Selasa, 26 Januari 2016

Aliran Modal dan Fundamen Ekonomi

Aliran Modal dan Fundamen Ekonomi

Umar Juoro ;  Senior Fellow pada CIDES dan The Habibie Center
                                                      KOMPAS, 26 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Memasuki tahun 2016 nilai rupiah kembali terdepresiasi setelah melemah 11 persen pada 2015. Dilihat dari fundamental ekonomi, kondisi Indonesia sebenarnya cukup baik: pertumbuhan sekalipun melemah masih 4,7 persen, inflasi rendah 3,35 persen, dan defisit transaksi berjalan 2 persen. produk domestik bruto juga tidak buruk.

Jelaslah bahwa volatilitas rupiah-sebagaimana juga  mata uang lain-lebih dipengaruhi aliran modal masuk dan keluar daripada fundamental ekonomi.

Aliran modal dan rupiah

Tahun 2015 indeks pasar modal melemah 14 persen, sejalan dengan pelemahan nilai rupiah. Fenomena ini memperkuat pendapat bahwa nilai mata uang lebih ditentukan oleh aliran modal daripada fundamental. Jika kita refleksi balik ke tahun 2011 ketika rupiah menguat (apresiasi) aliran modal masuk ke pasar keuangan juga sangat besar sejalan dengan kebijakan Quantitative Easing Bank Sentral AS, The Fed, yang mengalirkan dana besar ke pasar keuangan.

Aliran modal juga berkaitan dengan pasar obligasi, untuk Indonesia adalah surat berharga negara (SBN). Biasanya ketika aliran modal masuk untuk membeli SBN, maka rupiah mengalami apresiasi dan sebaliknya jika terjadi penjualan SBN dan aliran modal keluar, maka rupiah terdepresiasi. Namun sekalipun pasar modal dan obligasi didominasi asing, di pasar obligasi SBN terjadi net beli (net buy), sedangkan di pasar modal terjadi net jual (net sell).

Tekanan nilai tukar mata uang juga semakin besar dengan semakin besarnya utang luar negeri suatu negara. Semakin besar utang luar negeri, maka semakin tinggi volatilitas nilai tukar mata uang yang bersangkutan. Utang luar negeri negara berkembang naik dengan pesat sejak krisis keuangan dunia 2009. Utang 12 negara berkembang, antara lain Tiongkok, Brasil, Turki, Rusia, termasuk Indonesia, mencakup 70 persen dari total utang luar negeri, terutama swasta, sebesar 3,8 triliun dollar AS. Karena itu, mata uang negara-negara tersebut paling volatil nilai tukarnya. Kebutuhan dollar untuk membayar bunga dan cicilan utang menekan nilai tukar mata uang.

Utang luar negeri

Dengan kebijakan The Fed menaikkan suku bunga, maka nilai tukar mata uang negara-negara dengan utang luar negeri tinggi akan semakin tertekan. Utang luar negeri swasta Indonesia 167,5 miliar dollar AS, lebih tinggi tinggi dari utang luar negeri pemerintah. Padahal, tahun 2010 utang luar negeri swasta masih 83,8 miliar dollar AS.

Utang swasta luar negeri ini meningkat pesat sejak itu. Sering dinyatakan bahwa utang swasta yang berjangka pendek tidak terlalu besar. Menurut data Bank Indonesia (BI) sekitar 55,6 miliar dollar AS dan umumnya adalah back to back, yaitu antara perusahaan induk dengan anak perusahaannya di Indonesia. Sekalipun demikian, tetap semakin besar utang luar negeri suatu negara, baik swasta maupun pemerintah, semakin besar pula volatilitas mata uangnya. Permintaan dollar AS dari Pertamina untuk impor minyak dan BBM juga menambah tekanan terhadap rupiah.

Dalam menghadapi keadaan demikian, maka pilihan kebijakan bank sentral tidaklah banyak dan tidak seefektif yang dikehendaki. Kebijakan moneter menentukan suku bunga dan intervensi menstabilkan nilai tukar mata uang adalah yang tersedia. Namun, menaikkan suku bunga pada saat  ekonomi melemah bisa semakin melemahkan ekonomi. Sedangkan kebijakan intervensi sangat bergantung pada ketersediaan cadangan devisa yang pada umumnya sangat terbatas.

Usulan berupa pengendalian modal (capital control) semakin kuat apalagi IMF tidak lagi menabukan pengendalian modal jika dilakukan dengan efektif dan targetnya jelas. Pengendalian modal membuat pasar keuangan tersegmentasi sehingga kebijakan intervensi bank sentral menjadi lebih efektif.

Efektivitas birokrasi

Namun, kebijakan pengendalian modal bergantung pada efektivitas birokrasi pelaksananya. Kemungkinan untuk tidak efektif juga cukup besar, sehingga tidak mestabilkan bahkan semakin melemahkan nilai tukar mata uang dengan besarnya aliran modal keluar untuk menghindari pengendalian modal ini. Hal ini tentu berlawanan dengan upaya mengembangkan sumber pembiayaan perusahaan berupa ekuitas melalui pasar modal dan mengurangi ketergantungan utang.

Jelaslah bahwa tidak ada kebijakan yang efektif untuk menstabilkan nilai tukar mata uang. Setiap kebijakan mempunyai efek positif dan negatif terhadap stabilitas mata uang. Oleh karena itu, kebijakan yang dipilih sangat bergantung pada kredibilitas dan dinamika aliran modal.

Bagi Indonesia, saat pelemahan ekonomi terjadi, menaikkan suku bunga untuk menstabilkan nilai rupiah bukanlah pilihan. Bahkan desakan kuat dari berbagai pihak pada BI adalah untuk menurunkan suku bunga acuan BI. Akan tetapi, penurunan suku bunga akan semakin melemahkan nilai rupiah. Oleh karena itu, jika kredibilitas kebijakan fiskal dan moneter baik, maka penurunan suku bunga tidak akan memberi tambahan tekanan pada rupiah. Nilai rupiah sekarang ini adalah menyimpang dari fundamentalnya (undervalued), antara lain, penyebabnya terkait dengan kredibilitas kebijakan pemerintah.

Intervensi pasar

Kebijakan intervensi di pasar uang tetap menjadi pilihan yang tentunya disesuaikan dengan ketersediaan cadangan devisa. Hal ini telah dilakukan BI selama ini sekalipun skalanya terbatas dengan cadangan devisa yang hanya sekitar 105 miliar dollar AS.

Upaya meningkatkan pasokan dollar AS dengan mengharuskan eksportir memasukkan penerimaannya ke dalam negeri, tidak berpengaruh besar dalam meningkatkan pasokan dollar AS, karena eksportir memasukkan penerimaannya ke dalam negeri sesingkat-singkatnya.

Pengendalian modal ramai dibahas, namun belum sempat kebijakan diterapkan, modal cepat lari keluar jika mendengar rencana ini. Risiko instabilitas menjadi cukup tinggi. Maka, langkah yang harus dilakukan terutama dalam pasar keuangan yang demikian terbuka adalah menjaga keseimbangan terkait dengan aliran modal. Karena itu, utang luar negeri, terutama swasta, perlu mendapatkan perhatian khusus baik dari penentu kebijakan fiskal maupun moneter.

Peningkatan utang swasta luar negeri meningkatkan ketidakstabilan dalam mata uang. Apalagi jika terkait dengan kemungkinan naiknya penunggakan (default). Upaya pembatasan dan dorongan pada restrukturisasi utang swasta yang terlihat akan bermasalah harus dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar