Selebrasi Brutalisme Massal
Asmadji As Muchtar ; Wakil Rektor III Universitas Sains Al-Quran,
Wonosobo, Jawa Tengah
|
KORAN SINDO, 27
Januari 2016
Menjelang siang pada
14 Januari lalu, seperti menonton adegan film atau simulasi penanganan aksi
terorisme, masyarakat luas menyaksikan detik-detik aksi teror bom bunuh diri
dan tembak menembak antara kelompok teroris dan aparat keamanan di Jakarta,
langsung di lokasi maupun melalui layar televisi.
Pada hari-hari
berikutnya, media masih juga melansir gambar maupun video rekamannya. Segenap
masyarakat termasuk anak-anak bisa menyaksikan adegan kekerasan di pusat kota
yang lazimnya sangat ramai tersebut. Dalam hal ini, negara dan bangsa kita
terkesan sama-sama sedang merayakan selebrasi kekerasan.
Padahal, adegan
kekerasan tentu saja terpatri dalam ingatan masing-masing anggota masyarakat
yang menyaksikannya. Lantas apa efek (terutama psikososial) di kemudian hari?
Inilah persoalan krusial yang harus diperhatikan. Untungnya, Presiden Jokowi
dan banyak anggota masyarakat telah menyadari efek psikososial aksi kekerasan
tersebut, dengan mengajak masyarakat untuk kembali hidup normal.
Namun, ternyata tidak
sedikit yang kemudian menggelar selebrasi mengejek kekerasan dengan mengusung
slogan ”Kami tidak takut!” yang sempat menjadi trending topic di sosial media. Selain itu, tidak sedikit yang
menggeber gambar-gambar jenazah korban aksi teror tersebut di media yang bisa
menimbulkan kengerian massa seperti yang dikehendaki kaum teroris.
Harus disadari, aksi
teror di Jakarta yang berlangsung di tengah keramaian menjelang siang itu
pasti menimbulkan efek psikososial yang kompleks bagi masyarakat luas,
khususnya bagi anak-anak. Lebih jauh lagi, tidak tertutup kemungkinan telah
mencederai perikemanusiaan dalam arti luas. Selebrasi mengejek kekerasan
dengan mengusung slogan ”Kami tidak takut” di satu sisi memang positif bagi
upaya mengatasi kengerian dalam kehidupan bermasyarakat kita dalam
bayang-bayang ancaman terorisme.
Tapi, di sisi lain
bisa menimbulkan efek negatif bagi penegakan hukum. Misalnya, karena tidak
takut, masyarakat akan main hakim sendiri begitu melihat pelaku aksi teror.
Dengan kata lain, jika masyarakat sudah tidak takut lagi terhadap terorisme,
begitu melihat teroris, segera menghakimi secara massal sebagaimana. Lazimnya
ketika ada pencuri atau copet tertangkap massa langsung dipukuli hingga
tewas, bahkan dibakar hidup-hidup.
Dalam rumus hukum dan
keadilan, di satu sisi main hakim sendiri tak bisa dibenarkan, termasuk
terhadap pelaku terorisme, apalagi negara kita adalah negara hukum. Di sisi
lain, main hakim sendiri bisa memopulerkan kebiadaban massal yang mudah
menular karena sikap latah mudah berkembang dalam situasi emosional (benci
dan dendam terhadap penjahat).
Sedangkan di sisi lain
lagi, terutama bagi kaum teroris, jika masyarakat tidak takut dan berani main
hakim sendiri terhadap mereka, mereka akan berpikir berulangkali sebelum
melakukan aksi terornya, terutama di tengah keramaian. Dalam hal ini, banyak
pihak mungkin menyukainya jika tidak peduli efek negatif psikososialnya yang
sangat kompleks.
Misalnya, jika
masyarakat tidak takut atau berani menghakimi pelaku teror seperti pencuri dan
pencopet yang tertangkap, jaringan terorisme sulit dilibas habis karena
setiap pelaku teror memiliki banyak informasi terkait jaringannya. Hal ini
sangat merugikan semua pihak. Jangan lupa, jika pelaku teror terancam
dihakimi massa, massa bisa saja menjadi target serangan teror berikutnya.
Brutalisme Massal
Dengan demikian,
jajaran pemimpin bersama pendidik dan pemuka agama layak segera duduk bersama
memberikan pencerahan kepada masyarakat yang sedang merayakan selebrasi ”Kami
tidak takut!” terhadap terorisme agar tidak menumbuhkan embrio brutalisme
massal yang mencederai kemanusiaan dalam arti luas.
Harus disadari,
selebrasi ”Kami tidak takut!” jangan sampai merusak prinsipprinsip negara
hukum yang menjunjung spirit perikemanusiaan yang adil dan beradab. Sangat
mengerikan jika embrio brutalisme massal dibiarkan tumbuh dan berkembang di
negara berdasarkan Pancasila. Bangsa kita memang harus tidak takut kepada
penjahat termasuk teroris, tapi jangan sampai bertindak brutal dan semakin
suka merayakan selebrasi brutalisme massal.
Di sinilah peran
jajaran pemimpin termasuk pemuka agama dan guru-guru di sekolah untuk
mendidik dan mengajar anak bangsa serta masyarakat luas untuk tetap
menjunjung prinsip perikemanusiaan yang adil dan beradab terhadap semua pihak.
Munculnya brutalisme
massal, seperti pembakaran terhadap kampung Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar)
di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, hanya beberapa hari setelah aksi
teror di Sarinah, layak menjadi catatan penting bagi semua pihak bahwa selebrasi
mengejek kekerasan sangat mungkin mempercepat bangsa ini semakin tidak takut
kehilangan perilaku manusiawi atau perikemanusiaan.
Kita harus mencegah
perikemanusiaan jangan sampai hilang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika perikemanusiaan telah hilang, brutalisme bisa jadi yang berkuasa. Bila
brutalisme yang berkuasa, bangsa dan negara sama dengan berada dalam pusaran
spiral kekerasan yang mengerikan. Maka itu, jangan sampai bangsa dan negara
kita dikuasai oleh brutalisme.
Caranya, tentu saja
sel-sel terorisme dan kejahatan lain harus dimusnahkan dengan adil dan
didukung tindakan persuasif (deradikalisme lintas sektoral) sesuai hukum dan
keadilan yang berlaku, tanpa melibatkan dan memaksa masyarakat untuk menjadi
penonton.
Jika memang operasi
militer dianggap sangat perlu atau suatu keharusan untuk memusnahkan sel-sel
jaringan terorisme, selayaknya bersifat silent , bukan seperti show yang
terkesan pamer kekerasan yang dapat mencederai prinsip perikemanusiaan yang
adil dan beradab. Intinya, jangan sampai teroris mati, tapi dianggap berhasil
membuat semua pihak sama-sama suka bertindak brutal.
Selebihnya, setelah
muncul selebrasi ”Kami tidak takut!” terhadap terorisme, masyarakat kita
sepatutnya selalu berupaya mempererat ikatan kehidupan bersosial dengan
saling mengenal lingkungan di sekitarnya. Jika ada tanda-tanda ancaman bahaya
terorisme, segera melaporkannya kepada aparat agar aparat cepat bertindak
mencegahnya.
Harus diakui bahwa
setiap kali aksi teror bom terjadi, itulah bukti keterlambatan masyarakat
dalam mengenal lingkungan sekitarnya dan keterlambatan aparat dalam bertindak
mencegahnya. Memang sangat diperlukan kerja sama antara masyarakat dan aparat
dalam mencegah aksiaksi terorisme.
Kalau memang dianggap
perlu, revisi UU Antiterorisme harus mempertegas negara dalam mencegah aksi
teror tanpa memicu tren baru yang sangat buruk seperti brutalisme aparat
maupun brutalisme masyarakat.
Dengan kata lain, UU
Antiterorisme yang kita butuhkan intinya adalah payung hukum untuk melindungi
bangsa dan negara dari semua bentuk brutalisme yang mencederai
perikemanusiaan dalam arti seluas-luasnya. Bukan sebaliknya, malah merangsang
aparat dan masyarakat merayakan brutalisme massal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar