Setelah Embargo Iran Dicabut
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 20 Januari 2016
Politik luar negeri
saat ini jauh berbeda dengan cerita-cerita dalam buku teks tahun 1960-1990-an.
Pada masa itu kita dapat mengategorikan orientasi politik sebuah negara
berdasarkan ideologi kapitalisme atau komunisme, antara Sunni-Syiah, antara
China atau Soviet.
Kita dapat membuat
dikotomi orientasi ideologi politik negara masing-masing dan kemudian
mengelompokkannya berdasarkan orientasi tersebut. Hal itu juga tecermin dalam
teori-teori pembangunan, misalnya teori modernisasi , teori ketergantungan
dan keterbelakangan atau teori sistem dunia .
Dari teori-teori
tersebut kita dapat meramalkan dan memprediksi langkah-langkah apa yang akan
diambil oleh sebuah negara apabila terjadi eskalasi konflik. Kita juga
meramalkan langkah antisipasi apa yang harus diambil baik sebagai negara
netral ataupun yang berpihak di salah satu kubu. Saat ini keadaannya sudah
berubah. Suasana yang tegang antarnegara bisa dikelola dengan terobosan
diplomasi.
Meskipun pada awal
negosiasi sulit dibayangkan ada prediksi positif, dalam perjalanannya
ternyata tidak ada yang mustahil. Kita ambil contoh kasus Iran yang telah
menyelesaikan perundingan dengan Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Rusia,
China, dan Jerman. Perundingan yang telah dimulai sejak 2011 itu kemudian
dituangkan dalam joint comprehensive
plan of action (JCPOA) yang memuat beberapa tuntutan yang sebagian besar
telah dipenuhi Iran.
Misalnya Iran telah
setuju untuk mengurangi pengayaan uranium hingga kadar tertentu hingga hanya
bisa digunakan untuk riset dan pembangkit tenaga listrik dan bukan untuk
senjata pemusnah massal (weapons of
mass destruction). Iran juga mempersilakan Badan Internasional Atom Dunia
untuk melakukan inspeksi ke instalasi- instalasi nuklir di wilayah Iran, baik
untuk kasus terkini maupun yang terdahulu.
Pada Sabtu malam
minggu lalu, IAEA sebagai badan yang mengawasi dan menjalankan JCPOA telah
melaporkan kepada P5+1 bahwa Pemerintah Iran telah memenuhi syarat-syarat
untuk menjalankan JCPOA. Keterpenuhan syarat itu ditandai dengan tindakan
simbolik para insinyur Iran untuk memindahkan inti dari Reaktor Nuklir Arak
dan menutupinya dengan beton.
Bagi Presiden Amerika
Serikat (AS) Barack Obama, laporan tersebut adalah berita yang cukup bagus
dan sesuai dengan garis politik luar negeri AS yang cenderung mengurangi
penggunaan kekuatan militer. Entah kebetulan atau memang sudah diatur,
laporan tersebut bertepatan dengan pidato kenegaraannya yang ketujuh dan
terakhir di hari Senin lalu sebelum memasuki masa kampanye Pemilihan Presiden
2016.
Obama mengatakan bahwa
pemerintahnya telah berhasil membuat Pemerintah Iran tidak memiliki lagi
kemampuan untuk membuat senjata nuklir dan hal itu membuat AS dan dunia
menjadi sedikit lebih aman. Sebagai kelanjutan dari kesepakatan, AS akan
menandatangani executive order yang
mencairkan aset Pemerintah Iran yang bernilai antara USD50 miliar hingga
USD150 miliar walaupun sanksi utama atas aset yang terkait dengan warga
negara AS (primary sanctions) belum
dicabut.
Masih ada
sanksi-sanksi lain yang belum dicabut seperti dukungan Pemerintah Iran
terhadap kegiatan yang diindikasi sebagai kegiatan teroris, aksi yang membuat
wilayah regional tidak stabil, pelanggaran HAM, dan pengembangan misil
balistik. Meski demikian, bagi Pemerintah Iran, pencabutan sanksi dari AS dan
Eropa dapat membuat mereka bernapas lega karena mereka akan mendapat darah
segar dari penjualan minyak yang selama ini dilakukan di pasar gelap dengan
harga di bawah pasar.
Seperti kita ketahui,
68% pendapatan negara Iran adalah dari penjualan minyak bumi. Sisi
positifnya, walaupun harga minyak semakin melorot dalam 1-2 hari setelah
kesepakatan nuklir Iran, banjir minyak dari Iran kemungkinan dapat menekan
negara-negara penghasil minyak lain untuk mulai memutuskan akan mengurangi
atau tetap memproduksi minyak dengan volume seperti saat ini.
Pemerintah Oman adalah
salah satu negara produsen yang telah menyatakan akan mengurangi produksi
minyak setelah kesepakatan nuklir dengan Iran tercapai. Iran juga kembali
terlibat dalam perdagangan internasional setelah pemerintahan Eropa
memberikan izin pada sistem keuangan Iran untuk masuk dalam perbankan
internasional.
Tekanan ekonomi selama
20 tahun telah membuat angka pengangguran di Iran meningkat dan sistem
ekonominya tidak kompetitif. Meski demikian apakah Iran akan menjadi sekutu
dari AS dan negara-negara Barat seperti yang dikhawatirkan negaranegara
Koalisi Arab pimpinan Arab Saudi, masih sangat spekulatif untuk dijawab.
Kenyataannya saat ini, beberapa sanksi masih tidak dicabut seperti yang telah
dijelaskan di atas.
Pemerintah Iran juga
terancam akan diberi sanksi lagi setelah percobaan senjata misil beberapa
waktu lalu. Pengaruh Iran di dalam konflik Suriah dan Yaman juga masih kuat
sehingga tekanan dari Koalisi Arab dan negara-negara Barat juga tidak
mengendur. Terlebih Israel sebagai aliansi Barat paling kuat di Timur Tengah
masih merasa Iran sebagai ancaman.
Di sisi lain, melalui
pandangan yang optimistis, dicabutnya sanksi dan kepastian tidak ada
kemungkinan Iran untuk membuat senjata nuklir dapat mengurangi ketegangan
yang terjadi di wilayah Timur Tengah. Selama ini kawasan tersebut sulit untuk
didamaikan karena tiap negara merasa terancam dengan kekuatan militer dan
senjata yang dimiliki masing-masing.
Berkurangnya ancaman
dari senjata nuklir minimal dapat menjadi jalan untuk perundingan
masalah-masalah lain yang belum bisa dituntaskan. Kita saat ini sulit untuk
memastikan ke arah mana perdamaian di Timur Tengah ke depan setelah
perundingan nuklir dengan Iran tercapai hanya mengandalkan garis ideologis
tiap negara yang terlibat.
Saya hanya dapat
mengatakan bahwa dengan semakin terbukanya ekonomi Iran terhadap pasar dunia
akibat perjanjian ini, semakin banyak negara yang akan berhubungan dengan
Pemerintah Iran. Hubungan kerja sama ini akan menuntut pemerintahan Iran
mengikuti aturan main dalam pergaulan dunia baik di tataran ekonomi maupun
politik apabila mereka menginginkan kepercayaan untuk investasi atau kerja
sama yang dapat bertahan dalam jangka waktu yang panjang.
Bagi kita, ini adalah
kesempatan yang besar. Di dalam negeri, Pemerintah Iran menyadari bahwa
isolasi ekonomi selama kurang lebih 20 tahun telah membuat ekonomi dan sumber
daya mereka tidak kompetitif bila dibandingkan dengan negara- negara lain
khususnya di Timur Tengah.
Berbagai proyek
infrastruktur mulai dari konstruksi hingga telekomunikasi yang bernilai
jutaan dolar telah direncanakan oleh Pemerintah Iran untuk mengatasi
ketertinggalan ekonomi mereka. Saat ini baru perusahaan Boeing (AS) dan
Airbus (Eropa) yang ”kecipratan” keuntungan dari tercapainya perundingan nuklir
di Iran karena telah mendapat pesanan ratusan pesawat dari Menteri
Transportasi Iran untuk menggantikan pesawat mereka yang sudah uzur.
Iran selepas
diangkatnya embargo adalah peluang juga bagi Indonesia. Indonesia perlu
dengan aktif mengeksplorasi bentuk kegiatan dan kerja sama dengan Pemerintah
Iran, termasuk dengan mencari peluang kerja sama yang dapat dilakukan BUMN
dan perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar