Grand Prix
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 21 Januari 2016
Membaca berita tentang
Thailand yang akan menggelar ajang Grand Prix bisa membuat bangsa kita sewot.
Betapa tidak, belum pernah kita mendengar ada warga negara Thailand yang
menjadi pembalap baik untuk MotoGP maupun Formula 1 (F1).
Begitu juga dengan Malaysia
yang sudah menggelar MotoGP dan F1 di Sirkuit Sepang atau Singapura yang
begitu gagah memasarkan pariwisatanya dengan menyelenggarakan ajang F1 di
jalan-jalan raya negara itu. Tapi adakah warga negara Malaysia menjadi
pembalap MotoGP? Apakah ada warga Singapura yang juga menjadi pembalap F1?
Sama sekali tidak ada.
Mungkin itu tak
terlalu penting bagi kegiatan ekonomi wisata. Di lain pihak, kita punya Rio
Haryanto yang digadang-gadang bakal ikut balap F1. Rio sudah memenuhi
kualifikasi untuk ikut F1 setelah bertahun-tahun mengikuti Grand Prix 2
Series, ajang balap sekelas di bawah F1. Apalagi sudah ada dua tim yang ingin
merekrut Rio menjadi pembalap, yakni tim Force India dan tim Manor Marussia.
Persoalannya, untuk bisa ikut balap F1 Rio butuh dana yang tidak sedikit.
Bisa mencapai 15 juta
euro atau sekitar Rp226 miliar. Tapi saya optimistis masalah ini bisa
diatasi. Pertamina sudah mengucurkan dana sponsor Rp75 miliar. Lalu Menteri
Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi juga sudah menjamin kebutuhan dana agar Rio
bisa ikut F1. Jadi, urusan pembalap kita sudah punya. Kebutuhan dana juga
sudah ada yang menjamin. Sekarang tinggal arena balapnya. Tapi soal
jualannya, kita ini memang masih kurang lihai.
Banyak Drama
Harap maklum, ajang
Grand Prix seperti MotoGP atau F1 bukan sekadar ajang balap sepeda motor atau
mobil biasa. Ini adalah tontonan kelas dunia. Sebuah pentas adu kecepatan.
Maka tak mengherankan jika banyak drama yang terjadi di dalamnya. Anda tentu
masih ingat dengan drama senggolan antara Valentino Rossi dengan Marc Marquez
dalam ajang MotoGP di Sirkuit Sepang, Malaysia, pada Minggu, 25 Oktober 2015.
Keduanya sempat saling
susul di hampir setiap tikungan. Lalu terjadilah insiden senggolan itu.
Marquez terjatuh dan tak bisa melanjutkan lomba. Esok harinya, Senin, insiden
itu menjadi pokok bahasan yang serius di berbagai media. Banyak orang
membicarakannya. Kolega saya bercerita, dia sampai berdebat habis dengan
teman sekantornya perihal insiden itu.
Ia menilai Rossi
sengaja menjatuhkan Marquez, sementara koleganya berbeda pendapat. Asal Anda
tahu, teman debat kolega saya adalah seorang ibu yang usianya menjelang 50-an
tahun. Drama belum selesai sampai di situ. Akibat insiden tersebut, Rossi
dihukum. Dalam putaran terakhir MotoGP edisi 2015 di Sirkuit Valencia,
Spanyol, 8 November 2015, Rossi harus memulai start MotoGP di urutan paling
belakang.
Hukuman itu membuat
peluang Rossi untuk menjadi juara MotoGP 2015 sangat tipis. Kalau mau menjadi
juara, ia harus finis di tempat kedua. Tapi bagaimana bisa kalau ia harus
start di urutan paling belakang? Drama berlanjut. Dalam balap putaran
terakhir di Valencia, semua perhatian penonton terpusat kepada Rossi.
Meski menempati posisi
start paling akhir, Rossi dengan cepat menyalip pembalap-pembalap lain.
Setiap kali Rossi berhasil mendahului pembalap yang ada di depannya, suara
penonton bergemuruh. Mereka mendukung Rossi. Mereka ingin menyaksikan drama
baru. Itulah salah satu drama dari ajang MotoGP. Anda tentu sudah tahu
hasilnya. Rossi gagal menjadi juara karena ia hanya berhasil finis di urutan
keempat. Drama serupa terjadi di ajang F1.
Duel tak hanya terjadi
antara pembalap dari tim yang berbeda, tetapi juga antarpembalap dari tim
yang sama. Misalnya Sebastian Vettel vs Daniel Ricciardo ketika sama-sama
membela Red Bull. Atau Sergio Perez vs Nico Hulkenberg dari tim Force India,
Lewis Hamilton vs Nico Rosberg yang keduanya dari tim Mercedes.
Duel semacam itu
menjadi tontonan yang memikat dan membius jutaan pemirsa baik yang menonton
secara langsung di arena balap atau lewat layar kaca. Andai saja duel-duel
semacam itu (tanpa tawuran tentunya) terjadi di arena balap yang ada di
Indonesia, mungkin nama negara kita dengan cepat dikenal di dunia. Bukan
seperti sekarang, orang asing hanya mengenal Bali, tetapi tidak tahu di mana
itu Indonesia.
Menjual Sendiri
Membangun arena balap
Grand Prix sesungguhnya tak sulit-sulit amat. Singapura, Malaysia, atau
Thailand sudah membuktikannya. Singapura bahkan tak perlu membangun arena
balap baru lagipula mereka sudah tak punya lahan lagi. Mereka cukup
menyiapkan jalan-jalan rayanya agar layak menjadi arena balap F1. Kita
mungkin tak perlu meniru Singapura.
Lahan kita masih luas.
Kita bisa meniru pola Malaysia atau Thailand. Dari berbagai referensi yang
saya baca, untuk terpilih menggelar lomba sekelas Grand Prix, syaratnya tidak
banyak. Misalnya, pertama , keamanan. Ini syarat mutlak. Kedua , adanya
sirkuit yang berkelas internasional sesuai dengan standar FIA (Federation
Internationale de l’Automobile).
Ini bukan hanya untuk
sirkuit balapnya, tetapi juga infrastruktur pendukungnya seperti fasilitas
safety. Ketiga, membayar sejumlah dana ke pengelola F1. Besarnya beragam.
Pengalaman Australia, panitia penyelenggara F1 di sana membayar USD30 juta
per pengelola F1. Kalau ini digelar di Indonesia, uang sebesar itu, saya merasa,
bisa dengan cepat tertutup dari penjualan tiket dan perolehan sponsor.
Kini kita tinggal
memilih di kota mana kita akan membangun sirkuit F1. Jakarta? Saya mungkin
akan mencoret pilihan ini. Saya lebih suka jika ajang F1 digelar di daerah.
Sebab, bagi saya, menggelar ajang F1 bukan hanya persoalan membangun sirkuit,
tetapi juga membangun kota dan masyarakatnya. Sebuah kota, kalau kita siapkan
sebagai ajang F1, akan mampu ”menjual” dirinya sendiri tanpa kita perlu
membelanjakan banyak dana untuk berpromosi. Investor dalam dan luar negeri
akan berdatangan untuk membangun hotel, restoran, serta berbagai fasilitas
dan infrastruktur pendukung lainnya. Jalanjalan di seputar kota tersebut akan
dibenahi.
Bandaranya harus
berkelas internasional dan masih banyak lagi lainnya. Kondisi semacam itu
juga akan memaksa pemerintah daerah membenahi aparat birokrasinya. Mereka
harus mempunyai mental melayani, bukan dilayani. Izin-izin harus dibuat lebih
jelas, lebih sederhana, dan lebih murah. Lalu yang tak kalah penting adalah
perubahan perilaku masyarakatnya.
Bali mungkin
membutuhkan waktu puluhan tahun untuk mengubah perilaku masyarakatnya agar
siap melayani wisatawan. Lewat F1, saya kira, waktunya bisa dipangkas.
Apalagi sekarang sedang eranya revolusi mental. Banyak kota menjadikan
bandara sebagai pusat pertumbuhan bagi kawasan di sekitarnya. Konsep ini
dikenal dengan nama Aerotropolis. Banyak kota juga menjadikan pelabuhan laut
sebagai pusat pertumbuhan. Ini disebut dengan istilah Oceanopolis.
Apa jadinya jika sirkuit
balap dijadikan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi bagi kawasan di sekitarnya?
Mungkin sebutannya bisa Racetropolis. Beranikah kita mencoba? Ayo! Masa kita
ketinggalan terus dari Malaysia dan Thailand? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar