Rusuh Mempawah dan Antipati Terorisme
Yulius Dwi Cahyono ; Dosen Pendidikan Sejarah
Universitas Sanata Dharma
Jogjakarta
|
JAWA
POS, 22 Januari 2016
BELUM genap satu minggu teror Jakarta (14/1), tragedi lain kembali
muncul dalam motif dan bentuk yang berbeda. Segerombolan massa dalam jumlah
yang banyak melakukan pembakaran permukiman dan pengusiran paksa terhadap
sekitar 700 warga eks pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Mempawah,
Kalimantan Barat (19/1).
Hadirnya
permukiman baru yang dihuni warga eks Gafatar asal Jawa Timur, Jawa Tengah,
dan Jogjakarta itu dinilai dapat menjadi virus dan mengancam keamanan
Mempawah. Mereka menginginkan eks Gafatar hengkang dari sana.
Peristiwa
tersebut, jika kita cermati, tidak dapat dipisahkan dari aksi teror bom di
Thamrin, Jakarta. Aksi teroris yang lebih nekat dan terbuka itu secara
psikologis memberikan dampak tidak langsung terhadap warga. Warga menjadi
semakin sensitif, geram, dan antipati terhadap setiap gerakan yang dinilai
berpotensi melakukan aksiaksi teror. Aksi main hakim sendiri seperti di
Mempawah pun menjadi tidak terelakkan.
Gafatar
sejatinya telah berdiri sejak 2011. Secara resmi organisasi itu
dideklarasikan pada 21 Januari 2012 dengan Ketua Umum Mahful M. Tumanurung.
Gafatar mengklaim sebagai organisasi kemasyarakatan yang berasas Pancasila.
Menurut
pengamat teroris Al Chaidar, organisasi itu merupakan metamorfosis dari
Millah Abraham pimpinan Ahmad Musadeq. Lantas berkembang menjadi Negara Islam
Indonesia (NII) hingga kemudian terbentuk Gafatar.
Itu senada
dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang pada intinya
mengatakan bahwa organisasi tersebut memiliki pertalian dengan NII. Nama
organisasi itu mencuat ketika dokter Rica Tri Handayani –yang diduga pernah
mengikuti organisasi tersebut– dikabarkan menghilang sejak 30 Desember 2015
dan ditemukan di Mempawah (11/1).
Dari
peristiwa Mempawah dan bom Thamrin dapat ditangkap kesan bahwa betapa
mudahnya warga kita terprovokasi melakukan tindak kekerasan (main hakim
sendiri). Dan begitu mudahnya pula warga kita terpikat serta mengikuti
berbagai organisasi semacam Gafatar.
Mengapa
demikian?
Pertama,
pemerintah kurang memiliki ketegasan bertindak dalam mengontrol dan menindak
tegas organisasi-organisasi yang tidak selaras dengan empat pilar kehidupan
berbangsa, yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945, dan NKRI. Dilihat
dari sejarah perkembangan radikalisme di Indonesia, masa Orde Lama dan Orde
Baru (terlepas dari praktik manipulasi di era Orde Baru ini) jauh lebih tegas
dalam meredam gerakan radikal daripada era reformasi ini.
Terbukti, ketika Orde Baru tumbang, beberapa kelompok radikal mulai
bermunculan dengan memanfaatkan kebebasan di era reformasi. Salah satu
permasalahan utama di era reformasi memang kebebasan yang tidak terkontrol.
Dalam prinsip hidup berdemokrasi, kebebasan yang tidak diatur dengan baik
dapat berbenturan dengan kebebasan yang lain.
Dari kasus
Gafatar, pemerintah tergolong terlambat bertindak mengingat organisasi itu
telah lima tahun berjalan. Kurangnya pengawasan dan ketegasan pemerintah
memunculkan rasa tidak puas, tidak aman, dan surutnya kepercayaan masyarakat.
Antipati
terhadap terorisme tumbuh dalam bentuk yang negatif. Sebagai dampaknya, 700
warga eks Gafatar yang mungkin tidak lagi hidup sesuai dengan prinsip-prinsip
organisasi tersebut menjadi korban. Hak mereka sebagai warga negera juga
terampas.
Upaya
rehabilitasi sebaiknya perlu dilakukan untuk warga eks pengikut
organisasi-organisasi radikal. Itu bertujuan untuk menghindari labelisasi sebagai
kelompok teror dan demi menumbuhkan kepercayaan serta rasa aman warga non-eks
organisasi radikal. Rehabilitasi tersebut juga penting untuk mengarahkan
mereka berdasar empat pilar kehidupan berbangsa di atas.
Kedua, terjadi degradasi moral bangsa. Dalam era reformasi ini sungguh
masyarakat kita disuguhi banyak praktik tidak terpuji. Mulai praktik korupsi,
pelanggaran hukum, hingga tindakan amoral lainnya. Menjadi contoh antara lain
kasus Setya Novanto dan Damayanti Wisnu. Akibat degradasi moral yang tidak
ketulungan itu, sampai beredar istilah ”Negeri Para Mafia” untuk negeri ini.
Sungguh ironis, bukan?
Terkait
dengan kasus radikalisme di Indonesia, pada dasarnya radikalisme adalah
aliran yang menuntut perubahan sosial dan politik dalam suatu negara secara
keras. Sehingga secara tidak sadar kemerosotan moral para wakil rakyat dan
krisis multidimensi turut memicu/menyumbang berkembang dan lahirnya gerakan
radikalisme.
Juga semakin
banyak pribadi yang tertarik untuk bergabung dengan gerakan semacam itu dengan
alasan ingin merombak keterpurukan tersebut. Realitas keterpurukan moralitas
para wakil rakyat dan adanya ketidakadilan menjadi rumus yang ampuh untuk
merekrut anggota baru dalam gerakan mereka.
Ketiga, masyarakat secara umum belum terbiasa berpikir kritis terkait gerakan radikalisme saat ini. Prof Syafii Maarif, salah seorang ulama besar Indonesia, pernah menyatakan bahwa khalifah saat ini bukan merupakan produk syariat Islam. Melainkan produk politik pasca-Nabi.
Menurut
beliau, kekhalifahan modern tidak memiliki tempat berpijak di dalam Alquran
dan Assunnah. Sederhananya, pemaksaan syariat dalam khalifah modern yang
sering diusung kelompok radikal merupakan bentuk politisasi agama.
Sebagaimana
yang diungkapkan Presiden Pertama RI Soekarno, bangsa yang kuat adalah bangsa
yang masyarakatnya berkarakter. Karena itu, perbaikan kualitas mental bangsa
menjadi bangsa yang kritis dan terbuka sesuai dengan empat pilar kehidupan
berbangsa adalah jalan terbaik untuk meredam gerakan radikal. Juga mencegah
kekerdilan dalam berpikir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar