Peta Pertanian Masyarakat Ekonomi ASEAN
Khudori ; Pegiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang)
|
MEDIA INDONESIA,
22 Januari 2016
TANPA pengumuman, per 1 Januari 2016, kita
semua mema suki era baru, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kini 10 negara
anggota ASEAN terhubung jadi satu kesatuan, yakni kesatuan kawasan, wilayah
produksi, dan konsumsi. Barang, jasa, modal, dan tenaga kerja bisa bergerak
bebas dalam kawasan. Berbeda dengan era sebelumnya, kini semua anggota ASEAN
harus meliberalisasi perdagangan, terutama barang. Daya saing barang, jasa,
modal, dan tenaga kerja amat menentukan pergerakan keempatnya.
Di luar Singapura dan Brunei Darusalam,
negara-negara anggota ASEAN diikat ciri yang hampir sama, yaitu bercorak
pertanian. Di sejumlah negara, sektor pertanian masih jadi gantungan hidup
penting warga. Bahkan, pertanian menjadi penopang utama ekonomi dan
penyumbang penting devisa buat negara, seperti di Indonesia, Thailand,
Vietnam, Filipina, Myanmar, dan Malaysia. Pertanyaannya bagaimana peta sektor
pertanian negara-negara anggota ASEAN? Secara khusus, bagaimana posisi
Indonesia?
Secara umum, daya saing komoditas pertanian
tiap-tiap negara ASEAN amat beragam.Dalam komoditas beras, ham pir semua
negara anggota ASEAN berbasis pertanian beras. Budi daya padi
merepresentasikan hampir 60% area pertanian di Indonesia, Myanmar, Thailand,
dan Vietnam, serta mencapai 90% di Kamboja dan Laos. Dari sisi produktivitas,
padi Indonesia hanya kalah dari Vietnam.Masalah ada ketika padi atau gabah
berubah menjadi beras. Apabila harga dijadikan indikator, beras Indonesia
tidak memiliki daya saing, kalah jauh dari Thailand dan Vietnam, dua
eksportir utama beras dunia. Rata-rata harga beras di Indonesia lebih tinggi
60%-65% daripada beras di Thailand dan Vietnam. Di ASEAN, Indonesia dan
Filipina merupakan importir beras terbesar.
Itu terjadi karena selama berpuluh-puluh tahun
pemerintah lebih fokus pada swasembada gabah, tapi melupakan beras. Berbagai
kebijakan di on farm (subsidi
pupuk, benih, bantuan traktor, irigasi, dan yang lain) dibuat untuk mengejar
swasembada gabah, termasuk surplus 10 juta ton beras pada 2017 Kabinet Kerja.
Industri padi/gabah dan industri beras saling terkait dan saling memperkuat.Jika
salah satu di antaranya melemah, kurang atau tidak diurus, keduanya akan
melemah atau tidak terurus. Sialnya pada proses pengeringan gabah dan
penggilingan padi di industri beras, kita amat lemah.
Masih rendah
Gula Indonesia juga berdaya saing rendah. Di
ASEAN ada dua produsen utama gula, Indonesia dan Thailand. Dari sisi
produktivitas tebu, Indonesia dan Thailand hampir serupa, 75 ton per hektare
(ha). Namun, Indonesia kalah dalam produktivitas hablur lantaran rendemen
tebu yang lebih rendah daripada Thailand. Selama bertahun-tahun rendemen tak
bergerak jauh dari 7-8. Rendahnya daya saing gula Indonesia juga tecermin
dari biaya produksi yang mencapai US$750/ton, jauh lebih tinggi daripada
Thailand (US$442/ton).
Daging ayam idem ditto. Indonesia sebenarnya masuk 10 besar produsen broiler
dunia. Namun, Indonesia bukan eksportir broiler. Di ASEAN, justru Thailand
dan Malaysia yang menjadi eksportir broiler. Thailand mengekspor 35% produk
broilernya ke berbagai negara dunia dengan pelbagai merek. Malaysia
mengekspor broiler ke Singapura. Padahal, tidak seperti di Indonesia yang ada
komponen lokal, Malaysia mengimpor semua pakan unggas. Dengan sistem
terintegrasi, pada 2014 biaya produksi ayam broiler hidup di Malaysia
US$0,63/ kg, Thailand US$0,50/kg, dan Filipina US$ 0,62/kg, lebih rendah
daripada Indonesia US$0,80/kg.
Dalam produk hortikultura, seperti
buah-buahan, Thailand merupakan saingan terberat Indonesia. Selama ini aneka
buah-buahan Thailand menyerbu pasar Indonesia.Di ASEAN, Indonesia unggul
dalam sejumlah komoditas perkebunan, seperti sawit, kopi, kakao, dan teh.
Indonesia produsen sawit terbesar di dunia, disusul Malaysia di posisi kedua.
Kita produsen kopi robusta kedua dunia setelah Vietnam, produsen kakao ketiga
di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, dan produsen teh kedua dunia.
Sayangnya keunggulan komoditas itu masih berupa produk primer dengan nilai
tambah rendah. Hanya sebagian kecil ekspor komoditas perkebunan dalam bentuk
produk olahan, baik barang jadi maupun setengah jadi.Akibatnya negara lain
yang memetik keuntungan.
Jauh-jauh hari negara-negara anggota ASEAN
menata diri menghadapi MEA. Thailand sejak lama berbenah dan menyiapkan
segala hal menyongsong MEA. Dari sisi kesiapan, Thailand meninggalkan negara
lain anggota ASEAN. Salah satu persiapan serius Thailand ialah membuka
saluran khusus di televisi untuk diseminasi informasi MEA. Pelbagai lembaga
negara, seperti Badan Investasi dan Departemen Pengembangan Masyarakat,
membuat aneka program persiapan. Persiapan Vietnam juga amat impresif,
terutama terkait peningkatan daya saing produksi, pengolahan, dan pemasaran
pertanian.
Sementara itu, Laos dan Kamboja tertatih-tatih
mengejar di belakang. Dua negara itu terus menata diri untuk memperbaiki
kinerja usaha pertanian dan produk unggulan mereka. Myanmar yang baru membuka
diri dalam perdagangan regional dan global masih dihadapkan pada persoalan
infrastruktur dan kelembagaan. Filipina tidak jauh berbeda, kebingungan
menetapkan cara yang baik dalam berproduksi, pengolahan, dan pemasaran
pertanian. Indonesia juga sama. Hingga MEA di depan mata, diakui Kepala Badan
Litbang Kementerian Pertanian Haryono terobosan besar persiapan komprehensif
peningkatan daya saing produk pertanian dalam menghadapi MEA belum disusun.
Perlu fokus
MEA telah dimulai, tapi secara teknis masih banyak
hambatan nontarif, seperti harmonisasi standar, keamanan pangan, registrasi,
label, dan jaminan halal. Juga kesiapan pengawasan, seperti laboratorium uji
dan lembaga sertifikasi. Indonesia belum memiliki ASEAN Food Reference Laboratories (AFRLs) sebagai acuan jika
terjadi perselisihan perdagangan. Sebaliknya, negara lain sudah ditunjuk
sebagai AFRLs, seperti Vietnam (mikrobiologi), Singapura (residu pestisida
dan myco-toxin), Thailand (logam
berat dan residu veterinary), dan
Malaysia (produk GMO). Tidak ada kata mundur. Sebagai pasar terbesar,
Indonesia perlu fokus pada komoditas berdaya saing tinggi seraya melindungi
komoditas berdaya saing menengah-rendah. Pada semua kementerian perlu
dibentuk `gugus tugas permanen MEA' yang mengawal implementasi dan
mengantisipasi dampaknya. Semoga Indonesia bisa meraih untung, bukan buntung
dan hanya menonton. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar