90 Tahun Jam'iyyah Nahdlatul Ulama
Salahuddin Wahid ;
Pengasuh Pesantren Tebuireng
|
KOMPAS, 30 Januari
2016
Ajaran ahlus sunnah wal jamaah yang menjadi
pegangan jemaah dan jam'iyyah Nahdlatul Ulama sudah hadir di Nusantara sejak
sekitar 1.000 tahun lalu. Ajaran itu
dibawa penyebar Islam yang bersedia berdialog dengan budaya setempat dan
memakai media tradisional dalam menyebarkan Islam. Pesantren yang menjadi
salah satu pusat penyebaran Islam adalah lembaga pendidikan tertua di
Nusantara. Pesantren tertua yang kini masih aktif adalah Pesantren Sidogiri,
berdiri pada 1718.
Pesantren Tebuireng
didirikan pada 1899 oleh KH Hasyim Asy'ari, jadi daya tarik bagi para pemuda
berpotensi dari berbagai daerah. Sejumlah santri terpilih yang dibina khusus
oleh Hasyim Asy'ari kemudian mendirikan pesantren di tempat mereka tinggal
setelah meninggalkan Tebuireng. Pesantren-pesantren itu kelak menjadi pesantren
besar, seperti Lirboyo, Ploso Kediri, Tegalrejo Magelang, dan Denanyar
Jombang.
Pesantren-pesantren
yang didirikan oleh alumni Tebuireng itu membentuk jama'ah (komunitas)
penganut paham Islam ahlus sunnah wal jamaah (Aswaja), yang mengikuti mazhab
empat (terutama mazhab Syafi'i). Para kiai dari komunitas pesantren itu
merasakan kebutuhan untuk mendirikan jam'iyyah
(organisasi) untuk bisa meningkatkan pengabdian mereka.
Penggagas awal
berdirinya jam'iyyah Nahdlatul Ulama (NU) adalah KHA Wahab Hasbullah, santri
Hasyim Asy'ari. Kiai Wahab menyampaikan usul itu karena paham bahwa
organisasi NU hanya akan bisa tumbuh kalau dipimpin oleh Hasyim Asy'ari. Setelah mendapat perintah dua kali dari
Syaikhona Kholil, guru yang dihormatinya, Hasyim Asy'ari menyatakan
berdirinya organisasi NU pada 31 Januari 1926 (17 Rajab 1344).
Mandiri dan maju
Organisasi NU lalu
dikembangkan melalui jaringan pesantren, terutama alumni Pesantren Tebuireng,
yang tersebar di banyak tempat. Ternyata metode itu amat efektif. Tahun 1935,
NU punya 68 cabang dengan 67.000 anggota. Tahun 1938, berkembang jadi 99
cabang, termasuk di luar Jawa.
Organisasi baru ini tumbuh secara mandiri. Sampai 1940, setiap tahun
diselenggarakan 15 muktamar. Itu menunjukkan bahwa organisasi NU dikelola dengan
baik, dilandasi roh jihad yang kuat.
Dalam Muktamar 1938 di
Banten, NU menyatakan Hindia Belanda sebagai "dar-al Islam",
artinya negeri yang dapat diterima umat Islam. Alasannya, penduduk Muslim
dapat menjalankan syariat Islam yang dilakukan oleh para pegawai yang juga
Muslim. Ini pertama kalinya NU menerapkan tradisi Sunni dalam pengesahan
kekuasaan yang dapat diterima bila berfaedah bagi kehidupan beragama.
Walaupun sudah
menerima Hindia Belanda sebagai "dar al Islam", dalam persidangan
BPUPKI, bersama ormas Islam lain NU memperjuangkan Islam menjadi dasar
negara. Komprominya ialah Mukadimah UUD yang terkenal dengan sebutan
"Piagam Jakarta". Di dalamnya tercantum bahwa dasar negara ialah
Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat
Islam bagi Pemeluk-pemeluknya. Pada 18 Agustus 1945 beberapa tokoh Islam
bertemu Bung Hatta untuk membahas penolakan kelompok Kristen di Indonesia
Timur terhadap "tujuh kata Piagam Jakarta" itu. Menghadapi pilihan
sulit itu, para tokoh Islam itu setuju untuk mencoret tujuh kata itu sehingga
sila pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam persidangan
Konstituante (1956-1959), partai-partai Islam
meneruskan perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Dalam
pemungutan suara, dasar negara Pancasila meraih suara di atas 56 persen dan
dasar negara Islam meraih 43 persen. Karena Konstituante mengalami jalan
buntu, akhirnya Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
memberlakukan kembali UUD 1945. Dalam pertimbangan dekrit itu, dinyatakan
Piagam Jakarta menjadi bagian tidak terpisahkan dari UUD 1945 dan
menjiwainya.
PBNU membentuk tim
yang diketuai oleh KH Achmad Siddiq untuk menyusun naskah tentang
"Hubungan Islam dengan Pancasila". Pada Desember 1983, naskah
tersebut dipaparkan Achmad Siddiq di depan Munas Alim Ulama NU. Walaupun amat
sulit, para ulama NU bisa diyakinkan untuk menerima naskah itu. Pada Muktamar
NU 1984, naskah itu ditetapkan sebagai keputusan muktamar.
NU dan partai politik
Pada 1945, NU
bergabung dalam Partai Masyumi di mana Hasyim Asy'ari menjadi Ketua Majelis
Syuro. Pada tingkat nasional terdapat perbedaan mencolok antara tokoh-tokoh
NU dengan tokoh-tokoh Masyumi. Tokoh-tokoh NU adalah lulusan pesantren dan
tokoh-tokoh Masyumi adalah lulusan sekolah Barat dan universitas. Selain itu,
juga terdapat perbedaan pemikiran keagamaan. Pada 1952, NU keluar dari
Masyumi dan mendirikan Partai NU, yang jadi pemenang ketiga Pemilu 1955.
Dalam Pemilu 1971,
Partai NU yang masih berjuang untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara
adalah partai yang paling lantang mengkritisi pemerintah. Tak heran jika banyak juru kampanye NU
diturunkan pihak keamanan dari podium kampanye. Aktivis NU di Departemen
Agama diharuskan memilih jadi PNS atau NU. Maka, NU kehilangan banyak tokohnya.
Pada 1973, Partai NU
bergabung dengan partai-partai Islam
ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Walau unsur terbesar di dalam
PPP, NU kurang berperan akibat intervensi pemerintah. Pada Muktamar 1984, NU
menegaskan Khittah NU 1926 yang antara lain menegaskan NU menjaga jarak yang
sama terhadap semua partai Islam. Penegasan itu dimaknai NU keluar dari PPP.
Maka, di berbagai daerah tokoh-tokoh NU muncul sebagai aktivis Golkar.
Hanya 14 tahun NU
mampu tidak terlibat dalam politik praktis. Pasca Orde Baru, saat
pemerintahan BJ Habibie membuka kesempatan mendirikan partai baru untuk bisa
ikut dalam Pemilu 1999, lima tokoh
PBNU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai wadah penyaluran
aspirasi politik warga NU.
PKB berhasil
mengantarkan Gus Dur menjadi presiden ke-4 RI. NU bergeser dari ranah
masyarakat sipil menuju ranah politik. Kini timbul kesan kuat bahwa NU
meninggalkan Khittah NU 1926 dalam masalah politik. PKB yang dimaksudkan
sebagai sayap politik NU, kini justru terkesan mengendalikan organisasi NU
dan organisasi di bawah NU. Nuansa paradigma partai politik dan pragmatisme
amat terasa di dalam organisasi NU dan sejumlah badan otonom di bawahnya.
Perlu dirawat
Organisasi NU
didirikan oleh para ulama yang penuh keikhlasan, jauh dari popularitas. NU
pernah diejek sebagai kelompok sarungan, "teklekan", dan dianggap
oportunis saat menjadi partai politik, serta ketinggalan zaman. Kini banyak
kiai NU tidak canggung memakai sarung tampil dalam berbagai kesempatan,
termasuk di Istana Merdeka, bahkan Presiden hadir dalam pembukaan Muktamar NU
dengan memakai sarung.
Bersama Muhammadiyah, NU kini menjadi organisasi
dan komunitas yang dianggap sebagai pengawal negara dan penjaga moral bangsa.
Tentu itu harus disyukuri dengan merawatnya sesuai harapan para ulama pendiri
NU. Hasyim Asy'ari menyatakan bahwa santri yang baik adalah santri yang
ketika pulang ke rumah masing-masing bisa menerapkan apa yang diperolehnya di
pesantren. Berarti para santri harus menunjukkan akhlak dan moralitas ketika
tamat dari pesantren dan bergiat sebagai apa pun.
Untuk bisa berperan
menjadi penjaga moral bangsa, terlebih dulu moral para petinggi NU harus
baik. Petinggi NU harus bisa betul-betul menjadi pemimpin. Petinggi NU harus belajar pada pemimpin NU
masa lalu, terutama saat NU belum menjadi partai politik, karena NU kini
bukan partai politik.
Petinggi NU harus bisa
menjadi negarawan bukan politisi. Roh jihad yang amat menipis perlu segera
ditumbuhkan kembali. Petinggi NU harus bisa betul-betul memberi manfaat bagi
NU, bukan hanya pandai memanfaatkan NU. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar