Ada Bistik, Teror Tiada
Sarie Febriane ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
22 Januari 2016
Siapa yang menyangka,
melalui strategi kuliner, ambisi kekerasan para jebolan jejaring teror dapat
teredam. Tanpa perlu menggurui dan menceramahi mereka, apalagi berdialog
dengan judul "deradikalisasi". Cukup dengan sepiring bistik lidah
yang sedap.
Itulah yang terjadi
dalam "eksperimen sosial"
yang dijalankan Noor Huda Ismail bersama lembaga yang dipimpinnya, Yayasan
Prasasti Perdamaian (YPP), selama beberapa tahun terakhir. Huda bersama YPP
merangkul para mantan narapidana terorisme untuk bisa melebur ke dalam
masyarakat secara normal dan terhindar dari stigmatisasi sebagai "mantan
teroris".
"Pendekatan kami ini agnostik saja, tidak membawa-bawa
agama, dan menonjolkan sisi kemanusiaan dengan memanusiakan mereka. Kami cuma
mengambil peran yang belum tersentuh negara," ujar Huda.
Huda tergerak mengurusi
para mantan napi teroris ketika mengetahui salah satu temannya terlibat
serangan Bom Bali 2002. Mubarok, temannya itu, adalah teman sekamar saat
mondok di Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Huda berupaya
melibatkan para mantan napi terorisme dalam berbagai kegiatan ekonomi, mulai
dari mengelola tambak, rental mobil, restoran, hingga toko roti. Restoran Dapoer Bistik di Solo,
misalnya, yang menyajikan menu andalan bistik lidah, kini menjadi salah satu
potret sukses eksperimen yang dijalankannya. Restoran itu kini dikelola
mantan napi terorisme jebolan kamp pelatihan militer di Filipina Selatan.
Seiring berjalannya
waktu, Huda berkesimpulan model jenis usaha yang berdimensi hospitality (keramahtamahan), seperti
restoran, lebih menjanjikan. Sebab, jenis usaha ini berpeluang menggiring
mantan napi terorisme untuk melunakkan hasrat kekerasannya.
Dalam model bisnis
hospitality, para mantan napi terpapar dengan lingkungan sosial yang beragam.
Tak hanya itu, mereka juga belajar nilai-nilai dalam hospitality seperti menghargai pelanggan dari berbagai macam
latar belakang identitas, mendengar, bersikap ramah, dan seterusnya.
"Pernah ada tamu bule yang datang ke restoran, lalu salah
satu pelayan yang bekas kombatan diberi uang tip besar oleh si bule. Ini
rupanya mengesankan sekali buat dia (mantan kombatan). Dia heran, ada bule
ternyata baik," ujar Huda.
Huda mengaku
menjalankan pendekatan disengagement,
bukan deradikalisasi. Disengagement
ialah bagaimana menciptakan kondisi yang mendukung proses pemutusan hubungan
para napi terorisme dari habitat lamanya yang pro-kekerasan sehingga menekan
kemungkinan mereka untuk kembali menjalankan aksi teror. Cara ini tidak
berupaya mengusik paham atau ideologi mereka.
"Dilema yang dialami mantan napi terorisme ketika keluar
penjara adalah mau balik ke dunia lama atau memasuki dunia baru. Dunia lama
menerimanya sebagai pahlawan, sementara dunia baru menganggapnya
sampah," kata Huda.
Bersama YPP, Huda
menciptakan lingkungan yang memungkinkan mantan napi terorisme mengalami
interaksi sosial yang berkembang. Kondisi itu membuat mereka terbiasa bergaul
dengan kalangan yang berbeda-beda, tanpa harus menelan ceramah soal
pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika, apalagi dijejali soal Pancasila.
"Saya pernah bertanya kepada salah satu mantan kombatan
yang ikut kami, kenapa tidak ikut bergabung kamp pelatihan militer di Aceh
yang dibongkar polisi. Dia bilang, dia tahu teman-temannya tengah menyiapkan
kamp itu, tetapi memutuskan tidak ikut karena mengurusi restoran saja sudah
sibuk sekali," cerita Huda.
Transaksional
Terminologi
"deradikalisasi" seolah-olah menyikapi para napi atau mantan napi
terorisme sebagai pesakitan, yang isi otaknya perlu diperbaiki. Perspektif
ini memancing sikap resisten, terutama dari napi di level ideolog, yang
merasa pahamnya paling benar. Mereka enggan dikuliahi, apalagi diceramahi
pandangan-pandangan yang cenderung sekuler. Pendekatan keagamaan pun menjadi
pelik, mengingat mereka merasa versi interpretasi agama yang diyakininya
lebih benar.
Sebaliknya, eksperimen
sosial yang dijalankan Huda mengadopsi nilai-nilai keragaman dalam praktik
sehari-hari, dengan tetap menganggap mereka sebagai manusia normal, yang
sekadar berbeda pandangan. Tak perlu upaya untuk memengaruhi pandangan mereka
secara eksplisit dan frontal.
Lembaga penelitian
nonprofit asal Amerika Serikat, RAND Corporation, dalam salah satu laporannya
pernah menilai program deradikalisasi di Indonesia cenderung transaksional.
Program itu cenderung dimanfaatkan para napi terorisme untuk sekadar mendapat
remisi.
Indikasi itu terlihat
dari laporan penelitian lainnya, yakni Institute
for Policy Analysis of Conflict, Januari 2015. Pada Juni 2013, pemerintah
memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Pasal 34A PP itu
menyebut remisi diberikan kepada napi terorisme jika bersedia bekerja sama
membongkar tindak pidana yang dilakukannya, mengikuti program deradikalisasi,
dan bersedia berikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara
tertulis.
PP ini memancing
kemarahan para napi terorisme. Abu Bakar Ba'asyir dan Aman Abdurrahman
disebutkan dalam laporan mengeluarkan pernyataan, siapa pun yang mengikuti
aturan itu, yakni dengan berikrar, telah murtad.
Cara pemaksaan ala
Orde Baru demikian barangkali perlu ditinjau kembali. Bukan karena kemarahan
para napi terorisme, melainkan pada dasarnya program berlabel
"deradikalisasi" juga rawan dimanipulasi pesertanya sendiri. Belum
lagi soal pertanggungjawaban program yang bisa menjadi sekadar proyek belaka
ketika hasil evaluasinya dipertanyakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar