Perang Pangan
Sofyan Sjaf ; Dosen
Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB; Sekretaris
PSP3 IPB
|
KOMPAS, 29 Januari
2016
Tahun ini, 10 negara
ASEAN dipastikan akan berkompetisi memenuhi kebutuhan pangan di negara
masing-masing ataupun di negara ASEAN lainnya. Negara yang tidak memiliki
kedaulatan pangan tampaknya akan tergilas oleh negara yang sudah berdaulat
pangannya.
Di ASEAN, kurang lebih
setengah miliar perut (tepatnya 570 juta jiwa) setiap harinya membutuhkan
pangan. Dari 10 negara ASEAN, Indonesia adalah negara dengan jumlah perut
terbanyak (42,43 persen dari total penduduk di ASEAN) untuk dipenuhi
kebutuhan pangannya. Disusul Filipina (15,41 persen), Vietnam (14,65 persen),
dan Thailand (11,48 persen).
Tentang hal ini,
Presiden Soekarno pernah berpesan, ”Persoalan
pangan adalah persoalan hidup-matinya suatu bangsa!” Lalu, apakah
pemerintah (Kementerian Pertanian) sudah melakukan persiapan? Dan, bagaimana
nasib Indonesia ketika perang pangan terjadi?
Gagal paham
Presiden Joko Widodo
selalu berpesan: Indonesia harus siap siaga menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA). Di hadapan ribuan kepala desa yang mengikuti Rakernas Asosiasi
Perangkat Desa Seluruh Indonesia di Boyolali, akhir 2015, Jokowi kembali
menegaskan bahwa menggali potensi sumber daya dan memperkuat kapasitas
masyarakat adalah kata kunci menghadapi MEA.
Tampaknya Jokowi paham
betul bahwa menekankan keunggulan potensi akan sia-sia apabila kapasitas
masyarakat sangat minim. Dalam konteks pertanian, relasi subyek
(petani)-obyek (komoditas) adalah kekuatan utama dalam penataan pertanian.
Pertanyaannya: apakah pesan Jokowi dipahami Menteri Pertanian selaku pengawal
kebijakan pertanian?
Menjawab pertanyaan di
atas, mari kita lacak modus operandi Mentan. Semenjak dilantik, modus
operandi kebijakan Mentan lebih berorientasi pencitraan obyek. Aksi
membagikan ratusan traktor, membuka sejuta hektar lahan sawah, klaim surplus
beras, dan jagung adalah sebagian bukti bahwa Mentan melupakan penguatan
petani. Padahal, dalam konteks MEA, membangun kesadaran dan penguatan petani
sebagai produsen sekaligus konsumen merupakan agenda penting dan mendesak.
Tampaknya, Mentan
gagal paham menakhodai Kementerian Pertanian dalam merespons MEA. Gagal paham
yang dimaksud, pertama melupakan struktur pelaku pertanian. Lebih dari 60
persen produsen pangan di negara ini adalah petani kecil yang memiliki luas
lahan di bawah 1 hektar. Minimnya upaya pengonsolidasian petani dalam
kebijakan Mentan menjadi senjata makan tuan. Program pupuk bersubsidi (Rp
30,063 triliun) akan berdampak besarnya peluang penyelewengan, pengadaan alat
dan mesin pertanian (Rp 360 miliar pra panen dan Rp 8,32 miliar pasca panen)
berpotensi salah sasaran dan target, serta pencetakan sawah (Rp 1,76 triliun)
menyebabkan kerusakan ekologis. Alhasil, Mentan kembali mengulangi kesalahan
kebijakan terdahulu yang selalu menihilkan peran petani untuk menggeser pola
produksi pertanian dari orientasi subsisten ke bisnis.
Kedua, melakukan
homogenisasi padi-jagung-kedelai (pajale). Kampanye Mentan di setiap
kunjungan kerjanya untuk memproduksi pajale merupakan kebijakan yang gagal
paham. Mentan Amran Sulaiman seolah menihilkan perbedaan ekologi Indonesia
yang selama ini memberikan keuntungan keanekaragaman sumber daya pangan. Obsesi
membuka rice estate di tanah Papua
adalah tindakan gagal paham tentang makna ekologis dan keterlibatan penduduk
lokal. Seyogianya Mentan belajar dari kegagalan pembukaan jutaan hektar lahan
sawah di Sumatera dan Kalimantan yang berekologi kebun (bukan sawah) ketika
masifnya program transmigran di rezim Orde Baru. Padahal, perbedaan ekologi
akan mendorong tampilnya spesifikasi potensi komoditas pertanian yang harus
dikonsolidasikan oleh setiap daerah.
Ketiga, melupakan
kebutuhan akses petani terhadap teknologi pertanian dan jejaring. Perlu
dicatat, sektor pertanian adalah sektor yang sangat berkontribusi terhadap
tenaga kerja padat karya di pedesaan. Realitas saat ini, minimnya pengetahuan
dan keterampilan petani harus dijawab dengan membuka akses teknologi tepat
guna yang inklusif dan bermanfaat bagi petani. Demikian juga halnya dengan
problem pembiayaan dan pemasaran, dapat dijawab dengan memfasilitasi
terbangunnya jejaring kerja sama antarpetani dengan berbagai pihak. Ketika
gagal paham ini dipelihara, pembangunan pertanian dipastikan tak mampu
mencegah terjadinya urbanisasi dan kemiskinan di pedesaan, apalagi memiliki
daya saing terhadap negara-negara ASEAN.
Menang atau kalah
Perang pangan adalah
aksi suatu negara atau aliansi negara yang berupaya mendominasi kebutuhan
pangan di suatu negara. Di sini ada negara yang mengatur dan ada negara yang
diatur kondisi dan situasi pangannya. Negara yang memiliki strategi kebijakan
pangan yang jitu dipastikan memenangi pertarungan dan memiliki pengaruh
terhadap negara-negara lainnya. Artinya, negara yang menguasai pangan akan
menguasai dunia!
Jika kebijakan Mentan
yang gagal paham di atas dipertahankan, dipastikan Indonesia akan kalah
perang pangan. Keberadaan Charoen Pokphand asal Thailand yang saat ini menguasai
lebih 50 persen pangan hewani (ayam) di Indonesia dan strategi lima negara
ASEAN, (Thailand, Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Laos), yang membangun
aliansi pengekspor beras adalah penetrasi penguasaan pangan di mana Indonesia
sebagai pasar potensial.Sebaliknya, belum satu pun inisiatif penetrasi yang
sistematis dilakukan Indonesia untuk negara-negara ASEAN.
Untuk itu, jika
pilihannya ingin memenangi perang pangan, diperlukan strategi andal agar tak
digilas oleh negara ASEAN lainnya. Ada tiga strategi yang harus dilakukan.
Pertama, mempersenjatai petani dengan pengetahuan dan teknologi. Sudah
saatnya petani kita yang mayoritas lulusan SD dibekali pengetahuan teknis dan
teknologi pertanian. Sebab, rendahnya produksi pangan berhubungan dengan
kondisi sumber daya manusia yang menggerakkan sektor pertanian.
Kedua, memperkuat
benteng komoditas sesuai konteks ekologi. Harus disadari bahwa homogenisasi
pajale berdampak negatif bagi masa depan pertanian Indonesia. Sebaliknya, pola
pikir Mentan harus berubah untuk mengembangkan komoditas pangan yang memiliki
nilai ekologis dan historis di setiap daerah.
Ketiga, menciptakan
sekutu kedaulatan pangan. Tampaknya Indonesia harus menciptakan sekutu untuk
mewujudkan kedaulatan pangan berlandaskan kesetaraan dan bermartabat.
Alhasil, MEA tidak dimaknai sebagai persaingan (kompetisi), tetapi arena
menciptakan jejaring poros kedaulatan pangan ASEAN. Apabila tiga strategi ini
dilakukan, tidak tertutup kemungkinan Indonesia bisa memimpin negara-negara
ASEAN dalam kedaulatan pangan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar