Ketika Toleransi Tak Lagi Cukup
Al Makin ;
Dosen
filsafat pada Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta; Sedang
menyelesaikan buku Challenging Islamic Orthodoxy, Lia Eden’s Prophetic
Movement and Public Responses (Forthcoming Springer 2016)
|
JAWA POS, 28 Januari
2016
GAFATAR merupakan gerakan yang berlatar
belakang ”keagamaan”. Menyebut ”keagamaan” dengan tanda kutip di sini
menegaskan makna luas yang terkandung dalam kata tersebut bahwa ’’keagamaan’’
bukan milik tradisi, kaum, aliran, atau kelompok tertentu.
”Keagamaan’’ merujuk pada seluruh tradisi yang
mengandung sifat-sifat agama. Baik itu agama universal yang dipeluk oleh umat
manusia di berbagai negara maupun agama lokal yang hanya dipeluk oleh
sekelompok masyarakat yang terbatas di suatu daerah. Gafatar merupakan
gerakan keagamaan baru. Atau dalam istilah sosiologi, antropologi, atau ilmu
sosial dan humaniora disebut NRM ( new religious movement/gerakan keagamaan
baru).
NRM merupakan gerakan berlandasan semangat
keagamaan, namun tidak pada agama resmi yang diakui oleh negara. Disebut baru
atau new karena NRM menawarkan ide alternatif, tidak sama dengan agama resmi.
Kenyataannya, di Indonesia yang sampai kini
mengakui enam agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu),
NRM belum mendapat tempat. Karena mayoritas penduduk Indonesia memeluk Islam,
sering kali faktor keagamaan ini dipahami semata tradisi Islam.
Atau paling tidak tradisi Semitik (Yahudi,
Kristiani, dan Islam). Di sisi lain, NRM berusaha menawarkan ajaran, aturan,
atau ide baru yang memberikan solusi bagi manusia saat ini yang tidak
ditemukan dalam agama resmi.
Indonesia sebagai negara yang kaya dengan
tradisi keagamaan dan subur dengan gerakan spiritualitas merupakan tanah yang
cocok dengan tumbuhnya NRM. Sejak era kolonial Belanda, pemerintah Soekarno,
Orde Baru Soeharto, sampai reformasi, Indonesia tidak pernah sepi dengan
gerakan keagamaan.
Bahkan, hampir setiap gerakan dalam sejarah
Nusantara selalu dikaitkan dengan faktor agama. Partai politik yang muncul
setelah kemerdekaan sampai reformasi juga masih saja mengaitkan diri dengan
emosi keagamaan untuk menarik massa.
Kemunculan Gafatar tentu bukanlah barang baru.
Gafatar adalah NRM yang muncul pada era reformasi dengan berbagai perubahan
dan evolusi yang terjadi pada kelompok ini. Dari gerakan kenabian Qiyadah
Islamiyah, Millah Abraham, sampai Gafatar.
Pun di era reformasi, Gafatar tidak sendirian.
Banyak NRM yang muncul di berbagai daerah menyusul masa pancaroba iklim
politik. Turunnya Soeharto dan munculnya gelombang demokratisasi yang diikuti
dengan krisis sosial, ekonomi, dan politik menjadi faktor-faktor yang
melahirkan NRM.
Di Jakarta saja ada banyak: Bijak Bestari, Lia
Eden, Agus Imam So- lihin, dan lain-lain. Di Cirebon ada Imam Tantowi. Di
Jawa Timur muncul Gus A’an (Naf’an). Di Jawa Tengah ada Sumito. Di Nusa
Tenggara muncul Amaq Bakri. Dan masih banyak lagi.
Intinya, Indonesia tidak pernah berhenti
memproduksi para pendiri NRM yang rata-rata mengaku menerima wahyu dari Tuhan
lewat berbagai cara (pertapaan, lelaku, atau semedi). Indonesia sangat subur
akan tumbuhnya para nabi ini dan NRM.
Pemerintah, terutama era Orde Baru, memberi
label NRM era itu dengan sebutan ”aliran kepercayaan” atau ”aliran
kebatinan’’. Sangat beruntung pada era itu, kelompok ini masih hidup walaupun
dengan ketakutan dan keterpinggiran. Sebab, ada represi dari pemerintah atau
prejudice masyarakat.
Sedangkan pada era reformasi, kelompok NRM
(ironisnya saat angin kebebasan dan demokratisasi berembus) justru tidak bisa
hidup. Para pemimpinnya rata-rata dijerat Undang-Undang Penistaan Agama 1965.
Juga, dipenjara seperti kasus Lia Eden yang berpusat di Senen, Jakarta.
Sebagai bangsa yang religius (agamais),
Indonesia selalu memunculkan kelompok keagamaan yang beragam. Sebab, budaya
dan tradisi di negeri kepulauan ini sangat kompleks, plural, dan dinamis.
Inilah yang harus disadari oleh pemerintah maupun masyarakat kita.
Kelahiran dan pertumbuhan kelompok-kelompok
NRM tidak bisa dihentikan dengan cara represi dan marginalisasi (penyudutan,
pengadilan, pemenjaraan, pencemoohan, atau penghakiman). Ibaratnya, tersudut
satu, tumbuh seribu.
Selama bangsa ini religius, khusyuk, dan
berorientasi pada agama, kelompok baru keagamaan yang berbeda dengan
mainstream akan terus muncul. Itu sudah merupakan konsekuensi sosial dari
masyarakat yang majemuk imannya. Tentu caranya tidak menghentikan (apalagi
dengan paksa dan kekerasan), tetapi hanya dengan memahami, me- manage, dan
menyelaraskan dengan bangunan kebangsaan.
Negara yang plural dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika (berbeda-beda, tetapi tetap satu jua) ini sudah saatnya memaknai
kembali makna berbeda-beda (pluralitas). Pada era Orde Baru, bhinneka di
maknai dengan toleransi (memberi ruang pada perbedaan keyakinan).
Ini sudah tidak cukup lagi. Definisi bhinneka
versi Orde Baru sudah tidak relevan. Ternyata, dari berbagai penelitian,
perbedaan dan kemajemukan keyakinan dan tradisi keagamaan Indonesia tak
terbayangkan sebelumnya atau tak disadari.
Yang disebut tradisi agama di bumi pertiwi ini
600-an lebih, tidak hanya enam. Itu yang membuat toleransi saja tidak cukup.
Menjadi tugas generasi kita, memahami dan berkomitmen memproteksi keragaman.
Termasuk semua jenis NRM.
Sekali lagi, memahami Gafatar tidaklah bijak
dengan menyudutkan, memberi label sesat, atau menghukum karena keimanan yang
berbeda. Tetapi, kita harus menghormati kemanusiaan dan memproteksi keyakinan
mereka.
Pemahaman kita hendaknya berdasar penelitian,
bukan syak wasangka semata. Gafatar dan para anggotanya harus dimanusiakan,
sebagaimana kita juga menuntut hal yang sama. Semua sama di mata hukum: NRM
atau agama resmi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar