Negeri Paling Islami
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru
Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 24 Januari
2016
Seperti apakah negeri
yang islami itu? Awalnya saya membayangkan negeri yang islami adalah negeri
yang tidak jauh-jauh cirinya dari negeri yang surgawi, yaitu yang tanahnya
subur, di tengahnya terhampar sungai-sungai yang dialiri susu kental manis
(SKM), dan bidadari-bidadari cantik siap menanti para suami yang pulang
kerja, sambil mengasuh putra-putri yang lucu-lucu. Damai, sejahtera, adil,
tidak ada kezaliman, dan tidak ada kemaksiatan.
Tetapi, adakah negeri
seperti itu di bumi Allah ini? Selama saya berkarier puluhan tahun sebagai
psikolog internasional, saya sudah mengunjungi hampir seluruh dunia, dari
Selandia Baru sampai Alaska, dari Amerika sampai Afrika, tetapi tidak satu
pun tempat yang saya jumpai, yang matching
dengan bayangan saya tentang negeri islami tersebut di atas.
Tetapi, dua peneliti
dari George Washington, yaitu Prof Dr Scheherazade S Rehman dan Prof Dr
Hossein Askari (dari namanya ketahuan bahwa mereka muslim), telah melakukan
penelitian terhadap negara-negara (yang riil ada di dunia) yang paling
islami. Mereka memublikasikan hasil penelitiannya dalam laporan bertajuk ”An Economic Islamicity Index (EI2)”
yang dimuat dalam Global Economy
Journal Volume 10, Issue 3, 2010, Article 1.
Buat dua profesor yang
pintar-pintar itu, ternyata tidak sulit untuk merumuskan negara yang islami.
Caranya adalah mengumpulkan ayat dan hadis yang mendeskripsikan bagaimana
hendaknya suatu negara itu sehingga bisa disebut islami. Maka itu, Prof
Rehman dan Prof Askari menemukan lima ajaran dasar Islam yang dijadikannya
sebagai indikator keislaman sebuah negara, yaitu
(1) Ajaran Islam mengenai hubungan seseorang
dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia,
(2) Sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam
politik dan pemerintahan,
(3) Hak asasi manusia dan hak politik,
(4) Ajaran Islam berkaitan dengan hubungan
internasional dan masyarakat kehidupan sosial,
(5) Sistem perundang-undangan untuk nonmuslim.
Tentu dalam
penelitiannya dua profesor itu menceritakan bagaimana lima ajaran dasar itu
dipecah menjadi variable-variabel konkret yang terukur, yang membuat
penelitian mereka sahih.
Tetapi, yang
mencengangkan setelah penelitian itu dinyatakan sahih adalah hasilnya yang di
luar dugaan kebanyakan orang (apalagi di Indonesia). Orang Indonesia
rata-rata mengharapkan bahwa negara yang paling islami adalah negara-negara
Islam seperti Arab Saudi, atau bahkan sekarang ada yang memuja Irak dan
Suriah (ISIS). Tetapi, nyatanya tidak seperti itu.
Negara paling islami dalam penelitian itu (keadaan 2010)
adalah Selandia Baru, diikuti oleh juara dua Luxemburg (negara tetangganya
Belanda). Dua-duanya negara non-Islam. Amerika yang sering dianggap biangnya
budaya Barat ada di posisi ke-15 bersama Belanda, dan Israel musuh bebuyutan
banyak muslim Indonesia berada di urutan ke-17. Arab Saudi nomor ke-91 dan
Indonesia sendiri di urutan ke-104, Mesir tambah hancur lagi yaitu di nomor
ke-128, Irak dan Suriah (ISIS) masing-masing di urutan ke-148 dan 168.
Sedangkan 56 negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) berada pada
urutan rata-rata ke-139 dari 208 negara yang disurvei.
Tetapi, ada satu yang
menarik, Malaysia. Negara tetangga kita ini duduk dalam urutan ke-33, yang
tertinggi di antara negara-negara muslim. Karena itu, kita juga tidak pernah
mendengar ada bom-boman di Malaysia.
Beberapa tahun lalu
saya pernah menjadi dosen tamu (pensyarah pelawat) di Universitas Malaya,
Kuala Lumpur, Malaysia. Saya bekerja full
time selama satu semester di universitas yang konon adalah UI-nya
Malaysia. Jadi, saya lumayan tahu betul gaya hidup masyarakat di sana.
Dalam urusan beragama,
Malaysia sangat disiplin mengatur umatnya.
Yang pertama, mereka
mengaku sebagai negara Islam, tetapi bukan sembarang Islam, melainkan Islam
Sunni dari mazhab Syafii. Saya pernah mengunjungi Universitas Agama Islam
Antar Bangsa di Kuala Lumpur, dan di sana secara eksplisit dinyatakan bahwa
universitas itu tidak menerima mahasiswa dari sekte Islam yang lain, kecuali
Islam Sunni mazhab Syafii.
Anda mau salat Jumat?
Anda harus ke masjid kampus, atau masjid-masjid di tempat lain yang sudah
diakui resmi oleh pemerintah. Hanya orang-orang dengan kualifikasi tertentu
boleh menjadi khatib, dan mereka diberi license
resmi oleh pemerintah. Mau bikin acara keagamaan apa pun (Islam) harus
dipimpin ulama yang besertifikat. Jadi, samalah kira-kira dengan agama
Kristen atau Katolik yang ulamanya harus sekolah teologi atau seminari dulu.
Dengan demikian, tidak
ada ustaz-ustaz gadungan, atau ustaz-ustaz dadakan yang tiba-tiba naik mimbar
Jumat dan pada akhir khotbahnya mengajak umat untuk mendoakan para mujahidin
ISIS di Irak, Suriah, dan Poso (ini pernah terjadi betulan di Jakarta). Tidak
ada lagi majelis-majelis taklim yang banyak mengajari ibu-ibu dengan
kebencian-kebencian pada agama lain atau sekte lain.
Karena itulah, Islam
Indonesia makin jauh dari ideal menurut ukuran Prof Rehman dan Prof Askari.
Tidak aneh kalau tiba-tiba seorang dokter wanita secantik dokter Rica
tiba-tiba membelot menjadi pengikut kelompok radikal dan berani meninggalkan
suaminya begitu saja dengan membawa anak balitanya.
Rasanya di zaman
Jamaah Islamiah tidak ada tuh, rekrutmen untuk keluarga dan wanita. Di zaman
NII orang yang terhipnosis, paling banyak terkuras koceknya, tetapi tidak
sampai harus hijrah ke Irak dan Suriah.
Tetapi, di zaman ISIS
semuanya lengkap. Bukan hanya laki-laki, tetapi juga wanita dan keluarga, dan
para ahli diangkut ke Irak dan Suriah. Last
but not least, mereka yang balik dari Irak dan Suriah, seperti sudah
diduga, menjadikan Indonesia (baca: Jakarta) sebagai ajang jihadnya.
Jadi, Indonesia yang
ingin jadi negara paling islami justru menjadi sarang teroris karena islami
tidak sama dengan membiarkan semua sekte berkembang biak dan beranak-pinak
dengan bebas, sebebas-bebasnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar