Sang Militan
Goenawan Mohamad ;
Esais;
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 25 Januari
2016
"Kemanusiaanku kukorbankan."
—Saaman, dalam Keluarga Gerilya Pramoedya Ananta Toer
Seorang militan adalah
orang yang melenyapkan dirinya sendiri untuk jadi sesuatu yang efektif,
menggetarkan, mengalahkan. Saaman, tokoh dalam novel Keluarga Gerilya
Pramoedya Ananta Toer, pada umur 23 tahun sudah memimpin gerilya kota, ketika
Jakarta diduduki pasukan Belanda, dan melancarkan serangkaian
pembunuhan—termasuk membunuh ayah tirinya sendiri karena bapak itu berada di
pihak musuh. Ia tertangkap. Tapi ia tahu ia harus mati, sebagaimana ia harus
mematikan. Ia seorang militan.
Ada yang mengatakan
istilah "militan" berakar pada kata-kata Latin lama, yang akhirnya
kurang-lebih berarti "orang-yang-menempuh-jarak-bermil-mil".
Mungkin itu menunjukkan sifat teguh, juga dalam menanggung sakit dan penat,
dengan sukarela, menuju sesuatu yang maknanya melebihi dirinya sendiri.
Saaman menanggungkan
dosa, atau perasaan bersalah, seraya menunggu regu tembak mencabut nyawanya.
Tapi ia tak merasa sia-sia: "Kupaksa diriku menjalani kekejaman dan
pembunuhan," katanya, "agar orang yang ada di bumi yang kuinjak ini
tak perlu lagi berbuat seperti itu."
Ada sesuatu yang
paradoksal di sini. Sang militan telah meniadakan diri, "Kemanusiaanku
kukorbankan." Tapi pada saat itulah Saaman, juga di penjara itu, jadi
subyek, bukan cuma pelengkap penyerta, bukan hanya pelengkap penderita. Ia,
sebagai subyek, menghendaki, meniatkan, melakukan. Ketika jadi subyek juga
berarti seakan-akan jadi sebuah nol—"nol" karena ia tak bisa
tertangkap dalam kategori apa pun—ia pada saat itu jadi sesuatu yang berarti—"a Nothingness counted as
Something", untuk memakai kata-kata Žižek dalam The Ticklish Subject.
Sang subyek, sang
militan, juga jadi "Sesuatu" yang universal. Ia menanggalkan apa
yang partikular dari dirinya—pertalian keluarganya, agamanya, bahkan
statusnya sebagai seorang anggota bangsa tertentu. Ia berbuat seraya
menjangkau siapa saja, di mana saja; seperti dikatakannya, "agar orang
yang ada di bumi yang kuinjak ini tak perlu lagi berbuat seperti itu."
Ia memberontak kepada
suatu keadaan yang menindasnya, tapi dengan itu ia tak hanya membebaskan
dirinya.
Sebab hubungan antara
majikan-dan-pelayan pada dasarnya tak hanya mengikat sang pelayan. Jika sang
hamba bebas, sang tuan juga terbebas. Masyarakat "komunis" yang
dicita-citakan Marx bukanlah ditandai kemenangan sepihak, kaum proletariat,
melainkan hilangnya perbedaan kelas. Kata-kata Albert Camus terkenal dalam
L'homme révolté menggemakan thema itu: "Aku berontak, maka kita
ada."
Di sini menarik
membandingkan seorang militan seperti Saaman dan seorang tentara IS yang
menjadikan dirinya bom.
Pengebom-bunuh-diri,
seperti sang patriot, juga berkorban untuk sesuatu yang lebih besar ketimbang
dirinya. Ia juga bisa jadi contoh heroisme.
Itu sebabnya IS bisa
mempesona generasi yang, terutama di Eropa, hidup dalam ennui: di sangkar
besi modernitas yang serba teratur dan mapan. Generasi ini berada dalam
suasana "akhir sejarah". Di mana-mana yang mereka temui adalah apa
yang diejek Nietzsche sebagai "manusia penghabisan": orang-orang
yang tak lagi punya dorongan jiwa untuk mencapai yang luhur dan agung. Tak
ada laku yang heroik. Tak ada yang seru. Membosankan....
Tak ayal, generasi
yang bosan ini pun dengan mudah terpikat: IS mempresentasikan dunia seperti Star Wars di muka bumi. Kebosanan yang
ekstrem dihabisi dengan aksi yang ekstrem merangsang sensasi—termasuk
kebuasan.
Dengan kostum yang
gagah dan seram, dengan doktrin yang dramatis dan dahsyat, IS berhasil
mengerahkan anak-anak muda itu agar bersiap untuk mengorbankan diri.
Tapi berbeda dari
seorang Saaman. Seorang Saaman, atau seorang teroris pejuang revolusioner
seperti Kalyayev dalam sejarah Rusia, tak mengharapkan surga; mereka tak
percaya ada kehidupan sesudah mati. Mereka hanya percaya hidup di dunia yang
lebih baik bagi banyak orang.
Sebaliknya seorang
"pengantin" dalam terorisme IS: ia yakin ia akan mendapatkan surga
yang lengkap, justru karena yang hendak dicapainya bukan kebaikan yang
universal, bukan untuk seluruh umat manusia, melainkan hanya untuk kemenangan
umat Islam—bahkan hanya umat yang menganut doktrinnya. Bagi IS, kita tak akan
ada. Yang ada hanya "aku", kaumku. Tafkir, mengkafirkan mereka yang
"bukan-kami", adalah sebuah narsisisme.
Narsisisme itu pada
akhirnya semacam benteng, dengan tembok yang juga cermin, tempat para narsis
berlindung seraya mengagumi pose mereka sendiri dan menunggu pahala surga
yang akan mereka nikmati sendiri—seraya menampik orang lain.
Betapa beda. Saya
ingat ketika Saaman menggambarkan sikap seorang patriot. "Orang yang berjuang, Dik Imah, adalah menyediakan surga untuk
berpuluh juta manusia bangsanya"—bukan memperoleh surga untuk diri
sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar