Senja
Kala Koran dan Jurnalisme Kita
Ignatius Haryanto ; Peneliti Senior LSPP; Anggota Ombudsman
Kompas sejak 2008
|
KOMPAS,
07 Januari 2016
Wartawan senior Kompas, Bre Redana, menulis dalam kolomnya di
Kompas Minggu berjudul "Inikah Senjakala Kami". Tulisan tersebut
dibuat merespons suatu presentasi dalam forum Ombudsman Kompas edisi akhir
tahun, 16 Desember 2015, yang penulis buat dengan judul "Senja Kala
Surat Kabar di Indonesia".
Presentasi yang penulis sampaikan ingin menampilkan banyak data,
terutama kondisi industri media di Indonesia dewasa ini, sembari melihat
fenomena gugurnya sejumlah media cetak belakangan ini, seperti harian Sinar
Harapan, menyusul tutupnya harian Bola, Jakarta Globe, belasan majalah dari
Grup Gramedia, dan sejumlah media cetak lain. Lewat aneka data yang penulis
coba ramu dari berbagai sumber, pertanyaan utamanya adalah: betulkah media
cetak akan mati dalam waktu dekat? Lalu, apa yang kemudian terjadi: apakah
betul media online akan menggantikan posisi media cetak yang sudah ada selama
in?
Mengapa mundur
Berdasarkan referensi buku dan berita yang melihat perkembangan
media di Amerika Serikat dan beberapa belahan dunia lain, ada sejumlah faktor
yang mengakibatkan tutupnya media cetak itu: (1) perkembangan teknologi
digital, (2) pertumbuhan ekonomi yang melambat, (3) kebiasaan pembaca
mengonsumsi informasi bergeser dari media cetak ke media online, (4) generasi
muda yang diharapkan menjadi pembaca belum terbentuk menjadi pembaca masa
depan.
Presentasi penulis kemudian memaparkan kondisi dunia periklanan
terkait industri media saat ini. Berdasarkan data Media Scene 2014/2015 yang
penulis kutip, total belanja iklan untuk 2015 (dalam buku masih disebut
sebagai "prediksi") diperkirakan hampir mencapai Rp 124 triliun dan
Rp 84 triliun adalah perolehan iklan oleh televisi, sekitar Rp 37 triliun
masih diambil oleh media cetak (koran dan majalah), radio "hanya"
Rp 865 miliar, dan iklan di luar ruang mencapai Rp 1,6 triliun.
Media
"online" sebagai pengganti koran
Sayang data Media Scene belum mencatat perolehan untuk media
online yang sering disebut makin berkembang saat ini. Penulis mencari data
dari tempat lain, Marketing.co.id. Data yang didapat, misalnya 2012,
perolehan iklan untuk media online Rp 600 miliar-Rp 750 miliar. Media online
dimaksud adalah media online berbasis jurnalistik. Jadi, jika ditarik
perkiraan dari angka empat tahun lalu, perolehan iklan media online saat ini
belumlah bisa menandingi media cetak walaupun banyak pihak mengklaim
pertumbuhan iklannya naik sangat pesat.
Di sinilah letak jurang
besarnya: di satu sisi sejumlah media cetak tutup dan itu artinya peluang
iklan bisa diambil, tetapi di sisi lain media online belum bisa menggapai
ruang kosong tadi karena perolehan iklan media online setara atau masih kalah
dengan radio. Betul bahwa kebiasaan masyarakat perkotaan mengonsumsi berita
bergeser ke media online, tetapi media online sendiri baru sedikit yang bisa
dikategorikan sehat beroperasi sebagai perusahaan.
Penulis mencoba melihat tren global dan data Marketing.co.id
menunjukkan bahwa di dunia iklan media online telah meraup porsi 17 persen
dari total belanja iklan dunia. Itu angka 2012 saat total belanja iklan
mencapai 495 miliar dollar AS dan media cetak (koran dan majalah) secara
total meraup 27 persen total belanja iklan. Kalau dikembalikan pada kondisi
di Indonesia, iklan media online (dengan angka 2012 itu) baru mencapai 1
persen atau maksimal 2 persen dari total belanja iklan di Indonesia.
Pertanyaannya: mengapa terjadi demikian? Sumber lain yang
penulis dapatkan (Marketing.co.id) menuliskan beberapa alasannya: (1) para
pengiklan masih minim pengetahuan soal dunia media digital, (2) minimnya
kisah sukses merek atau perusahaan akibat iklan yang ditaruh di media online,
(3) tampilan iklan dalam media online masih monoton dalam bentuk banner atau
display, (4) perilaku pengguna internet di Indonesia masih dominan
menggunakan internet untuk akses media sosial yang "tak produktif",
juga layar gawai yang kecil dan membuat iklan tampil tidak maksimal.
Memang tak ada faktor tunggal penyebab kemunduran surat kabar
dan tak ada faktor tunggal yang menjelaskan bagaimana posisi ini pun belum
lagi tergantikan oleh industri media online yang ada (dalam konteks di
Indonesia). Sebagai gambaran sederhana, sebuah perusahaan media yang
melakukan pendekatan multiplatform menghitung bahwa total pendapatan media
online-nya setahun senilai dengan angka iklan media cetak dalam waktu dua
minggu saja. Jadi, memang jurang yang lebar masih harus dikejar industri
media online jika ingin betul-betul menggantikan posisi media cetak.
Fajar (baru)
jurnalisme
Bagaimana dengan konten media online? Ketika tulisan Bre muncul
di akhir tahun, dalam waktu cepat banyak muncul komentar di mana-mana terkait
tulisan itu. Antara lain muncul pertanyaan, sebenarnya Bre itu sedang berbicara
kepada siapa? Khalayak industri media di Indonesia secara umum atau dia
sebenarnya sedang berbicara secara internal. Yang menarik, senja kala surat
kabar ini oleh banyak penanggap dianggap hal yang niscaya dan banyak yang
percaya bahwa media online bisa menggantikannya. Bre sendiri dalam tulisannya
menyebut sejumlah contoh, banyak wartawan media online tak profesional, tak
mendalam, tidak memberikan konteks suatu peristiwa, dan hanya dikejar dengan
kecepatan menyampaikan berita. Beberapa pihak pun menyetujui ini.
Namun, itu baru setengah fakta yang disampaikan Bre. Bre, entah
sengaja atau tidak, tak mau membahas banyak perkembangan atau inovasi baru
dalam jurnalistik yang juga memukau dan memberi harapan. Wartawan Tempo yang
tahun lalu ikut program Nieman Fellowship di Universitas Harvard, Wahyu
Dhyatmika, menulis dalam Indonesiana, banyak hal baru dalam dunia jurnalistik
online/digital yang tak dapat dimungkiri, ini memberi suasana segar pada
jurnalisme.
Pada Juni 2009, penulis berkesempatan mengikuti seminar berjudul
"Beyond Broadcasting 2009", yang diselenggarakan Annenberg School of Communication,
Universitas South California. Satu ungkapan penting yang muncul dalam seminar
itu adalah: "We don't need
newspaper, we need journalism". Ungkapan ini merujuk pada ajakan
untuk kembali pada ajaran dasar jurnalisme, di mana informasi disiarkan oleh
para pengelola media untuk membuatnya bermakna bagi para konsumennya. Surat
kabar, radio, televisi, atau media siber sekalipun, hanyalah mediumnya. Medium
bisa berubah-ubah, tetapi jurnalisme yang mendasarinya tak perlu berubah.
Justru ia harus jadi lebih kuat.
Saya pun teringat buku yang ditulis Dave Kindred, Morning Miracles: Inside The Washington
Post: A Great Newspaper Fights for Its Life (Doubleday, 2010). Salah satu nama besar dalam jurnalisme di
Amerika, The Washington Post, pun
merasa ajalnya akan segera tiba, tetapi salah seorang wartawan veteran The
Post, Gene Weingarten, yang jadi narasumber Kindred menyebut situasi
demikian: "Buku yang kamu tulis
ini adalah kisah tentang sebuah surat kabar besar yang menuju kematiannya...,
tetapi ia mati secara terhormat."
Ada buku lain yang judulnya saja membuat miris, Will The Last Reporter Turn Off The Light
Please: The Collapse of Journalism and What Can Be Done to Fix it? (Robert W Mc Chesney & Viktor Pikard
eds, New Press, 2011). Namun, isi buku ini tak semenakutkan judulnya
karena di dalamnya ada tulisan menarik berjudul The Reconstruction of American Journalism yang ditulis Leonard
Downie Jr (wakil presiden dan mantan direktur eksekutif Washington Post) dan
Michael Schudson (Profesor Jurnalistik Universitas Columbia).
Inti tulisan Downie Jr dan Schudson adalah bagaimana orang-orang
yang bergerak dalam industri media memahami perkembangan, pergeseran situasi
yang ada. Sikap utamanya: bagaimana memelihara liputan yang independen,
original dan kredibel dalam masyarakat. Untuk mempertahankan liputan
independen-original dan kredibel tersebut: reportase tak hanya dilakukan
wartawan, tetapi juga para blogger,
wartawan freelancer, mahasiswa
jurnalistik, dan masyarakat umum. Blogger, citizen journalist tak perlu dianggap musuh, tetapi sebagai rekan
berkolaborasi.
Internet, oleh Downie Jr dan Schudson dikatakan membuka beberapa
kemungkinan baru, termasuk dalam hal penyediaan data yang bisa dipergunakan
untuk kepentingan jurnalistik. Oleh kedua penulis disebutkan contoh dari Los
Angeles Times yang pada 2009 memenangi hadiah Pulitzer untuk kategori explanatory reporting yang menggunakan
bahan dari internet. Laporan tersebut membahas tentang intensitas kebakaran
yang terjadi di wilayah California dan wartawan yang menuliskannya
menggambarkan mengapa hal ini terjadi.
Kedua penulis ini juga menunjukkan kecenderungan bahwa di
Amerika berbagai media lokal tetap bertahan karena mereka terfokus pada
hal-hal di sekitar mereka dan kondisi ini rupanya tak tergantikan. Masih ada
sejumlah inovasi lain dalam dunia jurnalistik yang ditunjukkan Downie Jr dan
Schudson, yang membuat kita harus terbuka pada inovasi baru dalam dunia
jurnalistik. Dengan demikian, kalimat "Kita tak butuh koran, tetapi kita
butuh jurnalisme" menjadi sangat relevan.
Dihadapi,
bukan dihindari
Pemikir strategi kebudayaan, Van Peursen (1985), menyebutkan
tiga cara pandang sebagai proses kita melihat perkembangan baru: cara pandang
mitis, cara pandang ontologis, dan cara pandangan fungsional. Cara pandang
mitis menempatkan obyek baru sebagai suatu yang tak bisa dikenali, penuh prejudice. Jika kita ingin bergerak maju,
kita harus mengenali obyek baru itu dan mempelajari sedalam-dalamnya fenomena
itu. Itulah cara pikir ontologis. Setelah kita mengenal fenomena baru itu,
kita lalu bisa mempertimbangkan apa yang akan kita perbuat dan tidak
menjadikannya suatu mitis. Itulah cara pikir yang fungsional, dalam strategi
kebudayaan.
Dalam alam atau lanskap media yang sedang berubah ini, kita
harus mengenali situasi baru ini serta melihat apa dan bagaimana kondisi baru
ini. Setelah itu, apa peluang yang bisa kita manfaatkan dari kondisi baru
ini. Jurnalisme, inovasi, adalah dua kata yang dalam sejarah selalu
bergandengan, dari sejak ditemukan mesin cetak, penggunaan huruf besi untuk
mencetak, ilustrasi surat kabar yang dibuat dari gambar pensil atau tinta,
ditemukannya foto, teknologi cetak
offset, sistem cetak jarak jauh, penemuan surat elektronik, media online,
penggabungan foto, video, teks, dan seterusnya.
Jurnalisme masih akan menghasilkan inovasi-inovasi lain dan,
untuk itu, kita harus terus mempelajari perkembangan baru ini karena
jurnalisme sudah seperti udara sehat yang harus kita hirup dan makanan sehat
untuk pertumbuhan jasmani. Jurnalisme, jika
didefinisikan sebagai kegiatan membuat laporan bagi masyarakat yang dapat
dipercaya untuk mengenali lingkungan sekitarnya, adalah hal baik yang harus
terus dilakukan lewat medium apa pun, sampai kapan pun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar