Politik Pemberantasan Korupsi
Margarito Kamis ; Doktor Tata Negara;
Dosen Fakultas Hukum Universitas
Khairun Ternate
|
KORAN
SINDO, 19 Januari 2016
Komisioner Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang baru telah bekerja. Tidak
seperti biasanya, mereka, entah apa pertimbangannya, memulainya dengan
bertukar pikiran antarsesama organ yang memiliki kewenangan memberantas
korupsi.
Bahkan, entah apa
pertimbangannya pula, mereka juga bertukar pikiran dengan Mahkamah Konstitusi
(MK). Apakah semua itu merupakan refleksi arah, gairah, dan suasana baru dari
komisioner baru di medan pemberantasan korupsi? Hanya merekalah yang tahu.
Apakah kenyataan itu juga merupakan refleksi kesadaran betapa korupsi tidak
dapat dihadapi oleh KPK semata? Mungkin hanya mereka pulalah yang tahu. Satu
hal, sejarah korupsi adalah sejarah tentang relasi kekuasaan politik dan
ekonomi yang diselewengkan.
Determinasi Politik
Gagalnya pembahasan
rancangan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi pada masa
pemerintahan Burhanuddin Harahap karena berbagai sebab politik, berantakannya
penyidikan beberapa dugaan tindak pidana korupsi pada masa Pak Suprapto
sebagai jaksa agung, lumpuhnya implementasi gagasan pembenahan birokrasi pada
masa pemerintahan Bung Karno, serta rapuhnya pemberantasan korupsi pada
pemerintahan Pak Harto; semua itu jelas.
Semuanya memastikan
satu hal: hasrat dan lingkungan politik menjadi faktor determinan gagalnya
usaha pemberantasan korupsi. Nalarnya, kesungguhan politik pemberantasan
korupsi harus dikristalkan menjadi hasrat bangsa. Hasrat ini tampaknya
mengkristal di tengah gelombang reformasi, dan hebatnya membuahkan terbentuknya
KPK. Karena berinduk pada hasrat itu, KPK dibuat istimewa dalam lalu lintas
kewenangan dan hubungan antarorgan pemberantasan korupsi.
Heboh, heboh, dan
heboh menjadi, kalau bukan ciri, kondisi sine
quo non setiap kali satu kasus korupsi diungkap KPK. Gegap gempita, untuk
tak mengatakan gaduh, selalu begitu, mengiringi setiap satu atau beberapa
kasus korupsi diungkap KPK. Gegap gempita itu sedemikian hebatnya,
mengerdilkan sistem hukum yang mengakui hak setiap orang mendudukan hukum
atas kasus yang menimpa dirinya.
Gegap gempita itu
menghasilkan stereotipe sosiologis yang mengerikan. Orang yang diduga sebagai
pelaku, betapapun belum jelas hukumnya, serta-merta distereotipekan sebagai
koruptor. Yang ada di seberang penilaian itu, segera terstereotipe sebagai
koruptor menyerang balik, dan lainnya, yang sama mengerikannya dengan fitnah.
Cara itu mungkin dianggap ampuh.
Kenyataannya, dari
waktu ke waktu laporan kepada KPK tentang dugaan terjadinya tindak pidana
korupsi, tak menemukan titik turun. Fakta menunjukkan sebaliknya. Korupsi
terus meningkat dan menggila. Menariknya, fakta itu ternalar sedemikian rupa
sehingga menghasilkan spektrum, KPK muncul sebagai satu-satunya organ andal,
tanpa kekurangan, dan terus bergerak maju, tampak melampaui hasrat awalnya.
Sayangnya, perlahan
tapi pasti, sebagian orang tersangka, mulai mengenali kelemahan kerja
penyidikan KPK. Ketidakcukupan hukum, karena tak cukup bukti awal, dan keliru
dalam prosedur penyidikan menjadi rangsangan koreksi atas penyidikan beberapa
kasus di KPK. Sebagian berhasil, dan sebagian gagal. Tapi poinnya, menarik.
Gegap gempita itu akhirnya terlabeli, yang cukup beralasan, beraroma
propaganda.
Arahnya
Propaganda tak mungkin
tak mengecoh, memiliki batas memukau, berhasil pada suatu waktu, tetapi akan
gagal pada waktu yang lain. Semakin sering digunakan, semakin sering pula
memperlihatkan kelemahannya. Kala kelemahannya semakin sering dikenali,
keandalan propaganda akan merosot.
Propaganda, betapapun
dapat dijadikan amunisi utama dalam politik pemberantasan korupsi dan tentu
dibutuhkan, jelas tak cukup. Birokrasi, suka atau tidak, karena eksistensinya
berada di jantung urusan kehidupan nasional, terutama politik, hukum dan
ekonomi, harus dibenahi. Intensitas usaha meningkatkan derajat akuntabilitas
setiap aspek teknis di dalamnya, pantas digelorakan.
Evaluasi performa
birokrasi, tak mungkin dikualifikasi sebagai kerja mengada-ada. Usaha ini,
karena sifat dan tujuannya, harus dinilai sebagai langkah nonhukum pidana,
penting, dalam medan pertempuran melawan korupsi. Gelora ini, mau atau tidak,
harus dipertimbangkan sebagai trek tambahan dalam medan pemberantasan
korupsi.
Langkahlangkah
pembaruan tatanan tata laksana birokrasi, mutlak digencarkan. Konsekuensinya
aparatur nonhukum pidana, terasa masuk akal diberi tanggung jawab, strategis,
dalam medan ini. Bebankan ganti rugi seketika kepada pejabat yang
menyelewengkan wewenangnya, dan bebaskan pejabat tersebut dari jabatannya
seketika itu juga, cukup masuk akal dipertimbangkan sebagai langkah lain,
bersifat administratif, yang hebat.
Langkah ini, harus
diakui, memiliki pijakan konstitusional. Mengapa? Konstitusi hanya
menggariskan hasil pemeriksaan diserahkan kepada DPR dan lembaga lainnya,
tanpa menyebut secara eksplisit bentuk tanggung jawab atas pelanggaran itu.
Pada titik ini, DPR, tentu bersama pemerintah, secara konstitusional berwenang
menentukan sifat derivatif pelanggaran itu; administratif dan pidana.
Dalam konteks itu,
mengualifikasi pelanggaran tersebut untuk pertama kalinya bersifat
administratif, logis, karena locus
dan tempus-nya. Pelanggaran itu
terjadi di lingkungan organ administratif, dan terjadi pada saat
penyelenggaraan administrasi negara. Konsekuensinya, organ administratif
pulalah yang berwenang, untuk pertama kalinya, dalam menindaknya.
Organ apakah yang
diberi kewenangan itu, khususnya untuk menuntut ganti rugi atas kerugian
negara dalam konteks administratif itu? Ada baiknya Kementerian Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan) dipertimbangkan sebagai organ
penuntut ganti rugi itu. Agar efektif, beralasan bila Badan Pemeriksa
Keuangan dan Pembangunan diintegrasikan ke dalam Kemenpan.
Setelah langkah
administratif berakhir, dan tidak membuahkan hasil, maka sanksi pidana, yang
dalam sifat akademisnya merupakan pukulan terakhir yang mematikan, digunakan.
Satu hal, jangan kualifikasi suap kepada aparatur administrasi, sebagai
pelanggaran administrasi. Tindakan ini, karena sifatnya, harus dikualifikasi
serta-merta sebagai tindak pidana.
KPK-lah yang memimpin pertempuran
di medan pidana. Untuk kepentingan itu, sebagian kewenangan eksklusif KPK tak
usah diusik, sembari menata, tentu dengan argumen yang rasional, kewenangan
lain. Kewenangan menyadap harus terus dipelihara dan penggunaannya tak perlu
digantungkan pada persetujuan institusi lainnya, apa pun institusi itu.
Namun, tentu demi
kemurniannya, komisioner KPK dibebani tanggung jawab atas aktivitas
penyadapan. Beralasan dalam konteks itu, kobocoran data, khususnya
nonkorupsi, yang diperolehdari sadapan dikualifikasi sebagai tindak pidana.
Hasil sadapan, dengan demikian, digunakan semata-mata untuk penegakan hukum,
tidakyanglain, betapapun masuk akalnya yang lain itu.
Perpaduan senjata
administrasi dan pidana, saatnya, dipertimbangkan sebagai arah baru pertempuran
melawan korupsi. Sanksi administratif, ganti rugi dan pembebasan dari
jabatan, mungkin mesti dipertimbangkan sebagai senjata utama pertempuran
melawan korupsi, dalam arah baru itu, sembari menempatkan pidana sebagai
senjata akhir, yang sama mematikannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar