BUMN, Trader, dan Harga Gas
Marwan Batubara ;
Direktur
Eksekutif Indonesia Resources Studies (Iress)
|
REPUBLIKA, 26 Januari
2016
Penerbitan Permen ESDM
No 37/2015 tentang Ketentuan Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga
Gas Bumi telah memberi harapan adanya perbaikan tata kelola gas bumi
nasional. Namun, tak sampai sebulan, permen yang terbit 23 Oktober 2015 ini
ditarik kembali. Pemerintah gamang menghadapi trader gas yang keberatan atas
aturan baru dalam permen, terutama tentang alokasi gas yang hanya diberikan
kepada BUMN dan BUMD.
Kuasa Hukum Asosiasi
Pedagang Gas Alam Indonesia (INGTA) Yusril Ihza Mahendra meminta Menteri ESDM
segera menyelesaikan revisi permen. "Peraturan tersebut berpotensi
mematikan swasta dan pengusaha kecil yang selama ini bergerak di bidang
penyaluran gas alam ke konsumen akhir," kata Yusril (30/12/2015).
Menurut Yusril, substansi permen bertentangan dengan UU Migas dan UU
Antimonopoli, sehingga berpotensi dibatalkan Mahkamah Agung melalui gugatan uji
materi.
Yusril mengatakan,
selaku kuasa hukum INGTA telah menyampaikan masukan kepada Menteri ESDM
terkait revisi Permen No 37/2015 pada November 2015. Disebutkan, Menteri ESDM
akan segera merevisi permen itu berdasarkan masukan berbagai pihak. Tulisan
ini akan membahas apakah revisi permen layak dilakukan.
Pada prinsipnya,
ketentuan baru dalam Permen No 37/2015 adalah perbaikan atas Permen No
3/2010. Berbagai ketentuan liberal dalam PP No 3/2010 sebagai turunan dari UU
Migas No 22/2001 dan PP No 36/2004 pada hasil akhirnya membuat pelayanan gas
kepada masyarakat, sektor industri, PLN, transportasi mengalami banyak
kendala. Dampak negatif terjadi meliputi infrastruktur tidak terbangun,
pelayanan menurun, kelangkaan gas, harga gas mahal (termahal di ASEAN), daya
saing industri rendah, dan lainnya.
Mahalnya harga gas
disebabkan sebagian pelaku industri membeli gas dari trader. Trader mendapat
alokasi gas dari pemerintah (KESDM/SKK Migas) meskipun mereka tidak memiliki
fasilitas. Bahkan, ada trader yang memperoleh gas dari trader lain, sehingga
menambah rantai bisnis dan harga gas mahal.
Kondisi industri gas
nasional saat ini melibatkan banyak trader sebagai perantara. Semakin banyak
perantara, membuat industri tidak efisien dan harga yang dibayar konsumen
menjadi lebih mahal.
Tak heran dengan
rantai bisnis yang tidak efisien berdasar model peraturan yang liberal ini,
harga gas di tingkat konsumen dapat lebih mahal 5,5 dolar AS-6 dolar AS per
mmbtu dari seharusnya. Cukup pantas jika konsumen gas menyambut baik terbitnya
Permen No 37/2015, terutama untuk mengoreksi tata kelola saat ini yang
melahirkan penjualan berjenjang dan menyediakan celah berperannya para trader
dan pemburu rente.
Pasal 6-12 Permen No
37/2015 mengatur penyaluran gas bumi kepada pengguna gas bumi hanya akan
dijalankan oleh BUMN dan BUMD. Gas yang dialokasikan tak dapat diniagakan
kembali selain kepada pengguna akhir. Permen ini memperjelas dan
mengembalikan hak penguasaan dan pengeloaan sektor gas bumi kepada negara.
Pengelolaan sektor
strategis dan menyangkut hidup orang banyak seharusnya dilakukan oleh BUMN
dan BUMD sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Karena itu, sangat disayangkan jika
Menteri ESDM justru berkenan memenuhi tuntutan para trader, padahal perbaikan
permen merupakan amanat konstitusi.
Yusril dan INGTA
menyebut Permen No 37/2015 bertentangan dengan UU Antimonopoli dan berpotensi
dibatalkan Mahkamah Agung sehingga harus direvisi. Padahal, kebijakan
monopoli alamiah sektor pelayanan publik normal berlaku di dunia dan dijamin
pula oleh konstitusi untuk dijalankan BUMN. Dengan monopoli alamiah tercipta
pelayanan yang luas, harga wajar, cross-subsidy antarwilayah (dari yang padat
ke yang jarang konsumen) dan pembangunan infrastruktur berkelanjutan.
Menurut konstitusi dan
UU, monopoli tidak dilarang. Hal yang dilarang adalah praktik monopoli yang
merupakan penyalahgunaan dari monopoli. Sejak semula, industri gas di
Indonesia bersifat monopoli alamiah. Tetapi, dengan berlakunya UU Migas,
pelayanan dikompetisikan di beberapa segmen penyedia gas dan trader.
Karakteristik sektor
gas dengan monopoli alamiah sebenarnya melekat, tapi diliberalisasi tanpa
definisi yang jelas tentang fungsi trader. Akibatnya, terjadilah berbagai
kerugian seperti disebutkan di atas.
Ada kekhawatiran hak
monopoli akan menimbulkan tindakan sewenang-wenang oleh BUMN, terutama dalam
penetapan harga. Padahal, konsep monopoli harus dijalankan bersamaan dengan
wewenang penetapan harga yang mutlak di tangan pemerintah. Pasal 72 PP No
30/2009 menyatakan, harga bahan bakar minyak dan gas bumi diatur dan
ditetapkan oleh pemerintah.
Karena itu, bersamaan
dengan terbitnya Permen No 37/2015, pemerintah pun seharusnya mencabut Permen
No 19/2009 yang memberi wewenang kepada badan usaha/trader untuk menetapkan
harga gas bumi (Pasal 21 ayat 4-5). Faktanya, harga gas mahal dan peran
trader bukan akar masalah tata kelola gas, tetapi hanya gejala. Tidak tepat
jika membuat kebijakan hanya berdasarkan gejala. Problem utama tata kelola
ternyata karena kurangnya transparasi.
Di samping penentuan
harga gas di tangan pemerintah, aspek governance pun harus ditingkatkan, baik
di lingkup pemerintah maupun di BUMN. Selain itu, perlu dibentuk komite
pengawas yang keanggotaannya berasal dari pemerintah, wakil konsumen gas,
profesional sektor, akademisi, dan lainnya.
Terkait pengembalian
monopoli BUMN, pemerintah pun perlu meningkatkan sinergi BUMN, PGN, dan
Pertagas. Perlu integrasi infrastruktur melalui sinergi operasi sarana
transmisi dan distribusi keduanya.
Konsep open access dan
unbundling harus dijalankan, tapi berlaku terbatas hanya di antara kedua
BUMN. Bundled service mestinya diberlakukan atas infrastruktur yang sedang
dikembangkan. Selanjutnya, kedua BUMN perlu digabung dengan catatan mayoritas
saham publik PGN harus dibeli kembali oleh negara.
Penerbitan Permen No
37/2015 seharusnya disambut baik seluruh kalangan, termasuk trader mengingat
tujuannya mengoreksi berbagai peraturan yang telanjur liberal. Memang,
mestinya perubahan dimulai dengan revisi UU Migas dan sejumlah PP di bawahnya.
Namun, karena faktor
waktu dan upaya, sementara dampak negatif yang timbul semakin parah, maka
langkah interim menerbitkan permen patut diapresiasi. Karena itu, penolakan
atas permen patut dipertanyakan. Jika bukan oleh bangsa sendiri, siapa lagi
yang akan menghormati konstitusi kita?
Peran swasta/trader di
industri gas harus tetap diakomodasi pemerintah. Untuk itu, perlu disiapkan
aturan, minimal melalui revisi Permen No 37/2015 yang secara perlahan
mengalihkan keterlibatan trader untuk selalu bekerja sama dan berkontrak
dengan BUMN dan/atau BUMD.
Bisnis yang dapat
digeluti trader bersama BUMN atau BUMD, antara lain, menjadi retailer wilayah
tertentu dan membangun infrastruktur di wilayah baru. Dengan kendali di
tangan BUMN, minimal pemerintah telah memulai perbaikan sistem yang konsisten
dengan konstitusi, tapi tetap membuka peluang kepada swasta untuk memperoleh
kesepmatan berbisnis, sehingga tata niaga gas yang liberal dapat diperbaiki. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar