Otonomi Overdosis 2016
Irfan Ridwan Maksum ; Guru
Besar Tetap Fakultas Ilmu Administrasi UI
|
KOMPAS, 28 Januari
2016
Keberhasilan reformasi
di semua negara bergantung pada berbagai faktor. Salah satu faktor penting
yang turut menyukseskan reformasi adalah kualitas manajemen hubungan
pusat-daerah yang dikembangkan. Hubungan ini diatur terutama dalam UU yang
mengatur pemerintahan daerah. Turunan UU ini, yang sangat penting dalam
hubungan pusat- daerah, adalah persoalan pembagian urusan pemerintahan.
Pembagian urusan yang
tak tepat niscaya membuat hubungan pusat-daerah tak efektif dan akhirnya
berakibat pada gagalnya reformasi. Memasuki babak baru pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla bangsa Indonesia kembali memiliki UU baru yang mengatur
pemda: UU Nomor 23 Tahun 2014 juncto
UU No 9/2015. Sebagian keberhasilan reformasi NKRI, dengan demikian, amat
bergantung pada UU ini. Patutlah kita mencermati materi ini, terutama dalam
soal pembagian urusan pemerintahan.
Rawan penyalahgunaan
Dalam UU pemda yang
baru, tersua materi mengenai wewenang yang dijalankan berbagai institusi yang
bersinggungan dengan roda pemerintahan daerah. Bahkan, UU yang masih menganut
model rincian sengaja memasukkan materi wewenang secara rinci dalam
lampirannya. Penyalahgunaan kekuasaan dapat terjadi jika muncul peluang dari
sistem yang tercipta.
Peluang yang tercipta
sebagai basis penyalahgunaan kekuasaan dalam UU pemda itu terbagi dalam dua
kelompok: sumber yang datang dari tingkat pusat; dan sumber yang datang dari
dalam pemerintahan daerah itu sendiri. Pada sumber pertama terdapat dua hal.
Pertama, dipicu oleh pengaturan sejumlah urusan pemerintah pusat yang dapat
didekonsentrasikan ke gubernur sebagai wakil pemerintah (Pasal 1, 10, 19, dan
25) sebagai konsekuensi dianutnya sistem prefektur terintegrasi yang meliputi
urusan pemerintahan umum (PUM), sektor konkuren, dan urusan yang mutlak milik
peme- rintah pusat. Secara teoretis gubernur sebagai wakil pemerintah hanya
menerima dekonsentrasi urusan PUM semata, bukan menyangkut urusan
teknis-sektoral. Urusan PUM itu tak pula mencakup urusan teknis-sektoral.
Penyalahgunaan
kekuasaan dapat terjadi dari kementerian teknis sendiri jika tak menggunakan
instansi vertikalnya dalam mengemban urusan yang menjadi tanggung jawabnya,
tetapi menggunakan gubernur/bupati/ wali kota (G/B/W). Kementerian teknis
akan menganggap sumber daya daerah di bawah G/B/W adalah bagian dari
organisasinya. Dalam praktik dapat terjadi ”main suruh” kementerian teknis
kepada aparatur daerah.
Penyalahgunaan
kekuasaan di pusat juga terjadi di tubuh kementerian dalam negeri sendiri
yang jadi bengkak karena mengurusi teknis-sektoral untuk memantau G/B/W yang
ditugasi kementerian. Tampak dalam hal ini di pusat terjadi ”bagi-bagi lapak”
jika pasal ini dibiarkan dimanfaatkan antarkementerian.
Detail analisis di
atas: urusannya dilimpahkan ke G/B/W, tetapi pusat tetap dapat pekerjaan
lebih ringan dengan kontrol keuangan yang masih dipegang pusat. Dengan kata
lain, masalah publik di tingkat lokal tak dita- ngani pihak yang bertanggung
jawab dan bukan ahlinya. Di samping itu dapat dinilai pusat mau enak sendiri.
Selama terjadi yang seperti itu, jangan harap soal publik di daerah yang jadi
tanggung jawab pemerintah pusat dapat dijalankan dengan baik. Pendidikan,
kesehatan, dan lingkungan hidup dapat merosot.
Seyogianya PUM
dijunjung tinggi melalui gubernur sebagai wakil pemerintah, sembari instansi
vertikal dapat dibuka dan digunakan seoptimal mungkin sesuai dengan rincian
urusan pemerintah konkuren atau absolut yang menjadi kewajiban pusat.
Gubernur harus menjadi komandan instansi vertikal yang beroperasi di
wilayahnya. Namanya wakil pemerintah di daerah, bukan wakil dari kementerian
teknis. Jadi, instansi vertikallah yang dikoordinasi dan diintegrasikan gubernur
(pemegang urusan PUM) itu.
Kedua, terjadi dalam
tugas pembantuan (TP) yang tak diperhatikan apakah materinya tumpang tindih
dengan materi urusan daerah otonom (Pasal 1, 19, dan 20). Jika urusan yang
di-TP-kan adalah materi daerah otonom, dapat didorong terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini, laporan keuangan daerah amat rentan
disalahgunakan, seolah-olah tugas pusat. Sebetulnya dalam hal ini pemerintah
pusat dapat memancing melalui dana hibah atau alokasi lain agar program
daerah otonom dapat sejalan dengan arah kebijakan besar pusat,
TP diatur
bertingkat-tingkat sampai desa. TP dari pusat ke provinsi dapat dilimpahkan
ke kabupaten/kota dan seterusnya dapat dilimpahkan kembali ke desa. TP dari
pusat ke kabupaten/kota dapat juga dilimpahkan kembali ke desa. Akhirnya desa
dapat menjadi bulan-bulanan instansi atasannya.
Desa masih dianggap
sebagian pakar bukan daerah otonom, seperti provinsi dan kabupaten/kota
sesuai dengan UUD. Di masa Hindia Belanda desa tak pernah menerima TP dari
pusat, apalagi atasannya. Dengan berlakunya UU desa yang baru, jika dapat
dianggap sebagai daerah otonom, desa dapat menerima TP dari pu- sat, bukan
daerah otonom atasannya. Dua sumber penyalahgunaan kekuasaan itu perlambang
overdosisnya UU pemda baru membagi urusan pemerintahan.
Rekomendasi
Sedapat mungkin urusan
konkuren pusat tak dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah. Jika
dibutuhkan, instansi vertikal lebih tepat. Daerah tak hanya mengurusi soal
teknis saja, tetapi strategis untuk urusan yang didesentralisasikan. Di sini
letak otonomi: ada hak dan kewa- jiban mengatur dan mengurus.
Daerah akan bekerja
teknis untuk soal yang menjadi urusan pusat jika melalui TP. Dalam TP
disiapkan rincian program: dilaksanakan oleh pusat, daerah ikut membantu.
Muncul dana TP setelah desain programnya jelas dan organisasi pelaksananya
juga jelas.
Hindari TP kepada
desa. Jangan biarkan daerah otonom melimpahkan TP kembali kepada daerah
otonom di bawahnya. Urusan desa adalah urusan otonomi asli. Jika dapat difasilitasi,
kembangkan TP yang memungkinkan daerah otonom dapat mengembangkan perangkat
daerahnya yang menjangkau penjuru wilayahnya sehingga negara hadir di tengah
masyarakat, tidak overdosis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar