teroris pimpinan
Santoso yang jumlahnya diperkirakan 38 orang.
Kelompok itu berlatih
sambil bersembunyi di kawasan hutan pegunungan yang membentang di empat
wilayah kecamatan di Poso, Sulawesi Tengah. Data terbaru dari pihak intelijen
memperkirakan jumlah anggota kelompok Santoso bersisa 32 orang. Dua di
antaranya warga negara Cina dari etnik Uighur dan tiga perempuan. Santoso dan
kelompoknya diduga sudah bersinergi dengan ISIS. Maka ambisi ISIS membangun
basis kekuatannya di Asia Tenggara patut diwaspadai Polri karena hal itu akan
mengeskalasi ancaman terhadap kawasan ini, termasuk Indonesia tentu saja.
Apalagi untuk
mendirikan basis kekuatanitu, pilihanfavoritpentolan ISIS hanya dua,
Indonesia atau Filipina. Pilihan ini masuk akal karena sel-sel teroris di
kedua negara terus bertumbuh. Untuk memperkecil peluang ISIS menjadikan
Indonesia sebagai basis di kawasan ini, operasi serupa Camar Maleo harus
dilanjutkan. Operasi semacam itu menutup kesempatan bagi simpatisan ISIS
untuk bergerak.
Operasi penangkapan
oleh Densus 88/Antiteror pun harus diintensifkan. Jika dilakukan secara
berkelanjutan dan tanpa kompromi, dua operasi seperti itu akan menutup ruang
bagi simpatisan ISIS. Dengan asumsi bahwa ISIS berpotensi merusak stabilitas
Asia Tenggara, pemerintah dan Polri perlu mengambil inisiatif kerja sama
menangkal kehadiran ISIS dengan semua negara anggota ASEAN. Selain Indonesia,
Singapura, dan Filipina, anggota ASEAN lainnya harus didorong untuk peduli
pada ancaman ISIS di kawasan ini.
Semangat dan tujuannya
hanya satu, tidak ada tempat di Asia Tenggara untuk ISIS. Mengenai ancaman
ISIS, ASEAN harus belajar dari pengalaman Eropa. Aksi mereka telah
mengguncang Paris di Prancis dan Istanbul di Turki. Kebrutalan mereka di
Timur Tengah mendorong para pengungsi membanjiri kota-kota di Eropa. Kalau
ISIS bisa membangun basis kekuatannya di kawasan ini, ASEAN pun nantinya
berpotensi mengalami mimpi buruk seperti halnya Eropa saat ini.
Polri dan polisi di
negara anggota ASEAN lainnya mau tak mau memang harus mengantisipasi potensi
ancaman itu sejak dini. Pertukaran informasi tentang pergerakan anggota
jaringan teroris harus dilakukan dengan lebih serius dan sungguh-sungguh.
Kalau ASEAN bersatu, ISIS tidak akan mendapat ruang untuk membangun basis
kekuatannya di kawasan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar