Jihad Melawan Terorisme
Biyanto ; Dosen UIN Sunan Ampel; Wakil Sekretaris PW
Muhammadiyah Jatim
|
KORAN
SINDO, 18 Januari 2016
Terorisme telah
menjadi fenomena sosial keagamaan yang populer sejak 2000-an. Hal itu seiring
dengan kasus terorisme di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Di antara kasus
terorisme yang menyita perhatian dunia adalah hancurnya Gedung World Trade Center (WTC) pada 11
September 2001. Teror yang mengerikan itu mengandung pesan bahwa kaum teroris
bisa menghancurkan apa pun fasilitas dan kepentingan Amerika Serikat,
termasuk Gedung WTC yang menjadi simbol kedigdayaan Negeri Paman Sam.
Berbagai kasus
terorisme juga terus melanda negeri tercinta. Di antaranya bom Bali 1 (12
Oktober 2002), bom mobil yang menghancurkan Hotel J W Marriot (5 Agustus
2003), bom di Kantor Kedutaan Besar Australia (9 September 2004), dan bom
Bali 2 (1 Oktober 2005). Yang mutakhir adalah bom di kawasan pusat
pembelanjaan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta (14 Januari 2016). Rangkaian
kasus terorisme telah menimbulkan ratusan korban jiwa, cacat permanen,
kerusakan sejumlah aset, dan perasaan traumatik warga.
Harus dipahami, terorisme
merupakan bahaya laten yang bisa terjadi kapan pun. Karena itu, kewaspadaan
terhadap terorisme harus ditingkatkan meski sebagian tokohnya telah
dilumpuhkan, bahkan ditembak mati. Peringatan ini penting karena terorisme
telah bermetamorfosis menjadi sebuah ideologi. Ideologi inilah yang menjadi
dasar menentukan nilai, doktrin, dan keyakinan sesuai dengan tujuan
terorisme.
Semua gerakan sosial
keagamaan pasti memiliki ideologi yang diperjuangkan. Sebagai ideologi,
terorisme telah mendarah daging dalam hati sanubari pengikutnya. Kelompok
teroris juga telah merekrut banyak kader dari kalangan muda (pelajar dan
mahasiswa). Itu berarti yang perlu dilakukan terhadap gerakan terorisme
adalah memerangi ideologinya.
Untuk memerangi
ideologi gerakan pasti membutuhkan waktu yang lama. Seperti dikatakan Blumer,
ideologi berkaitan dengan banyak aspek. Di dalam ideologi terdapat
seperangkat kritik terhadap tatanan kehidupan yang ada yang ingin diubahnya.
Ideologi juga berkaitan dengan doktrin untuk membenarkan tujuan yang ingin
dicapai dan keyakinan yang teguh terhadap program yang akan dijalankan.
Dengan kata lain,
ideologi dapat melahirkan nilai, keyakinan, kritik, alasan, dan pembelaan.
Dalam gerakan praksis sosial-keagamaan, ideologi dapat dijadikan arahan,
justifikasi, senjata untuk melawan, serta mempertahankan inspirasi dan
harapan. Karena terorisme telah menjadi ideologi, diperlukan usaha yang
strategis dan sistematis untuk memeranginya.
Usaha memerangi
ideologi terorisme dapat dimulai dengan memahami faktor-faktor yang
menyebabkan terorisme itu tumbuh dan berkembang serta karakter gerakannya.
Memahami faktor-faktor yang menyebabkan terjadi terorisme jelas bukan
pekerjaan mudah. Itu karena terorisme telah menjadi fenomena sosial-keagamaan
yang tidak hanya dialami oleh umat Islam.
Dalam keyakinan dan
agama non-Islam pun berpotensi muncul gerakan-gerakan radikalisme sepanjang
ada peluang yang dapat memicunya. Karena itu, diperlukan usaha yang
sungguh-sungguh untuk mengurai benang kusut terorisme sehingga pada saatnya
negeri ini terbebas dari ketakutan yang disebarkan penganut ideologi
terorisme.
Suasana ketakutan
itulah yang dicitacitakan oleh kelompok teroris. Dalam sudut pandang Alquran,
usaha yang sungguh-sungguh untuk melakukan segala sesuatu itu disebut dengan
jihad. Kata jihad sesungguhnya memiliki akar kata yang sama dengan ijtihad,
yakni jahd. Hanya, istilah ijtihad berasal dari Hadits, sedangkan jihad dari
Alquran.
Substansi kata ijtihad
dan jihad adalah bersungguh-sungguh (total endeavor), yakni mengerahkan
seluruh tenaga, daya, dana, dan pikiran sehingga terwujud nilai-nilai yang
diridai Allah SWT. Karena itu, tidak mengherankan jika kata ijtihad dan jihad
seringkali digunakan secara silih berganti dalam berbagai kesempatan. Kata
jihad secara khusus digunakan oleh penganut terorisme sebagai doktrin
perjuangan fisik mengangkat senjata dengan mempertaruhkan nyawa.
Dalam banyak referensi
dapat ditemukan bahwa kata jihad tidak harus dimaknai dengan perjuangan
fisik. Sebagai contoh dapat dikemukakan pendapat Buya A R Sutan Mansur
(1895-1985), ulama Sumatera Barat yang juga pernah menjadi ketua Pimpinan
Pusat Muhammadiyah periode 1952-1957.
Dia memaknai jihad
dengan arti ”bekerja sepenuh hati.” Pemahaman Buya Sutan Mansur menarik
karena tidak menggunakan kata berjuang atau berperang, melainkan bekerja.
Pandangan ini sekaligus bisa digunakan alasan untuk mematahkan penafsiran
bahwa jihad selalu berkaitan dengan perjuangan fisik (perang).
Kata jihad disebut
dalam Alquran sebanyak 41 kali. Kata jihad menunjuk pada pengertian cara
untuk mencapai tujuan dan merupakan puncak segala aktivitas yang diridai
Allah. Jihad juga harus dilakukan dengan tidak boleh mengenal putus asa,
tanpa pamrih, dan hanya ditujukan karena Allah. Dengan pengertian tersebut,
berjihad melawan terorisme harus dilakukan sepenuh hati.
Yang harus disadari,
jihad melawan terorisme merupakan jalan yang berliku sehingga membutuhkan
waktu. Tetapi, ini harus dilakukan demi masa depan Islam yang moderat dan
ramah dengan berbagai perbedaan. Harapannya, pada saatnya nanti kita akan
menyaksikan ajaran Islam yang kompatibel dengan segala waktu dan tempat
(shalihun likulli zaman wa makan).
Teror bom yang terjadi
di beberapa daerah membuktikan kebenaran tesis yang menyatakan bahwa sebagai
ideologi, terorisme sangat sulit dilumpuhkan. Terorisme juga tidak dapat
dikaitkan dengan satu agama tertentu (misalnya Islam). Pemeluk agama
non-Islam juga berpotensi menjadi pribadi atau kelompok yang radikal dan
reaksioner.
Beberapa sekte agama
Kristen juga telah bermunculan kelompok berhaluan radikal. Dalam konteks
itulah seluruh komponen bangsa harus bersepakat menjadikan terorisme sebagai
musuh bersama. Berkaitan dengan usaha untuk berjihad melawan terorisme, yang
perlu dilakukan adalah jangan sampai kita memberikan kesempatan (window of
opportunity) terhadap munculnya tindakan radikal dan anarkistis.
Keinginan ini akan
tercapai jika kita mampu meminimalkan faktor-faktor yang menjadi pemicunya.
Termasuk dalam kategori faktor pemicu adalah ketidakadilan sosial, ekonomi,
hukum, dan politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar