Reposisi Golkar yang ”Terlambat”
Ari Junaedi ; Doktor
Ilmu Komunikasi Politik; Pengajar di Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 28
Januari 2016
Puncak penutupan Rapat
Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar di Jakarta, Senin, 25 Januari,
seperti menjadi puncak klimaks dari episode panjang pergulatan yang terjadi
di tubuh partai berlambang pohon beringin itu.
Betapa tidak, Golkar
yang pernah menjadi partai ”penguasa” sepanjang pemerintahan Soeharto nyaris
menjadi partai guram jika elite-elite yang bertikai tidak didamaikan oleh
sesepuh Partai Golkar seperti BJ Habibie dan Jusuf Kalla. Ketegangan
elite-elite Golkar di pusat juga berimbas ke pengurus Golkar di
daerah-daerah, bahkan ikut memengaruhi hajatan pilkada serentak.
Sikap pernyataan
Partai Golkar yang mendukung pemerintahan Jokowi-JK juga menjadi keputusan
rapimnas yang ditunggu- tunggu mengingat setelah kekalahan Prabowo Subianto-
Hatta Rajasa di Pemilihan Presiden 2014 lalu, Golkar di bawah kendali
Aburizal Bakrie (ARB) bersikukuh menjadi oposisi. ARB-lah yang membawa biduk
Golkar terus ”menempel” Prabowo dengan Gerindra-nya bersama Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kubu Djan Faridz,
sementara Partai Amanat Nasional (PAN) sudah melabuhkan haluannya dengan
menyokong Jokowi-JK.
Bisa jadi, ARB sadar
dengan realitas politik setelah Kementerian Hukum dan HAM tidak mengakui
secara de jure baik Golkar Munas Ancol ataupun Golkar Munas Bali. Meminjam
istilah buku politik klasik Politics Among Nations karya Hans J Mogenthau
(1948), upaya ARB untuk merapatkan Golkar ke barisan pendukung rezim
Jokowi-JK tidak ubahnya seperti struggle for power and peace. Jika tetap
ngotot dan bersikukuh mempertahankan egonya, ARB akan rugi dua kali.
Rugi akan hilangnya
kendali politik di Golkar dan rugi akan hilangnya kesempatan di bisnis. ARB
merasakan betul, sikap politiknya yang berseberangan dengan rezim yang
berkuasa justru akan mengurangi pundi-pundi ekonominya. Padahal sudah jamak
dalam kamus Partai Golkar, siapa pun yang berkuasa, Golkar akan menjadi
penopang setia kekuasaan. Harus diakui, dengan merapatnya Golkar ke
Jokowi-JK, kekuatan di Koalisi Merah Putih (KMP) hanya tinggal Gerindra dan
PKS.
Jika pada akhirnya PKS
juga ”mbalelo”, Gerindra hanya akan bersolo karier sebagai kekuatan
penyeimbang terhadap Jokowi-JK. Itu pun dengan catatan nasib PPP akan
mengikuti Golkar dengan pelaksanaan rapimnas bersama untuk menyatukan kedua
kubu di PPP.
Terlambat
Pindahnya haluan
politik Golkar dari KMP ke kelompok pendukung pemerintahan Jokowi-JK bisa
dimaknai sebagai daya tawar Golkar terhadap rezim yang berkuasa untuk
”berbagi” kekuasaan. Publik tentu masih ingat dengan kasus ”Papa Minta Saham”
yang hampir saja membuka borok elite-elite Golkar dan hingga kini
penyelesaian kasus yang melengserkan Setya Novanto dari kursi ketua DPR di
Kejaksaan Agung itu terkesan lamban. Publik tentu berharap dengan melunaknya
sikap Golkar terhadap pemerintah, tidak otomatis kasus Setya Novanto berakhir
damai.
Jika PAN yang sudah
”cabut” duluan dari KMP mulai mendapat porsi kekuasaan seperti Sutrisno
Bachir yang sekarang didapuk menjadi ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN),
Golkar tentu berharap dengan reposisi terbarunya. Golkar tentu ingin
mendapatkan pos menteri di reshuffle jilid II yang beberapa waktu lalu mulai
diembuskan beragam kalangan. Di tengah desakan PDIP yang gigih mendukung
penggantian Menteri BUMN Rini Soemarno, sentimen negatif publik terhadap
kinerja Kejaksaan Agung dan Kepala Badan Intelijen Negara, tentu Golkar
sangat berkepentingan dengan pos-pos ”strategis” tersebut.
Dalam kalkulasi
politik dan ekonomi ARB, tentu perjuangan terakhir harus terus diupayakan
sebelum dia lengser dari tampuk kursi ketua umum. Harapan Golkar tentu juga
tidak simetris dengan ekspektasi partai-partai pendukung Jokowi-JK sejak
awal. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang berintikan PDIP, PKB, NasDem,
Hanura, dan PKPI tentu ”tidak rela” jika kursi-kursi kekuasaan diberikan
kepada penumpang yang ”terlambat” ikut.
Ibarat kendaraan bus
sudah melaju kencang, Golkar adalah penumpang kesiangan yang ketinggalan
tiket pula. Jika PAN diibaratkan penumpang yang terlambat, PAN cerdik
menunggu di halte yang akan dilewati bus kekuasaan. Sebaliknya, Golkar adalah
penumpang yang telat datang, ketinggalan tiket, serta tidak mau menunggu di
halte pemberhentian pula. Reposisi sikap Partai Golkar terhadap rezim
Jokowi-JK bisa dimaknai sebagai ”pertobatan” politik elite-elite Golkar
terhadap kesalahan haluan politik.
Publik tentu ingat
ketika ARB di masa kampanye sempat menggadang- gadang Jokowi sebagai
partnernya di Pasar Gembrong, Jakarta Timur. Meski begitu Jokowi tidak
sepakat dengan tawaran ARB yang ingin menjadi calon RI-2, maka Golkar begitu
kecewa dan akhirnya mendukung mati-matian Prabowo-Hatta. Insting dan feeling politik ARB masih kalah dari
politisi muda Golkar seperti Nusron Wahid dan Indra J Piliang yang sedari
awal memilih berdiri di barisan Jokowi.
Sekali lagi, kalkulasi
politik dan ekonomi ARB pasti bermain: ikut KMP tidak dapat apa-apa ataukah
mendukung Jokowi-JK sembari berbelas harapan? Dengan berpindahnya haluan
Golkar dari kelompok oposisi menjadi kubu pendukung pemerintahan, sejatinya
kontrol kekuasaan menjadi tidak berimbang lagi. Dengan Demokrat yang
memainkan politik cari aman dengan memilih sebagai penyeimbang, Gerindra dan
PKS tidak memiliki kekuatan sepadan lagi di parlemen menghadapi kelompok KIH.
Namun harus pula
dipahami, kekuatan di parlemen sangat cair, ketika kepentingan yang
diperjuangkan menyangkut hajat partai dan elite, kalkulasi politik menjadi
usang. Tidak ada makan siang yang gratis, demikian juga dalam politik. Dengan
masuknya Golkar dalam barisan pemerintahan, mau tidak mau atau suka atau
tidak suka Jokowi-JK harus memberikan akomodasi politik bagi Golkar.
Jokowi-JK tentunya
harus terus diingatkan untuk tetap fokus melaksanakan janji-janji
kampanyenya. Hiruk-pikuk politik yang terjadi di PPP dan Golkar sepertinya
mulai ”dibereskan” pembantu-pembantu Jokowi. Kini yang tertinggal adalah
bagaimana Jokowi-JK menyeimbangkan pendulum kendali kekuasaannya di koalisi
yang sangat longgar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar