Teror Bom dan Etika Sosial
Nanang Martono ; Dosen
Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
|
KORAN SINDO, 26 Januari
2016
Bom meledak lagi di
Jakarta. Ada banyak pihak yang menghubungkan tragedi ini dengan isu-isu
strategis lainnya. Ada isu radikalisasi agama sampai pada dugaan pengalihan
isu politik. Apa pun alasannya, semua bentuk terror memang tidak dibenarkan,
apalagi bila teror tersebut sampai memakan korban jiwa.
Ada yang ”menarik”
dalam peristiwa teror bom di Jakarta kemarin. Perbedaan ini ada dalam cara
masyarakat menyebarkan informasi melalui media sosial yang mudah diakses.
Fotofoto korban dan kondisi terakhir di tempat kejadian perkara (TKP) bisa tersebar
ke seluruh Indonesia dalam hitungan detik melalui ponsel pintar. Beberapa jam
setelah kejadian juga beredar ”informasi ringan” seputar tragedi bom.
Sebagian menyebar
”keanehan” perilaku warga yang sibuk ”menonton” dan berkumpul di lokasi
kejadian untuk menyaksikan kondisi TKP secara langsung. Bukannya takut dengan
kemungkinan bom susulan, masyarakat justru berusaha mendekati lokasi kejadian
dan berusaha mendapatkan foto terbaiknya untuk disebarkan melalui ponsel
masing-masing.
Berada di lokasi
kejadian seolah menjadi sebuah kebanggaan tersendiri, laksana seorang
wartawan yang berusaha menyajikan gambar-gambar ekstrie dari jarak sedekat
mungkin dari TKP. Foto dan video yang tersebar melalui ponsel juga tidak
diketahui ”siapa pemilik hak ciptanya”.
Bila pemotret pertama
mengajukan hak cipta, mungkin ia bisa mendapatkan banyak royalti atas fotonya
tersebut. Tapi yang jelas, foto dan video itu dengan mudah tersebar dan
tersimpan di setiap ponsel. Lalu muncul tag ”kami tidak takut”. Kalimat itu
pun langsung tersebar secara viral melalui media sosial. Ini seolah menjadi
sebuah pernyataan sikap bahwa masyarakat Indonesia tidak takut dengan aksi
terorisme meski dalam kenyataannya mereka tentu merasa takut bila terjadi bom
susulan.
Ada pula orang yang
memotret kisah para pedagang yang ”memilih sibuk” dengan pekerjaannya
daripada memikirkan teror bom. Foto-foto pedagang yang tetap berjualan di
sekitar TKP pun ikut tersebar dengan cepat. Bahkan ada foto seorang pedagang
yang menawarkan dagangannya pada tentara yang sedang berjaga.
Kita tidak tahu apakah
foto itu benar diambil di lokasi kejadian atau diambil di tempat lain lalu
dihubungkan dengan tragedi 14 Januari kemarin. Atau, benarkah mereka memang
asli pedagang, bukan orang yang sedang menyamar sebagai pedagang. Faktanya,
banyak orang yang ”secara sukarela” ikut menyebarkan foto dan video tersebut
atau sekadar ikut memberikan ”jempol”.
Inilah ”keunikan” yang
terjadi pascateror bom kemarin yang tidak dijumpai pada aksi-aksi teroris
sebelumnya. Namun, di balik keunikan tersebut, ada pula perilaku tidak pantas
yang dilakukan beberapa orang.
Tidak sedikit warga
yang melakukan aksi selfie atau memfoto diri sendiri dengan latar belakang
TKP. Kita tidak tahu apa maksud mereka melakukan selfie di TKP. Namun, yang
jelas, perilaku mereka telah memanfaatkan momen yang menyedihkan untuk
mencapai ”kesenangan” pribadi. Setelah ber-selfie ria, sebagian besar dari
mereka akan menyebarkan foto selfie-nya ke kerabat atau teman-temannya
melalui media sosial untuk sekadar ”meminta tanda jempol” atau mengharapkan
sebuah komentar.
Selain selfie, ada
pula tindakan yang semestinya tidak dilakukan masyarakat, yaitu memotret dan
merekam gambar korban lalu menyebarkannya melalui media sosial. Foto dan
video tersebut menyebar secara viral dan dapat ditonton jutaan pasang mata
secara gratis. Kepedihan dan kesakitan korban serta kesedihan yang dirasakan
sanak keluarganya seolah menjadi objek tontonan. Bahkan ada foto aparat
kepolisian yang menjadi korban yang menahan rasa sakit bersimbah darah akibat
terkena bom.
Parahnya, sang polisi
yang terfoto itu pun hanya mengenakan (maaf) celana dalam karena baju dan
celananya sobek. Bila tidak dihapus oleh pemilik akun, foto dan video
tersebut akan dapat diakses sampai puluhan bahkan ratusan tahun ke depan.
Belajar dari tragedi
14 Januari kemarin, menunjukkan bahwa kita harus memberikan pelajaran
mengenai ”etika fotografi” serta etika menggunakan media sosial. Aksi selfie
di TKP, tindakan memotret, dan menyebarkan foto korban secara bebas dan
vulgar tanpa sensor adalah wujud masyarakat tidak memahami etika ”bagaimana
cara menghormati dan memperlakukan korban” di media publik.
Mereka tidak memahami
bagaimana perasaan sanak saudara yang ditinggalkan korban ketika mereka
melihat foto anggota keluarga mereka tersebar di ruang publik. Memang, ini
bukan aib, tapi setidaknya perasaan dan kondisi psikologis korban dan
keluarganya harus tetap dihormati.
Dulu etika ini hanya
dikenal dalam dunia jurnalistik karena mereka adalah pihak yang ”memiliki
hak” untuk melaporkan dan menyebarkan informasi. Namun, sekarang, pada era
teknologi dan informasi yang semakin bebas, etika ini harus dipahami setiap
orang. Saat ini semua orang adalah sumber informasi, semua orang bisa menjadi
seorang ”jurnalis independen” tanpa dibayar.
Mereka seolah ingin
menjadi yang pertama dalam memberitakan sebuah peristiwa penting. Tak heran,
mereka pun berlomba menangkap dan menyebarkan informasi dan gambar secepat
mungkin agar hasil karya mereka menjadi ”trending
topic” di media sosial. Mereka pun berlomba menjadi komentator pribadi
melalui media sosial. Komentar yang baik pun akan dibagikan ke banyak akun
media sosial.
Dan, sang komentator
pun menjadi ”artis dadakan” hanya karena ikut memberikan analisis singkat di
media sosial. Singkatnya, pembelajaran mengenai etika bukan semata etika
pergaulan langsung dalam dunia nyata, namun juga etika ”interaksi dalam dunia
maya”. Pemahaman etika juga meliputi bagaimana memilih konten yang pantas
untuk disebarluaskan kepada khalayak umum. Ada baiknya pembelajaran mengenai
etika ini dimasukkan dalam kurikulum tersembunyi di sekolah melalui mata
pelajaran terkait. Yang terpenting, masyarakat harus memahami etika sosial
ini sejak dini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar