Freeport yang Bikin Repot
Soetanto Soepiadhy ; Dosen Pascasarjana Untag Surabaya
|
JAWA
POS, 20 Januari 2016
TULISAN New Hope Dahlan Iskan di Jawa Pos
(18/1) membuka mata kita. Betapa Freeport yang selama ini diagung-agungkan
sebagai mining international –perusahaan tambang emas terbesar di dunia–
dengan penghasilan USD 2,3 miliar dan memberikan manfaat langsung/tidak
langsung kepada Indonesia tidaklah seperti yang kita persepsikan sebagai
tambang emas yang hebat.
Mundurnya James R. Moffet, pimpinan Freeport
Mcmoran Inc. yang juga co- founder perusahaan tambang tersebut, pada 29
Desember 2015, yang diikuti mundurnya Maroef Syamsuddin dari jabatan presiden
direktur PT Freeport Indonesia (PTFI) sejak Senin 18 Januari 2016, menyisakan
tanda tanya besar.
Lalu, bagaimana kita bisa membaca dan memahami
apa sesungguhnya yang terjadi di PTFI ini dengan fakta mundurnya James Moffet
dan Maroef Syamsuddin? Jawaban tuntasnya ada di tulisan Dahlan. Pemerintah
tidak perlu tertarik lagi dengan tawaran Freeport untuk mengambil saham
dengan nilai USD 1,7 miliar atau sekitar Rp 20 triliun.
Mengapa? Freeport bukan lagi perusahaan yang
hebat dan menjanjikan. Merugi terus. Kondisi keuangan Freeport sangat
mengecewakan. Labanya terus memburuk. Pada 2014, tinggal USD 482 juta.
Bahkan, tahun lalu rugi besar: USD 1,8 miliar! Rugi lebih dari Rp 20 triliun.
Dan, kelihatannya, Freeport masih akan terus merugi beberapa tahun ke depan.
Omzetnya turun, labanya memburuk, rasio-rasio keuangannya tidak lagi masuk
akal. Bahkan, cash flow-nya pun menghadapi kegawatan. Ada yang mengatakan: Freeport Sedang Menuju Kematian.
Apakah dengan kondisi buruk seperti itu kita
masih ”mau” mengambil tawaran saham Rp 20 triliun itu? Tindakan teramat bodoh
kalau kita tetap mengambilnya. Atau, kita masih ingin masuk dalam pusaran
kebangkrutan Freepot? Tentu saja tidak! Kecuali, orang-orang yang
menggebu-gebu mendesak pemerintah agar memaksa Freeport mengurangi sahamnya
di PTFI. Juga para pejabat pemerintahan kita yang pernah mengatakan bahwa
PTFI sangat menguntungkan buat negeri ini.
Berani
Tahun 2021, kontrak dengan Freeport akan
berakhir. Kalau kontrak tidak diperpanjang, Freeport akan 100 persen secara
otomatis milik kita. Tidak perlu keluar uang Rp 20 triliun hanya untuk memiliki
10 persen sahamnya yang kita juga tak bisa berbuat apa-apa di dalam PTFI.
Jadi, berdasar alasan itu, kita harus berani untuk tidak membayar Rp 20
triliun itu sekaligus tidak memperpanjang lagi kontraknya. Dan, tidak perlu
susah-susah membentuk Pansus Freeport oleh DPR.
Tinggal Jokowi harus cepat mengkaji secara
akademis bagi kepentingan dan keuntungan Indonesia dengan dasar pijakan dan
bingkai pemikiran ”lepas” dari PTFI. Kajian akademis itu menjadi penting
untuk memperoleh cara-cara menetralisasi kalau-kalau penguasa Amerika
benar-benar ”marah” kepada kita.
Kita tidak perlu lagi takut kepada
bayangan-bayangan kita sendiri. Karena secara politik dan ekonomi dengan enam
kebijakan ekonomi yang sudah dilakukan, justru kondisi perekonomian kita akan
lebih kuat kalau kita berani mengelola sendiri Freeport. Kita mampu.
Apakah kita masih saja ingin disuguhi sinetron
sedih di mana kekayaan alam kita berupa emas dengan begitu bebasnya dikeruk
Freeport? Sementara Indonesia sendiri masih menghadapi masalah ekonomi yang
rumit, tetapi kekayaan alamnya dikeruk asing. Padahal, perintah konstitusi
mengatakan: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
(pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Papua yang kaya raya, toh rakyatnya masih hidup
jauh dari kata sejahtera.
Di tengah goyahnya perekonomian global,
pertumbuhan ekonomi Indonesia digadang-gadang masih bisa berada di level 5,1
persen. Kalau melihat angka itu, mestinya bangsa kita sudah hidup lumayan
makmur. Lalu, mengapa belum makmur? Inilah yang menjadi tantangan
pemerintahan Jokowi untuk bisa membalik semua itu dengan strategi dan
kebijakan baru menghadapi repotnya Freeport. Ke depan, semoga jalannya
menjadi mudah menghadapi Freeport. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar