Pesantren
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatull KORAN
SINDO, 22 Januari 2016
|
Sejak awal mula,
pesantren merupakan pusat pendidikan keagamaan di daerah perdesaan yang
dipimpin seorang kiai. Dari segi bahasa, kata pesantren dan kiai yang berasal
dari bahasa Sansekerta sudah menunjukkan produk akulturasi budaya Islam dan
Hindu. Santri artinya pelajar, tempatnya disebut pesantren. Lembaga
pendidikan pesantren memiliki keunikan tersendiri yang masih bertahan sampai
hari ini. Di situ ada figure sentral
yang disebut kiai, bagaikan sumber mata air keilmuan yang menarik para santri
berdatangan dan tinggal di asrama berdekatan dengan rumah kiai.
Di zaman penjajahan,
pesantren merupakan basis perlawanan terhadap penguasa, baik karena alasan
agama maupun membela Tanah Air. Penjajah Belanda waktu itu diidentikkan
dengan orang kafir (Kristen) dan pesantren di mata penjajah diposisikan
sebagai basis perlawanan umat Islam terhadap penguasa. Oleh orang kota,
komunitas pesantren sering kali dipersepsikan sebagai orang kampungan karena
memang lahir dan besar di kampung, bahkan belajarnya juga di kampung. Oleh
orang kota, mereka dianggap tidak terpelajar—padahal kata santri itu sendiri
berarti pelajar— hanya karena orang pesantren waktu itu umumnya buta huruf
dan buta bahasa Eropa.
Di pesantren yang dipelajari hanyalah kitab-kitab klasik
berhuruf Arab yang kertasnya sudah menguning sehingga popular dengan sebutan kitab
kuning, yaitu kitab keagamaan yang dikarang oleh ulama klasik. Mayoritas
pesantren dimiliki kiai yang berafiliasi kepada NU.
Adapun Muhammadiyah lebih fokus membangun lembaga
pendidikan model sekolah yang kebanyakan didirikan di perkotaan sehingga
warga Muhammadiyah sering dipersepsikan sebagai orang-orang modernis dan
warga NU sebagai orang-orang tradisionalis. Lembaga pendidikan Muhammadiyah
dimiliki oleh perserikatan, sedangkan lembaga pesantren umumnya dimiliki oleh
pribadi kiainya.
Seiring dengan
perkembangan zaman, dunia pesantren banyak mengalami perubahan. Pembedaan
dikotomis pemahaman keagamaan antara warga Muhammadiyah dan NU juga mengarah
pada konvergensi. Dunia pesantren mulai mengadopsi sistem sekolah, sementara
beberapa sekolah Muhammadiyah mengadopsi sistem pesantren meskipun jumlahnya
lebih banyak pesantren yang mulai memberlakukan sistem sekolah di pagi
harinya.
Karena ciri pesantren
ditandai dengan adanya sosok kiai, kualitas dan popularitas kiai sangat
menentukan terhadap kualitas dan popularitas pesantrennya. Kurikulum
pendidikan pesantren berlangsung selama 24 jam di bawah pengawasan dan bimbingan
kiai dan para pembantunya yang disebut ustaz atau guru.
Model pendidikan
seperti itulah yang saya masuki setelah tamat SR (sekolah rakyat), yaitu
Pondok Pesantren Pabelan, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi pesantren itu hanya
10 menit bila ditempuh dengan berjalan kaki dari rumah saya. Sebelum masuk
pesantren, ayah saya menyuruh belajar pertukangan kayu di STK (Sekolah Teknik
Kanisius) Muntilan. Namun tidak sampai setahun saya keluar karena merasa
kurang tertarik, di samping mesti jalan kaki ke kota.
Ketika almarhum Kiai
Hamam Ja’far membuka Pesantren Pabelan pada 1965, saya bersama 28 santriwan-santriwati
berbaur di kelas yang sama, merupakan santri angkatan pertama. Pusat belajar
kami di serambi masjid, dilengkapi meja dan bangku layaknya sebuah ruang
kelas. Meski begitu kami belajar sangat serius. Para guru atau ustaz masuk
kelas dengan mengenakan dasi. Kami belajar sangat disiplin. Malam hari pun
kadang ada kelas. Setidaknya ada jam wajib belajar. Hidup di pesantren dari
bangun tidur sampai mau tidur diatur dengan jadwal.
Beberapa nilai
pesantren yang merupakan living values
serta selalu dijaga dan ditaati adalah, pertama, persaudaraan. Bayangkan
saja, setiap hari 24 jam berkumpul, belajar, dan hidup bareng selama beberapa
tahun, maka terbentuk suasana persaudaraan yang akrab. Di pesantren pantang
terjadi perkelahian. Risikonya dikeluarkan.
Kedua, kesederhanaan.
Di pesantren tumbuh suasana hidup sederhana. Santri dikondisikan untuk merasa
malu kalau bermewah diri melebihi saudaranya yang lain dengan membanggakan
kekayaan orang tuanya.
Ketiga, cinta ilmu.
Belajar di pesantren tidak ditanamkan untuk mengejar ijazah. Kalaupun ada
ujian, itu bagian dari belajar, bukan belajar untuk lulus ujian. Oleh
karenanya di pesantren mencontek itu aib besar.
Keempat, berwawasan
luas. Kami diajari untuk menatap kehidupan lebih luas karena panggung
kehidupan yang telah menanti tidak sebatas ruang kelas.
Dunia itu luas, isinya
sangat beragam. Jangan mudah kagetan (terkejut), jangan mudah gumunan (silau dan
kagum), jangan mudah membenci.
Kelima, mandiri. Di
pesantren kami selalu diingatkan agar bisa dan berani hidup di atas kaki
sendiri. Jangan bermental lembek, selalu ingin mencari sandaran dan belas kasih
orang. Pekerjaan apa pun mulia di mata Allah asal halal dan tidak merepotkan
orang lain.
Keenam, ikhlas.
Jalanilah hidup dengan ikhlas, jangan ciut hati ketika dicela dan dikritik,
jangan pula lupa diri ketika dipuji. Setialah pada hati nurani karena hati
nurani penghubung terdekat kepada Allah.
Demikianlah, angkatan
pertama santri Pondok Pabelan hanya bertahan empat tahun yang semuanya memang
berasal dari Desa Pabelan. Satu-satu selepas itu keluar. Ada yang bekerja
sebagai kusir andong, ada yang bertani, berjualan martabak di kota, menjadi
sopir truk, kondektur bus, membantu administrasi pesantren, jadi ibu rumah
tangga, dan lain-lain. Saya sendiri lalu pindah meneruskan ke Madrasah Aliyah
Al-Iman, Muntilan. Saya hanya setahun di sekolah yang baru ini semata untuk
mendapatkan ijazah setingkat SLTA. Tanpa ijazah SLTA saya tak mungkin
diterima sebagai mahasiswa.
Terima kasih
pesantren, kau laksana ibu kandungku yang telah mendidik dan membesarkan
diriku. Saya sedih dan prihatin ketika ada beberapa teroris yang membawa-bawa
nama pesantren, padahal setahu saya para kiai itu sangat menekankan
kedamaian, kerukunan, dan keramahan sekalipun terhadap mereka yang bukan
muslim. Justru karena sikap kiai yang seperti itu, dulu Islam sangat mudah
diterima masyarakat perdesaan di Pulau Jawa yang semula beragama Hindu-Buddha
atau penganut kepercayaan lokal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar