Senin, 25 Januari 2016

Espresso dan Rasa Waswas

Espresso dan Rasa Waswas

Bre Redana  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 24 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pagi ketika Jakarta diguncang bom, saya mendapat banyak pesan singkat ataupun telepon dari sanak saudara dan handai tolan, menanyakan apakah saya baik-baik saja. Soalnya, pagi hari sempat beredar kabar bahwa, selain di Jalan Thamrin, bom juga meledak di Palmerah, yang mereka semua tahu itu kawasan tempat kerja saya.

Waktu itu berita memang simpang siur. Semua pihak, semua orang, ingin menjadi yang pertama memberitakan suatu kejadian, sampai-sampai sesuatu yang tak terjadi pun diberitakan-seperti bom di Palmerah itu.

Untunglah kita hidup pada era hiruk-pikuk, terkondisi menerima apa saja, akurat tidak akurat, benar tidak benar, nyata tidak nyata, ngawur tidak ngawur. Kalau dalam cerita wayang, terucap satu saja kabar tidak benar, fatal akibatnya. Seperti dalam episode Durna Gugur. Mahaguru para Pandawa ini singa tempur tak terkalahkan di padang Kurusetra dalam perang Bharatayudha. Maka, oleh Krisna, dibikin siasat. Kabarkan berita tidak benar bahwa anaknya, Aswatama, tewas.

Benarlah, begitu mendengar Aswatama tewas-yang kenyataannya tidak-seketika Durna kehilangan semangat tempur. Ia membuang senjata, bersemedi di atas kereta. Saat itulah Drestajumena meloncat, memenggal kepala orang tua yang telah kehilangan hasrat hidup ini.

Ah wayang, siapa masih peduli dengan cerita semacam Durna, yang terperangkap pada delusi, percaya yang ia dengar, tanpa melihat dan menelaah bukti? Percaya pada yang engkau lihat, bukan engkau dengar, begitu nasihat guru silat Gunawan Rahardja dari Kebon Jukut, Bogor.

Sebagai seorang Buddhis, ia sering menggunakan kosakata delusi dan menyatakan bahwa pergulatan manusia dari waktu ke waktu adalah membebaskan diri dari delusi, sesuatu yang tidak nyata.

Delusi, bagian dari sistem kerja (operating system) otak, melahirkan apa yang dikenal manusia dalam bentuk perasaan waswas, ragu, cemas, takut, dan lain-lain. Bohong kalau ada manusia mengaku tidak punya rasa takut, katanya. Guru menambahkan, bela diri pun muncul dari rasa takut. Kalau tak ada takut, tak ada tangkis pukul. Tak ada mundur: mundur satu langkah maju delapan penjuru. Atau nasihatnya yang lain, lakukan latihan agar otak seimbang dan selaras. Pikiran yang seperti itu akan seperti langit dan bintang-bintang. Akan muncul intuisi.

Masalah delusi makin problematik, seiring berkembangnya teknologi digital, yang menghadirkan kenyataan virtual, virtual reality. Yang nyata dan tidak nyata semakin sulit dibedakan. Begitu pun antara yang serius dan iseng-iseng, main-main.

Produksi dan reproduksi berita melalui teknologi digital tak terhindarkan dicapai dari proses mendengar, yang dengan seketika bisa disebarluaskan. Urutannya kurang lebih: ada delusi, kondisi, lahir teks. Bagi yang penasaran mengenai jurnalisme, sebaliknya asas yang berlaku adalah terdapat suatu kondisi, situasi, orang terjun pada situasi tersebut, mempelajari, menilai, bahkan merasakan, sebelum kemudian lahir teks. Tak heran kalau dalam proses ini bisa berkembang empati, tepa selira, keprihatinan, engagement, dan semacamnya.

Hanya saja, kenyataannya kini kita hidup dalam masa kejayaan teknologi digital. Makin berat pergulatan manusia untuk menyadari dan membebaskan diri dari delusi. Delusi dan terdapatnya kondisi seperti adanya bom di tengah kota Jakarta yang lalu, selain berita simpang siur, telah melahirkan ungkapan massal, saya tidak takut. Dibarengi ungkapan berikut tentang polisi ganteng, merek sepatu si polisi, arlojinya, dan lain-lain. Para cewek termehek-mehek. Ada yang ingin jadi teroris, berharap ditangkap polisi ganteng.

Adakah yang masih tidak yakin bahwa alat, teknologi, menentukan bagaimana manusia bersikap?

Di luar sana, kalau Anda mau merenung sejenak, kita sama-sama tahu bagaimana paham radikalisme, intoleransi, hasutan, aksi sweeping, dan kekerasan tumbuh di ladang subur.

Terus terang, saat ini saya sering waswas setiap kali minum espresso di kedai kopi itu....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar