Mengajak Kembali Pengikut Aliran Sesat
Biyanto ; Dosen
UIN Sunan Ampel Surabaya;
Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Jawa Timur
|
KORAN SINDO, 29 Januari
2016
Majelis Ulama
Indonesia (MUI) telah menetapkan 10 kriteria untuk menilai kesesatan suatu
aliran keagamaan. Ke-10 kriteria itu meliputi (1) mengingkari salah satu
rukun iman atau rukun Islam, (2) mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan
dalil syarsyari, (3) meyakini turunnya wahyu setelah Alquran, (4) mengingkari
otentisitas dan kebenaran Alquran, (5) menafsirkan Alquran dengan tidak
berdasarkan kaidah-kaidah tafsir, (6) mengingkari kedudukan hadis sebagai
sumber ajaran Islam, (7) menghina nabi dan rasul, (8) mengingkari Muhammad
SAW sebagai nabi dan rasul terakhir, (9) mengubah ajaran pokok ibadah, dan
(10) mengafirkan sesama muslim tanpa dalil syarsyari.
Berdasar kriteria yang
terbuka untuk diperdebatkan itu, sejak 1980-an MUI telah memvonis sesat
sejumlah aliran. Kini MUI sedang
mengkaji ideologi keagamaan eks anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).
Langkah MUI menetapkan kriteria sesat tidaknya suatu aliran menunjukkan
adanya keinginan untuk menjadi pengadil (hakim) dari perdebatan mengenai
berbagai aliran keagamaan.
Sebagai organisasi
tempat berhimpunnya para alim ulama, MUI memang berotoritas untuk memberikan
fatwa keagamaan. Tapi penting dipesankan kepada MUI agar dalam setiap fatwa
yang dikeluarkan, apalagi berkaitan dengan kesesatan suatu aliran, selalu
disertai larangan bagi masyarakat untuk main hakim sendiri.
Seruan MUI penting
agar suasana kehidupan bermasyarakat tetap kondusif. Sebab apa pun alasannya
masyarakat tidak boleh bertindak anarkistis terhadap pengikut aliran yang
diduga sesat. Peringatan ini penting karena tindakan anarkistis masih sering
terjadi dalam banyak insiden intoleransi di daerah. Apalagi dalam insiden
intoleransi itu negara sering tidak hadir.
Kasus pembakaran
perkampungan eks anggota Gafatar di Mempawah, Kalbar, menunjukkan kegagalan
negara dalam mengelola keragaman. Berbagai kelompok ternyata juga belum siap
hidup dalam suasana perbedaan.
Apa pun alasannya,
insiden pengusiran, pembakaran rumah, perusakan tempat ibadah, dan pengejaran
terhadap berbagai pengikut aliran yang diduga sesat seharusnya tidak boleh
terjadi. Berbagai insiden intoleransi pasti akan mereduksi citra negeri
tercinta sebagai bangsa yang toleran terhadap perbedaan agama dan paham
keagamaan. Pada konteks inilah MUI dan organisasi kemasyarakatan (ormas)
harus berperan untuk menenteramkan masyarakat. Di samping itu, ajakan kembali
ke jalan yang benar kepada pengikut aliran yang diduga sesat juga harus
disampaikan secara manusiawi.
Jika diamati, aliran
sesat selalu muncul di tengah dominasi budaya keberagamaan kelompok
mayoritas. Dalam budaya keberagamaan kelompok mayoritas ini pengikut aliran
sesat akan dipinggirkan. Dalam relasi dominasi budaya kelompok mayoritas
terhadap kelompok minoritas itulah dibutuhkan kesadaran betapa nilai-nilai
kemanusiaan harus dijunjung tinggi. Berarti tidak boleh ada kekerasan atas
nama apa pun.
Agama memang
mengajarkan prinsip amar makruf nahi
munkar. Tapi harus diingat, agama juga mengajarkan nilai-nilai kasih
sayang dan saling menghormati.
Pemerintah melalui
kejaksaan dan kepolisian memang bisa mengambil tindakan terhadap aliran
sesat. Aparat pemerintah memiliki dasar hukum berupa Peraturan Pemerintah
Nomor 1 tahun 1965 tentang proses melarang ajaran agama (tata cara larangan
kepercayaan). Melalui peraturan ini pemerintah bisa menetapkan aliran tertentu
sesat dengan alasan melakukan penistaan agama. Tapi konstitusi memerintahkan
negara untuk memberikan jaminan kebebasan memeluk agama dan kepercayaan
sesuai keyakinan masing-masing. Berkaca pada amanah konstitusi ini berarti
aparat pemerintah harus menjaga hak-hak kemanusiaan pengikut aliran sesat.
Kemunculan aliran
sesat sesungguhnya bisa menjadi pelajaran bagi ormas keagamaan seperti
Muhammadiyah dan NU. Fenomena aliran sesat menunjukkan dakwah keagamaan belum
menyentuh semua lapisan masyarakat. Hal itu dapat diamati dari latar belakang
sosial pemimpin dan pengikut aliran sesat. Bahkan di antara mereka berlatar
belakang sosial, ekonomi, dan pendidikan yang mapan. Mereka umumnya baru
belajar agama. Dalam situasi ini bisa dibayangkan jika ada kelompok orang
yang menawarkan paham baru. Apalagi jika paham baru itu dikemas dengan
argumentasi yang logis.
Kemunculan aliran
sesat juga menunjukkan bahwa pengalaman keberagamaan merupakan sebuah
pergumulan yang panjang. Bahkan dalam pergumulan menjadi muslim sejati itu
seseorang terkadang harus membandingkan satu aliran dengan aliran lain. Dalam
dialektika pemikiran itulah seseorang sering kali tergoda dengan aliran baru
yang dipandang lebih religius, rasional, praktis, dan pragmatis. Setiap orang
harus menyadari bahwa dirinya sejatinya sedang berproses menjadi pribadi-pribadi
yang lebih baik.
Karena perilaku
keberagamaan itu berproses (becoming),
maka yang penting dilakukan adalah pembinaan secara terus-menerus sesuai dengan
kebutuhan sasaran dakwah. Pembinaan harus diprioritaskan pada pemimpin dan
ideolog aliran yang telah divonis atau diduga sesat. Pada konteks inilah eks
pemimpin dan pengikut Gafatar juga harus dibina. Mereka harus diajak untuk
berdiskusi (sharing) mengenai
berbagai pengalaman keagamaan. Yang juga sangat penting dilakukan adalah
menghormati hak-hak kemanusiaan mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar