Espresso dan Rasa Waswas
Bre Redana ;
Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 24 Januari
2016
Pagi ketika Jakarta
diguncang bom, saya mendapat banyak pesan singkat ataupun telepon dari sanak
saudara dan handai tolan, menanyakan apakah saya baik-baik saja. Soalnya,
pagi hari sempat beredar kabar bahwa, selain di Jalan Thamrin, bom juga
meledak di Palmerah, yang mereka semua tahu itu kawasan tempat kerja saya.
Waktu itu berita
memang simpang siur. Semua pihak, semua orang, ingin menjadi yang pertama
memberitakan suatu kejadian, sampai-sampai sesuatu yang tak terjadi pun
diberitakan-seperti bom di Palmerah itu.
Untunglah kita hidup
pada era hiruk-pikuk, terkondisi menerima apa saja, akurat tidak akurat,
benar tidak benar, nyata tidak nyata, ngawur tidak ngawur. Kalau dalam cerita
wayang, terucap satu saja kabar tidak benar, fatal akibatnya. Seperti dalam
episode Durna Gugur. Mahaguru para Pandawa ini singa tempur tak terkalahkan
di padang Kurusetra dalam perang Bharatayudha. Maka, oleh Krisna, dibikin
siasat. Kabarkan berita tidak benar bahwa anaknya, Aswatama, tewas.
Benarlah, begitu
mendengar Aswatama tewas-yang kenyataannya tidak-seketika Durna kehilangan
semangat tempur. Ia membuang senjata, bersemedi di atas kereta. Saat itulah
Drestajumena meloncat, memenggal kepala orang tua yang telah kehilangan
hasrat hidup ini.
Ah wayang, siapa masih
peduli dengan cerita semacam Durna, yang terperangkap pada delusi, percaya yang ia dengar, tanpa
melihat dan menelaah bukti? Percaya pada yang engkau lihat, bukan engkau
dengar, begitu nasihat guru silat Gunawan Rahardja dari Kebon Jukut, Bogor.
Sebagai seorang
Buddhis, ia sering menggunakan kosakata delusi
dan menyatakan bahwa pergulatan manusia dari waktu ke waktu adalah
membebaskan diri dari delusi, sesuatu
yang tidak nyata.
Delusi, bagian dari sistem kerja (operating
system) otak, melahirkan apa yang dikenal manusia dalam bentuk perasaan
waswas, ragu, cemas, takut, dan lain-lain. Bohong kalau ada manusia mengaku
tidak punya rasa takut, katanya. Guru menambahkan, bela diri pun muncul dari
rasa takut. Kalau tak ada takut, tak ada tangkis pukul. Tak ada mundur:
mundur satu langkah maju delapan penjuru. Atau nasihatnya yang lain, lakukan latihan agar otak seimbang dan
selaras. Pikiran yang seperti itu akan seperti langit dan
bintang-bintang. Akan muncul intuisi.
Masalah delusi makin problematik, seiring
berkembangnya teknologi digital, yang menghadirkan kenyataan virtual, virtual reality. Yang nyata
dan tidak nyata semakin sulit dibedakan. Begitu pun antara yang serius dan
iseng-iseng, main-main.
Produksi dan
reproduksi berita melalui teknologi digital tak terhindarkan dicapai dari
proses mendengar, yang dengan seketika bisa disebarluaskan. Urutannya kurang
lebih: ada delusi, kondisi, lahir teks.
Bagi yang penasaran mengenai jurnalisme, sebaliknya asas yang berlaku adalah
terdapat suatu kondisi, situasi, orang terjun pada situasi tersebut,
mempelajari, menilai, bahkan merasakan, sebelum kemudian lahir teks. Tak
heran kalau dalam proses ini bisa berkembang empati, tepa selira,
keprihatinan, engagement, dan
semacamnya.
Hanya saja, kenyataannya
kini kita hidup dalam masa kejayaan teknologi digital. Makin berat pergulatan
manusia untuk menyadari dan membebaskan diri dari delusi. Delusi dan
terdapatnya kondisi seperti adanya bom di tengah kota Jakarta yang lalu,
selain berita simpang siur, telah melahirkan ungkapan massal, saya tidak
takut. Dibarengi ungkapan berikut tentang polisi ganteng, merek sepatu si
polisi, arlojinya, dan lain-lain. Para cewek termehek-mehek. Ada yang ingin
jadi teroris, berharap ditangkap polisi ganteng.
Adakah yang masih
tidak yakin bahwa alat, teknologi, menentukan bagaimana manusia bersikap?
Di luar sana, kalau
Anda mau merenung sejenak, kita sama-sama tahu bagaimana paham radikalisme,
intoleransi, hasutan, aksi sweeping,
dan kekerasan tumbuh di ladang subur.
Terus terang, saat ini
saya sering waswas setiap kali minum espresso
di kedai kopi itu.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar