Dewan
dan Kegelapan
Mochtar Pabottingi ; Profesor Riset LIPI 2000-2010
|
KOMPAS,
07 Januari 2016
Pada dua minggu pertama Desember 2015 energi bangsa kita
terkuras mengikuti sidang-sidang Mahkamah Kehormatan Dewan yang berakhir
sangat mengecewakan. Ini adalah kejadian yang tak bisa dibiarkan begitu saja.
Persidangan atas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya
Novanto (SN) yang di penghujungnya dinyatakan oleh semua anggota telah
melanggar etika tak diteruskan menjadi suatu keputusan. Padahal Mahkamah
Kehormatan Dewan (MKD) menyidangkan kasus ini karena semula SN menolak mundur
selaku Ketua DPR. Dia baru minta mundur setelah kepepet di pengujung sidang.
DPR seperti tak menyadari bahwa pada hakikatnya di dalam
rangkaian persidangan MKD itu ia turut diadili. Yang diadili di situ bukan
hanya integritas SN, melainkan juga integritas DPR selaku lembaga tinggi
negara. Maka, dengan komplisitas mati-matian DPR dalam membela
SN, sulit bagi kita untuk tak menyimpulkan bahwa ia pun telah melakukan
pelanggaran etik. Ia memilih tetap mengusung SN, bukan menjunjung
patokan-patokan bajik dalam bernegara: sungguh pertanda kegelapan.
Lantaran hendak melarikan diri secara culas, MKD ngotot
menangani masalah etika, yang merupakan yurisdiksinya, sebagai masalah pidana
yang berada di luarnya. Ia juga hendak memaksakan kasus SN sebagai masalah
politik praktis, masalah kalah-menang antara koalisi politik, padahal ini
adalah masalah yang jauh di atas urusan kalah-menang. Ini menyangkut apakah
kita masih berpatokan pada etika sebagai fondasi-penjamin (guarantor)-bagi tegaknya bangunan
politik. Bagi kepastian bahwa kita semua masih menjunjung harkat dan martabat
sebagai warga negara-bangsa.
Pencampakan
prinsip etika
Etika adalah awal dan ujung tiap bangunan politik. Rousseau
sudah menegaskan tentang keniscayaan negara membuat right (kebenaran) mengatasi might (kuasa kekuatan) dan duty (kewajiban) mengatasi obedience (ketundukan). Dan, John
Rawls (2005) menegaskan bahwa bangunan politik hanya mungkin jika ia tegak di
atas prinsip moral yang menjunjung tinggi kebajikan dan keadilan. Di sini
Rousseau dan Rawls sama-sama menggemakan kembali ajaran Aristoteles tentang
niscayanya penegakan kebajikan dan keadilan dalam kolektivitas manusia.
Aristoteles juga menegaskan bahwa politik dan hukum tak terpisahkan
semata-mata karena kedua-duanya berlandaskan pada etika-pada pemuliaan
prinsip kebajikan dan keadilan itu. Itulah pangkal kebahagiaan sejati bagi
individu dan masyarakat di tiap bangunan politik.
DPR telah membuta pada kenyataan bahwa puncak politik praktis
terletak pada pengakuan praktis akan landasan etika. Di luar landasan itu,
politik tak akan pernah praktis dan hanya akan menjadi medan serba chaos dan anarki atau ajang
pertarungan nista-celaka yang tiada habisnya. Tak hanya di Barat insan
politik mengenal kondisi homo homini
lupus. Juga di tanah Bugis dalam ungkapan sianre balei taue, orang saling memangsa seperti ikan dalam
samudra.
Dalam perspektif Aristoteles, orang tanpa etika tak lebih dari
binatang, lantaran dia terus bekerja tak hanya untuk memangsa orang-orang di
sekitarnya, tetapi juga agar dia kapan pun bisa dimangsa. "Lantaran tak punya hal yang patut
dicintai pada dirinya," tulis Aristoteles, "dia pun tak punya rasa cinta pada dirinya sendiri."
Di situlah kegelapan menjelma kutukan. Kian modern suatu zaman,
kian sarat pulalah distraksi dan distorsi di dalamnya, dan karena itu kian
niscaya pulalah konsensus politik yang kokoh-konstruktif di atas fondasi
etika di mana prinsip kebajikan dan prinsip keadilan utuh terpadu. Hanya
dengan modal etika suatu bangunan politik bisa terus dipertahankan serta
dipermulia. Dalam napas ini pulalah kita harus membaca kata-kata Franz
Magnis-Suseno (1988): "Etika
politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat
dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar."
Lewat persidangan MKD itu, DPR sesungguhnya memperoleh
kesempatan emas untuk merebut kembali sebagian berarti dari kehormatannya
yang selama ini sudah begitu luas tercemar. Namun, ternyata mereka lebih
memilih berkubang dalam ketercemaran. Alih-alih memilih menjadi bagian dari
cahaya, Dewan di situ malah meresmikan diri sebagai bagian, bahkan biang,
kegelapan. Dewan telah meresmikan sendiri kebangkrutan kehormatannya. Maka,
sahlah suara masyarakat kala menyatakan bahwa MKD adalah "Mahkamah
Kehormatan Dagelan" atau "Mahkamah Kehormatan Djamban."
Sudah menjadi acuan universal kapan pun bahwa tiap
manusia/pejabat terhormat, sendiri maupun dalam himpunan, akan sepenuh hati
menyambut kesempatan pertama untuk membuktikan keterhormatannya di depan
khalayak tiap kali ada tuntutan ke situ. Atas penilaian kegagalan
melaksanakan amanat publik, apalagi atas tuduhan berlaku nista di ranah
publik, dia/mereka segera mengundurkan diri dari jabatannya. Dia/mereka juga
siap memasang taruhan raga-jiwa untuk menegakkan (kembali) kehormatannya.
Laku terpuji itulah yang dilakukan Direktur Jenderal Pajak Sigit
Priadi Pramudito dua hari sebelum sidang MKD. Dalam besaran jauh di atasnya,
itu pula yang dilakukan oleh Bung Hatta ketika menyadari bahwa Demokrasi
Terpimpin sudah salah jalan. Sama halnya dengan Muhammad Sang Rasul kala
bersumpah atas nama Allah bahwa beliau sendiri akan memotong tangan Fatimah,
putri semata wayang yang sangat dicintainya, jika dia kedapatan mencuri. Di
sini pulalah kita merundukkan kepala bagi Socrates yang rela-tegar menjalani
hukuman minum racun oleh negara kepadanya, yang dia laksanakan ibarat meminum
anggur. Dia membuktikan bahwa kehormatannya jauh lebih penting daripada
raganya.
Sedikit banyak ke situ pulalah bermuara tradisi masa lampau
berupa "duel pistol" di Barat dan laku "saling tikam dalam
satu sarung" di Sulawesi Selatan, dan terutama adat harakiri serta seppuku
di Jepang, yang begitu kukuhnya sehingga bisa dan telah dilakukan serempak
oleh puluhan orang. Semua itu merupakan pernyataan gamblang dari keniscayaan
etika atau keterusikan kehormatan. Di sini, yang individual sekalipun tak
terlepas dari resiprositas keadaban publik.
Lewat MKD, DPR tak hanya menolak berterima kasih atas pengaduan
bajik Menteri ESDM Sudirman Said menyangkut laku ekstra-lancung SN, tetapi
justru dengan sengaja dan telanjang memilih untuk turut mempertontonkan
kemunafikannya dengan membuta-tuli menolak ranah dan momen etika, menggunakan
seluruh tipu muslihat untuk mati-matian menyangkal aduan bajik itu demi
membela laku nista dengan argumen-argumen konyol pokrol bambu. Alangkah dungu
jika dengan laku demikian DPR merasa telah mempertahankan kehormatannya. Di
sini hukum besi Aristoteles sungguh relevan: "Mustahil memperoleh kehormatan dengan memperkaya diri dari dana
publik".
DPR menolak keniscayaan etika baik pada dirinya sendiri sebagai
lembaga tinggi negara maupun dalam resiprositasnya dengan rakyat sebagai
pemangku kedaulatan. Parlemen kita telah memilih terus berhina ria atau
berkomplisit dengan laku lancung, terus berkubang dalam kehitaman lumpur
perilaku busuk-dengan secara terang-terangan mencampakkan etika. Sungguh
menyedihkan bahwa dari 560 anggota DPR, hanya 30-40 yang pada hari-hari itu
memakai pita hitam #SaveDPR, termasuk beberapa pejuang etika di dalam MKD!
Sulit dibantah, mayoritas anggota DPR tak paham tentang, bahkan tak peduli
dengan, etika. Tampaknya mereka tak pernah membaca petuah emas bahwa, "Dalam hukum, kita baru bersalah kala melanggar hak
orang lain. Dalam etika, kita sudah bersalah kala baru berniat berlaku
salah" (Immanuel Kant).
Pencampakan prinsip etika adalah pangkal kegelapan, sekaligus
pangkal kutukan. Jiwa yang terus menolak cahaya etika-yang tak kuasa berteguh
menegaki yang baik dan menolak yang buruk-adalah jiwa terkutuk. Sejujurnya,
dengan menjadi "episentrum korupsi" dan/atau induk penyalahguna
kekuasaan, Dewan telah bertahun-tahun memilih sendiri untuk menjadi biang
kegelapan. Ia menyebarkan pembiasaan laku nista. Dan, itu sumber
kutukan-kutukan bagi segala patokan politik luhur yang kita warisi sebagai
bangsa (yang dimerdekakan dan didirikan oleh rakyat dengan pengorbanan yang
tak terperikan). Hanya dengan penjunjungan atas itu semua bangsa kita punya
masa depan.
Tugas
legislator
Melampaui lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif, lembaga
legislatif adalah tempat yang sejatinya menuntut komitmen tertinggi pada
etika dan/atau moralitas. Bukan hanya Aristoteles yang menyatakan tugas
legislator sebagai pembangun dan penjunjung utama kebajikan. Juga Dennis
Thompson kala menandaskan dalam Political
Ethics and Public Office (1987) bahwa "Kepentingan
umum tidak muncul hanya dari kumpulan pilihan subyektif, melainkan juga harus
diciptakan dalam proses legislatif".
Dengan kata lain, terutama pada lembaga legislatiflah etika
dituntut terbangun dan berkiprah dari dalam. Tugas terpenting seorang
legislator, menurut Aristoteles, tak lain menanamkan pertama-tama pada
dirinya sendiri, kemudian pada segenap warga negara, kebiasaan berlaku dan
berbuat bajik. Etika pribadi seorang legislator hanya bisa lahir dari
kebiasaan berbuat bajik dan dari regularitas penyebarannya di tengah
masyarakat.
Sebagai lembaga pembuat undang-undang, parlemen dituntut untuk
benar-benar memahami segala hal yang baik dan yang buruk dalam kehidupan
suatu bangsa dan mematri setiap yang baik dan/atau bertujuan baik ke dalam
UU. Tak hanya Aristoteles yang menegaskan bahwa legislatorlah yang harus
menjadi pemangku nobilitas karakter, melainkan juga Kajao Laliddo yang lima
ratusan tahun silam menyatakan bahwa para penentu hukum haruslah pantang rienreki warang parang,
pantang "dinaiki" atau diperbudak oleh harta benda (Mattulada, 1985). Ini adalah pedoman
imperatif.
Kita menuntut Dewan berhenti mengorak aneka laku nistanya: menyalahgunakan
kekuasaan, melakukan studi banding rampok dana publik ke luar negeri, membela
serta menyelamatkan para koruptor dan pengemplang pajak lewat legislasi,
memanfaatkan ketiga wewenang utamanya untuk melakukan ekstorsi dan pemerasan
intra maupun ekstra pemerintahan (sehingga rangkaian kebocoran masif dana
publik bisa atau sudah terjadi bahkan jauh mendahului penetapan APBN), serta
"menjor-jorkan" jatah anggarannya dengan jatah anggaran eksekutif
(dan bukannya mengidentifikasikan diri dengan rakyat sebagaimana mestinya).
Di atas semuanya, kita menuntut parlemen memenuhi tugas utamanya
untuk menyusun UU demi kemaslahatan publik dan kemajuan bangsa, bukan demi
mempergendut diri dengan harta dan kuasa haram, juga bukan untuk kepentingan
para pemodal besar, apalagi kepentingan pihak asing.
Jika Dewan tetap memilih berkubang dalam kegelapan dan terus
bekerja sebagai kutukan bagi bangsa kita, tak ada jalan lain bagi seluruh
komponen bangsa kita selebihnya selain mengerahkan segenap potensi akal-budi
politik dan hukum untuk mengusir kegelapan dan menghapus kerja kutukan itu.
Kita harus percaya bahwa tak ada impasse bagi kebajikan publik dan tak ada
kata habis bagi kreativitas politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar