Negara Aktif dan Berpihak
Airlangga Pribadi Kusman ;
Pengajar di Departemen Politik FISIP
Universitas Airlangga Surabaya; Associate Director Akar Rumput Strategic
Consulting (ARSC)
|
JAWA POS, 26 Januari
2016
DI tengah derasnya daya dorong untuk
menggerakkan pertumbuhan ekonomi, saatnya kita sadar bahwa republik ini
tengah menghadapi persoalan krusial yang harus segera diantisipasi. Yaitu,
semakin tingginya jarak ketimpangan sosial, masih menguatnya problem korupsi,
serta meluruhnya kohesivitas sosial yang semua itu bisa mengancam persatuan
kita sebagai satu kesatuan bangsa Indonesia.
Saat membahas cara mengantisipasi
persoalan-persoalan utama tersebut, negara sebagai otoritas politik utama
tidak saja harus hadir, namun juga berperan aktif dan berpihak pada
kepentingan warga.
Pentingnya kehadiran negara dan bagaimana
seharusnya negara berperan aktif merupakan spirit pidato Ketua Umum PDI
Perjuangan Megawati Soekarnoputri dalam sambutannya pada Rakornas PDIP di
Jakarta beberapa waktu lalu. Dalam momen penting di partainya itu, Megawati
mengingatkan kembali relevansi dalam konteks kekinian warisan konseptual
pendiri republik Ir Soekarno, yakni Pembangunan Nasional Semesta Berencana
yang kali pertama diucapkan pada 28 Agustus 1959.
Pada zamannya, konsepsi Pembangunan Nasional
Semesta Berencana diucapkan Presiden Soekarno untuk mengonsolidasikan segenap
elemen bangsa dalam arah gerak negara untuk menyelesaikan persoalan kala itu.
Yaitu, perjuangan men transformasikan tatanan ekonomi kolonial menuju ekonomi
nasional.
Agaknya berlebihan apabila dikatakan bahwa
desain negara perencanaan integratif ala Bung Karno di atas sudah lapuk dan
tidak lagi relevan dengan tatanan demokrasi. Mengingat, desain kebijakan
negara aktif tersebut seirama dengan yang, misalnya, sudah dijalankan negara
demokrasi Amerika Serikat melalui program New Deal sejak 1933 yang
diinisiatori Presiden Franklin Delano Roosevelt (FDR).
Strategi industrialisasi negara, skema program
anti kemiskinan, dan pelibatan rakyat dalam pembangunan infrastruktur yang
dibiayai negara adalah program negara progresif yang tidak hanya dijalankan
pada era FDR, tapi juga kembali menjadi inspirasi pengelolaan negara pada era
kepemimpinan Presiden Obama (Michael
Grunwald, 2012).
Apabila negara liberal seperti AS tidak
menabukan pola pembangunan terencana seperti New Deal, tentu tidak ada hambatan bagi negeri kita. Sebab, di
dasar negara Pancasila tertera sila keadilan sosial untuk mendiskusikan
konsepsi Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang dikontekstualisasikan
dalam suasana politik demokrasi dan masyarakat yang terbuka.
Ketimpangan Sosial
Satu persoalan utama yang harus segera kita
perhatikan seperti yang tertera pada awal adalah problem ketimpangan sosial.
Laporan dari Bank Dunia 2015 berjudul Indonesia’s
Rising Divide menyebutkan, tingkat ketimpangan sosial semakin tinggi.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi secara ekstrem hanya dinikmati segelintir
kelompok terkaya.
Dalam hitungan statistik, 10 persen orang
terkaya memiliki 77 persen kekayaan di negeri ini dan 1 persen orang terkaya
memperoleh kue pembangunan 50 persen. Artinya, 90 persen lapisan mayoritas
orang Indonesia hanya berbagi sekitar 23 persen hasil pembangunan di negeri
kita.
Dalam laporan tersebut tertera, akumulasi
kekayaan dari mereka yang sangat diuntungkan dari pembangunan ekonomi di
Indonesia didapatkan dari praktik-praktik korupsi dalam relasi bisnis-politik
di negeri kita.
Sebagaimana diutarakan pakar kesehatan publik
Richard Wilkinson dan Kate Pickett (2010) dalam The Spirit Level: Why Equality is Better for Everyone, penelitian
mereka tentang relasi kesetaraan dan kesehatan sosial menunjukkan bahwa
problem-problem sosial seperti penyakit mental (termasuk kecanduan alkohol
dan narkoba), rendahnya harapan hidup, angka bunuh diri, anak putus sekolah,
dan rendahnya kepercayaan muncul lebih banyak di negara-negara dengan tingkat
ketimpangan sosial yang tinggi (meskipun pertumbuhan ekonomi tinggi) jika
dibandingkan dengan negara yang kehidupan sosialnya lebih setara.
Dalam perspektif demokrasi republikanisme,
tatanan demokrasi dengan segenap persoalan yang ada justru mensyaratkan
hadirnya negara yang aktif dan berpihak pada kepentingan publik. Perencanaan
negara dan hadirnya negara yang kuat justru dibutuhkan untuk menjamin hak-hak
politik, sipil, dan sosial warga negaranya.
Rekontekstualisasi Pembanguan Semesta
Berencana dalam era kekinian seharusnya diarahkan agar segenap warga negara
bisa aktif dan berbagi secara adil untuk mengontrol jalannya kehidupan
bernegara.
Melawan Korupsi
Ketika kita kembali pada persoalan krusial
yang tengah dihadapi republik kita, yaitu jurang ketimpangan sosial,
pengedepanan konsepsi Presiden Soekarno tersebut harus memprioritaskan
konsistensi arah negara dalam memberantas korupsi.
Kalau kita membaca naskah asli pidato
Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang diuraikan pada 1959, Bung Karno
tiga kali menyebutkan masalah korupsi sebagai masalah pembangunan.
Pertama, mismanagement
dan korupsi sebagai faktor utama penghalang pembangunan nasional. Kedua,
birokrasi yang tidak sehat sebagai pemicu korupsi dan manipulasi. Ketiga,
pentingnya peran negara untuk mengintensifkan pembasmian korupsi, termasuk
pemborosan anggaran untuk kepentingan kemakmuran birokrat.
Hal tersebut membawa kita pada
kesimpulan bahwa pertanyaan utamanya bukan apakah konsepsi Pembangunan
Nasional Semesta Berencana relevan atau tidak saat ini. Hal yang paling utama
adalah apakah segenap aparatur negara dan elite politik siap menjalankan
konsepsi tersebut melalui kontekstualisasi pada era demokrasi dan memulainya
dengan fokus pada prioritas utama pemberantasan korupsi: terciptanya tatanan
masyarakat yang berkeadilan sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar