Direktorat Jenderal dan Aktivisme Kebudayaan
Iwan Meulia Pirous ; Peneliti Pusat Kajian Antropologi
Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
23 Januari 2016
Direktur Jenderal
Kebudayaan Hilmar Farid akan segera mengadakan dialog dengan aparat kepolisian
(Kompas, 2/1). Untuk mereka yang terbiasa dengan kebudayaan sebagai sistem
gagasan dan lapisan ide-ide luhur, hal ini aneh. Mengapa pejabat kebudayaan
justru melakukan hal-hal yang seakan jauh dari urusan kebudayaan?
Ketika negara mengurus
kebudayaan, pusat perhatian terletak pada kekuasaan. Kebudayaan dianggap lekat pada keindahan
dan kesempurnaan prestasi pikiran manusia yang dapat memperkuat kepentingan
kekuasaan. Oleh karena itu, kebudayaan jadi produk normatif mengatur
kehidupan ideal warga negara skala nasional. Esensinya mewarnai gambaran
romantis tentang nasionalisme. Maka, wujudnya cantik, puitis, dan indah
sesuai fungsi memupuk citra. Dalam hal ini kebudayaan dibayangkan sebagai
kumpulan kebaikan yang dipadatkan untuk menjadi produk kebijakan yang
mengatur warga agar berbuat baik, estetik, luhur, dan pada saat yang sama
terlalu steril dari perdebatan.
Sementara kacamata
akademisi memusatkan pada problem perdebatan dan argumen. Untuk memahami
bagaimana kebudayaan bekerja, aspek romantis, eksotis, dan normatifnya justru
kurang penting. Mereka melakukan analisis untuk memahami kebudayaan
sebagai strategi-strategi aktif untuk
bertahan hidup melalui pengalaman dan sejarah kolektif kelompok-kelompok
masyarakat. Setelah kerudung eksotisnya dibuka, kebudayaan akan terlihat
"berantakan" sekaligus "terorganisasi rapi".
Dalam kenyataan,
kebudayaan hadir sebagai fragmen-fragmen gagasan milik berbagai kolektif yang
saling bercampur, bersaing, dan berebut ruang. Wujudnya sesuai apa yang
tersedia di sekitar. Sebagai pengetahuan bersifat cerdas dinamis, sebagai
perkakas sangat adaptif, sebagai tindakan kolektif juga fungsional dan
demokratis. Bahkan dalam kondisi paling anarkis, yaitu ketika mereka mengatur
diri sendiri tanpa terlibat dalam hierarki negara, harmonisasi sosial
terjaga.
Analisis kebudayaan
tidak terlepas dari kehadiran negara. Hadir sebagai pengikat politik lewat
sejarah sosial, arah ideologi, pengaruh pasar, dan ragam pengetahuan suci
keagamaan. Namun, dalam praktiknya negara tak punya cukup alasan untuk
mengendalikan kebudayaan. Sebab, pada tingkat lokal di sudut terpencil yang
tak tersentuh aparat, warga sudah pandai berbudaya. Warga mengatur diri, mengembangkan organisasi,
dan hidup rukun alami. Justru
kehadiran negara yang terlalu dominan rawan menimbulkan konflik dan
menghapuskan kemampuan kultural untuk rekonsiliasi.
Berita buruk
Berbagai kasus konflik
pasca reformasi justru memperlihatkan aparat keamanan adalah berita buruk.
Negara punya hasrat untuk mensterilkan ruang perdebatan akar rumput dan
menggiring pada kepatuhan seakan- akan warga adalah tamu dalam rumah milik
negara. Sebagai contoh, dalam kasus yang berhubungan dengan pengelolaan
sumber daya alam dan tanah, aparat negara sering jadi bagian dari problem dan
bukan solusi.
Kapitalisme pun jadi
konteks penting dalam analisis kebudayaan. Kapitalisme memberi pukulan ketika
skema-skema kultural yang sudah adaptif dipaksa mengikuti logika-logika
seragam yang mengancam kebertahanan orang banyak dan menyisakan sedikit yang
mampu bertahan. Maka, pertarungan makin berat, friksi-friksi akan semakin
banyak, jurang sosial kian dalam.
Studi-studi
antropologis 10 tahun belakangan mengenai Indonesia (dan negara berkembang
lain) tak lagi bicara soal kearifan lokal dan keunggulan kebudayaan
tersembunyi, tetapi lebih pada kaleidoskop persoalan yang saling beririsan
antara negara dan pasar yang berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia,
hak-hak sosial politik, dan menurunnya kualitas lingkungan dan kemanusiaan.
Di sisi lain, negara senang
mempromosikan kebudayaan secara optimistis dengan istilah mengkilap, seperti
"soft-power" dan "creative economy". Namun, kita mengharapkan negara tidak lupa
bahwa kebudayaan adalah hajat hidup orang banyak. Secara statistik warga
negara kita mayoritas miskin dan belum terangkat oleh citra-citra itu.
Dirjen Kebudayaan kali
ini adalah intelektual dan aktivis. Dia bukan birokrat. Maka, ia dapat
membuka jalan bagi aktivisme kebudayaan. Dalam ranah ini, kebudayaan bukanlah
sekadar obyek kajian ataupun obyek kekuasaan. Kebudayaan bagai bahan bakar
yang digunakan sehari-hari dengan kesadaran penuh memperjuangkan hak dan
melawan kekuasaan yang menindas. Diharapkan negara lebih terbuka terhadap
kebudayaan wong cilik daripada elite. Sebagai aktivisme, kebudayaan dan
gerakan sosial kolektif dianggap sebangun untuk mencapai tujuan- tujuan
memperjuangkan nasib bersama wong cilik, dan alangkah baiknya bila negara
mempermudah gerakan-gerakan rakyat.
Keberhasilan
perjuangan kebudayaan akan sangat ditentukan dari bagaimana warga negara
menerjemahkan problem kebudayaan dan mengolahnya jadi strategi kolektif. Apa
yang dimaksud problem kebudayaan adalah segala kemunduran yang diakibatkan
tingkah polah kelompok elite politisi, aparat keamanan, dan pebisnis yang
merasa paling berhak dan paham mengatur kebudayaan dan melahirkan ide-ide
besar.
Padahal, ide-ide besar
hanya mungkin hadir sesuai realitas konkret yang mendukungnya. Maka, jika
kenyataan masih bersifat menindas, seperti pemiskinan, penggusuran,
pelarangan beribadah, penyerbuan, pelarangan bicara, dan pelarangan terhadap
penegakan HAM, selama itu pula ide-ide besar tak punya ruang untuk
membahagiakan rakyat banyak. Kita semua berharap Bung Dirjen Kebudayaan
melindungi hak-hak berbudaya dan berpihak adil pada rakyat banyak. Di tangannya Indonesia bukan negara polisi
atau tentara, tetapi sebagai fasilitator ramah yang membuka katup dan
sekat-sekat yang menindas perkembangan sehat kebudayaan Indonesia untuk
semua. Selamat bekerja! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar