Sabtu, 30 Januari 2016

Ketika Toleransi Tak Lagi Cukup

Ketika Toleransi Tak Lagi Cukup

Al Makin  ;  Dosen filsafat pada Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta; Sedang menyelesaikan buku Challenging Islamic Orthodoxy, Lia Eden’s Prophetic Movement and Public Responses (Forthcoming Springer 2016)
                                                    JAWA POS, 28 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

GAFATAR merupakan gerakan yang berlatar belakang ”keagamaan”. Menyebut ”keagamaan” dengan tanda kutip di sini menegaskan makna luas yang terkandung dalam kata tersebut bahwa ’’keagamaan’’ bukan milik tradisi, kaum, aliran, atau kelompok tertentu.

”Keagamaan’’ merujuk pada seluruh tradisi yang mengandung sifat-sifat agama. Baik itu agama universal yang dipeluk oleh umat manusia di berbagai negara maupun agama lokal yang hanya dipeluk oleh sekelompok masyarakat yang terbatas di suatu daerah. Gafatar merupakan gerakan keagamaan baru. Atau dalam istilah sosiologi, antropologi, atau ilmu sosial dan humaniora disebut NRM ( new religious movement/gerakan keagamaan baru).

NRM merupakan gerakan berlandasan semangat keagamaan, namun tidak pada agama resmi yang diakui oleh negara. Disebut baru atau new karena NRM menawarkan ide alternatif, tidak sama dengan agama resmi.
Kenyataannya, di Indonesia yang sampai kini mengakui enam agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu), NRM belum mendapat tempat. Karena mayoritas penduduk Indonesia memeluk Islam, sering kali faktor keagamaan ini dipahami semata tradisi Islam.

Atau paling tidak tradisi Semitik (Yahudi, Kristiani, dan Islam). Di sisi lain, NRM berusaha menawarkan ajaran, aturan, atau ide baru yang memberikan solusi bagi manusia saat ini yang tidak ditemukan dalam agama resmi.

Indonesia sebagai negara yang kaya dengan tradisi keagamaan dan subur dengan gerakan spiritualitas merupakan tanah yang cocok dengan tumbuhnya NRM. Sejak era kolonial Belanda, pemerintah Soekarno, Orde Baru Soeharto, sampai reformasi, Indonesia tidak pernah sepi dengan gerakan keagamaan.

Bahkan, hampir setiap gerakan dalam sejarah Nusantara selalu dikaitkan dengan faktor agama. Partai politik yang muncul setelah kemerdekaan sampai reformasi juga masih saja mengaitkan diri dengan emosi keagamaan untuk menarik massa.

Kemunculan Gafatar tentu bukanlah barang baru. Gafatar adalah NRM yang muncul pada era reformasi dengan berbagai perubahan dan evolusi yang terjadi pada kelompok ini. Dari gerakan kenabian Qiyadah Islamiyah, Millah Abraham, sampai Gafatar.

Pun di era reformasi, Gafatar tidak sendirian. Banyak NRM yang muncul di berbagai daerah menyusul masa pancaroba iklim politik. Turunnya Soeharto dan munculnya gelombang demokratisasi yang diikuti dengan krisis sosial, ekonomi, dan politik menjadi faktor-faktor yang melahirkan NRM.

Di Jakarta saja ada banyak: Bijak Bestari, Lia Eden, Agus Imam So- lihin, dan lain-lain. Di Cirebon ada Imam Tantowi. Di Jawa Timur muncul Gus A’an (Naf’an). Di Jawa Tengah ada Sumito. Di Nusa Tenggara muncul Amaq Bakri. Dan masih banyak lagi.

Intinya, Indonesia tidak pernah berhenti memproduksi para pendiri NRM yang rata-rata mengaku menerima wahyu dari Tuhan lewat berbagai cara (pertapaan, lelaku, atau semedi). Indonesia sangat subur akan tumbuhnya para nabi ini dan NRM.

Pemerintah, terutama era Orde Baru, memberi label NRM era itu dengan sebutan ”aliran kepercayaan” atau ”aliran kebatinan’’. Sangat beruntung pada era itu, kelompok ini masih hidup walaupun dengan ketakutan dan keterpinggiran. Sebab, ada represi dari pemerintah atau prejudice masyarakat.

Sedangkan pada era reformasi, kelompok NRM (ironisnya saat angin kebebasan dan demokratisasi berembus) justru tidak bisa hidup. Para pemimpinnya rata-rata dijerat Undang-Undang Penistaan Agama 1965. Juga, dipenjara seperti kasus Lia Eden yang berpusat di Senen, Jakarta.

Sebagai bangsa yang religius (agamais), Indonesia selalu memunculkan kelompok keagamaan yang beragam. Sebab, budaya dan tradisi di negeri kepulauan ini sangat kompleks, plural, dan dinamis. Inilah yang harus disadari oleh pemerintah maupun masyarakat kita.

Kelahiran dan pertumbuhan kelompok-kelompok NRM tidak bisa dihentikan dengan cara represi dan marginalisasi (penyudutan, pengadilan, pemenjaraan, pencemoohan, atau penghakiman). Ibaratnya, tersudut satu, tumbuh seribu.

Selama bangsa ini religius, khusyuk, dan berorientasi pada agama, kelompok baru keagamaan yang berbeda dengan mainstream akan terus muncul. Itu sudah merupakan konsekuensi sosial dari masyarakat yang majemuk imannya. Tentu caranya tidak menghentikan (apalagi dengan paksa dan kekerasan), tetapi hanya dengan memahami, me- manage, dan menyelaraskan dengan bangunan kebangsaan.

Negara yang plural dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda, tetapi tetap satu jua) ini sudah saatnya memaknai kembali makna berbeda-beda (pluralitas). Pada era Orde Baru, bhinneka di maknai dengan toleransi (memberi ruang pada perbedaan keyakinan).

Ini sudah tidak cukup lagi. Definisi bhinneka versi Orde Baru sudah tidak relevan. Ternyata, dari berbagai penelitian, perbedaan dan kemajemukan keyakinan dan tradisi keagamaan Indonesia tak terbayangkan sebelumnya atau tak disadari.

Yang disebut tradisi agama di bumi pertiwi ini 600-an lebih, tidak hanya enam. Itu yang membuat toleransi saja tidak cukup. Menjadi tugas generasi kita, memahami dan berkomitmen memproteksi keragaman. Termasuk semua jenis NRM.

Sekali lagi, memahami Gafatar tidaklah bijak dengan menyudutkan, memberi label sesat, atau menghukum karena keimanan yang berbeda. Tetapi, kita harus menghormati kemanusiaan dan memproteksi keyakinan mereka.

Pemahaman kita hendaknya berdasar penelitian, bukan syak wasangka semata. Gafatar dan para anggotanya harus dimanusiakan, sebagaimana kita juga menuntut hal yang sama. Semua sama di mata hukum: NRM atau agama resmi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar