Masela Milik Generasi Mendatang
Junaidi Albab Setiawan ; Advokat; Pengamat Hukum Migas
|
KOMPAS,
23 Januari 2016
Presiden harus
pandai-pandai mengambil manfaat dari polemik terbuka tentang rencana
pengembangan lapangan gas abadi, Blok Masela, yang terletak di Laut Arafuru,
Maluku. Polemik terjadi antara Menteri
Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli yang didukung para
tokoh Indonesia timur dan praktisi migas dari Forum 73 ITB di satu pihak,
dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said dan Satuan Kerja
Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang dikuatkan oleh
pendapat konsultan independen Poten & Partners yang disewa pemerintah di
pihak lain. Sekalipun Menko Bidang Maritim dan Sumber Daya, Menteri ESDM, dan
SKK Migas semua masih dalam jangkauan presiden, perbedaan itu tak perlu
ditutup-tutupi.
Peristiwa itu adalah
gejala baru yang justru bermanfaat karena semangat perbedaan itu untuk
menemukan pilihan terbaik bagi kepentingan bangsa. Bagi pemerintah, polemik
yang dilontarkan secara terbuka itu adalah proses dialogis positif yang akan
makin memperkukuh landasan putusan yang akan diambil.
Paling menguntungkan
Saat ini pengembangan
Blok Masela memasuki tahap menunggu persetujuan revisi plant of development
yang telah disampaikan kontraktor kontrak kerja sama Inpex Masela Ltd [beranggota Inpex
Corporation (65 persen) dari Jepang dan Shell Upstream Overseas Services (35 persen) dari Belanda]
kepada pemerintah.
Revisi ini untuk
mengganti front end engineering design
kilang terapung berkapasitas 2,5 juta metriks ton per tahun (MTPA) yang telah
disetujui pemerintah pada September 2014 diubah menjadi berkapasitas 7,5 MTPA
dengan nilai investasi 14,8 miliar dollar AS, menyusul ditemukannya cadangan
gas baru.
Setelah revisi itu
mendapat persetujuan, tahap selanjutnya adalah keputusan akhir investasi.
Masalahnya sekarang: proses tersebut kini terhenti karena pemerintah belum
menyetujui revisi yang diajukan kontraktor. Pemerintah lewat Menko Maritim
dan Sumber Daya masih mempertimbangkan pilihan lain yang lebih efisien dengan
usul membangun fasilitas pengolahan di daratan terdekat dengan cara membangun
pipa dari lokasi tambang ke lokasi pengolahan.
Kedua pilihan ini
diklaim masing-masing pengusul sebagai pilihan terbaik dan paling
menguntungkan bagi Indonesia. Kini tiba saatnya bagi presiden menentukan
pilihan setidaknya dengan parameter berupa: (a) konsistensi kesesuaian
pilihan dengan amanat konstitusi karena gas adalah komoditas vital dari dalam
bumi Indonesia yang wajib dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat; (b) pilihan tersebut adalah yang paling efisien dan membawa
kemaslahatan maksimal bagi generasi mendatang karena proyek ini adalah proyek
jangka panjang; dan (c) serta adil bagi semua pihak, termasuk kepentingan
masyarakat di sekitar lokasi dan bagi kontraktor.
Polemik terbuka di
atas adalah wajar, bahkan perlu dilazimkan. Di era sekarang masyarakat harus
diberi akses selebar-lebarnya untuk berperan serta karena pengelolaan sumber
daya alam strategis dan vital, seperti gas alam bukanlah domain mutlak
pemerintah. Selain untuk menghindari kontroversi dan kecurigaan, sisi baiknya
adalah didapat berbagai tambahan pertimbangan yang komprehensif. Selama ini
masyarakat merasa ditinggalkan serta kurang diberi akses dan kesempatan
berperan serta. Pemerintah cenderung memonopoli persoalan, bahkan
menutup-nutupi demi keuntungan segelintir oknum, kroni, kekuatan kelompok,
dan golongan.
Apa pun yang akan
dipilih pemerintah, jika hubungan kontrak antara Indonesia dan Inpex Masela
Ltd adalah kontrak bagi hasil, maka yang paling menguntungkan bagi Indonesia
adalah fasilitas pengolahan yang berbiaya ringan, tetapi tak merongrong
pembiayaan dari waktu ke waktu. Dalam sistem kontrak ini, berapa pun dana
yang akan dikeluarkan untuk membangun fasilitas kilang pengolahan, baik di
darat maupun terapung di laut, biaya itu akan ditanggung rakyat Indonesia
melalui mekanisme pemulihan biaya. Biaya produksi yang telah dikeluarkan
kontraktor akan dibayar kembali dari hasil produksi sebelum dilakukan bagi
hasil bagi kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan.
Namun, harus juga
dipertimbangkan bahwa Blok Masela seluas 4.291,35 kilometer persegi, terletak
153 km dari Pulau Babar di sebelah selatan dan 146 km dari Pulau Yamdena di
sebelah barat daya, adalah lokasi sulit. Secara geologis ia labil karena
berada di daerah palung pertemuan (pergeseran) Lempeng Benua Australia dan
Lempeng Benua Eurasia dan Lempeng Pasifik yang dikitari gunung berapi.
Pertemuan lempeng itu
menyebabkan terbentuknya paparan luas yang kemudian disebut Paparan Sahul dan
Paparan Arafura dengan kedalaman palung 500 meter hingga 1.000 meter di bawah
permukaan laut. Kesemua itu tentu membutuhkan kontraktor andal dalam keahlian
dan pembiayaan. Saat ini kontraktor belum dapat menuai hasil, tetapi yang
pasti terus kehilangan jangka waktu kontrak pengelolaan blok yang demi hukum
harus berakhir pada 2028.
Kepentingan lokal
Tanpa bermaksud
mengecilkan komitmen kita sebagai bangsa dalam bingkai NKRI, pengembangan
Blok Masela harus lebih memperhatikan aspirasi dan kepentingan masyarakat di
daerah sekitar. Pemerintah wajib memberi tempat layak kepada aspirasi itu.
Ini adalah momentum yang tepat bagi pemerintah untuk membuat kebijakan adil
yang mampu mengurangi ketimpangan antara kawasan barat dan timur Indonesia.
Tuhan telah membuka
mata kita dengan Blok Masela yang terletak di batas timur Indonesia dan
selama ini kurang dapat perhatian dalam pembangunan. Blok ini bercadangan
terbukti gas yang sangat besar, mencapai 10,73 triliun kaki kubik. Blok ini
terletak di 155 km dari Kota Saumlaki di Pulau Tanimbar, ibu kota Kabupaten
Maluku Tenggara Barat. Sisi selatannya berada di perbatasan perairan
Indonesia dengan Australia atau 400 km sebelah utara Darwin.
Wilayah ini akan jadi
pusat pertumbuhan ekonomi karena Blok Masela juga dikelilingi blok besar
milik Australia (Gorgon, Itchis, dan Prelude). Semua ini mesti membawa kita
lebih bijaksana, adil, dan aspiratif dalam mengelolanya.
Pengembangan Blok Masela
diyakini akan membawa dampak turutan di wilayah sekitar lokasi yang berada di
tengah antara provinsi Indonesia yang masih tertinggal: Maluku, NTT, dan
Papua. Pemerintah harus konsisten menerapkan paradigma baru dalam pengelolaan
sumber energi sebagai motor pertumbuhan ekonomi dengan mencipakan kawasan
hunian dan ekonomi baru di sekitar sumber energi. Manusialah yang mengikuti
sumber energi, bukan sebaliknya (Peta Jalan Kebijakan Gas, ESDM, 2014-2030).
Daerah ini dulu
dikenal sebagai tempat pembuangan pahlawan pendiri bangsa. Pantaslah wilayah
ini dapat hadiah dan berkah dari hasil pengembangan Blok Masela: pengembangan
wilayah di sekitar yang kelak membawa dampak berantai bagi kemajuan wilayah
Indonesia timur. Pemerintah yang baik pantang mewariskan masalah dan prahara
bagi generasi mendatang karena gas alam adalah anugerah yang dipercayakan
Tuhan untuk seluruh bangsa Indonesia. Jangan biarkan anugerah itu jadi
kutukan yang memecah belah bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar