Kamis, 07 Januari 2016

Dewan dan Kegelapan

Dewan dan Kegelapan

Mochtar Pabottingi  ;  Profesor Riset LIPI 2000-2010
                                                       KOMPAS, 07 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada dua minggu pertama Desember 2015 energi bangsa kita terkuras mengikuti sidang-sidang Mahkamah Kehormatan Dewan yang berakhir sangat mengecewakan. Ini adalah kejadian yang tak bisa dibiarkan begitu saja.

Persidangan atas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto (SN) yang di penghujungnya dinyatakan oleh semua anggota telah melanggar etika tak diteruskan menjadi suatu keputusan. Padahal Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) menyidangkan kasus ini karena semula SN menolak mundur selaku Ketua DPR. Dia baru minta mundur setelah kepepet di pengujung sidang.

DPR seperti tak menyadari bahwa pada hakikatnya di dalam rangkaian persidangan MKD itu ia turut diadili. Yang diadili di situ bukan hanya integritas SN, melainkan juga integritas DPR selaku lembaga tinggi negara. Maka, dengan komplisitas mati-matian DPR dalam membela SN, sulit bagi kita untuk tak menyimpulkan bahwa ia pun telah melakukan pelanggaran etik. Ia memilih tetap mengusung SN, bukan menjunjung patokan-patokan bajik dalam bernegara: sungguh pertanda kegelapan.

Lantaran hendak melarikan diri secara culas, MKD ngotot menangani masalah etika, yang merupakan yurisdiksinya, sebagai masalah pidana yang berada di luarnya. Ia juga hendak memaksakan kasus SN sebagai masalah politik praktis, masalah kalah-menang antara koalisi politik, padahal ini adalah masalah yang jauh di atas urusan kalah-menang. Ini menyangkut apakah kita masih berpatokan pada etika sebagai fondasi-penjamin (guarantor)-bagi tegaknya bangunan politik. Bagi kepastian bahwa kita semua masih menjunjung harkat dan martabat sebagai warga negara-bangsa.

Pencampakan prinsip etika

Etika adalah awal dan ujung tiap bangunan politik. Rousseau sudah menegaskan tentang keniscayaan negara membuat right (kebenaran) mengatasi might (kuasa kekuatan) dan duty (kewajiban) mengatasi obedience (ketundukan). Dan, John Rawls (2005) menegaskan bahwa bangunan politik hanya mungkin jika ia tegak di atas prinsip moral yang menjunjung tinggi kebajikan dan keadilan. Di sini Rousseau dan Rawls sama-sama menggemakan kembali ajaran Aristoteles tentang niscayanya penegakan kebajikan dan keadilan dalam kolektivitas manusia. Aristoteles juga menegaskan bahwa politik dan hukum tak terpisahkan semata-mata karena kedua-duanya berlandaskan pada etika-pada pemuliaan prinsip kebajikan dan keadilan itu. Itulah pangkal kebahagiaan sejati bagi individu dan masyarakat di tiap bangunan politik.

DPR telah membuta pada kenyataan bahwa puncak politik praktis terletak pada pengakuan praktis akan landasan etika. Di luar landasan itu, politik tak akan pernah praktis dan hanya akan menjadi medan serba chaos dan anarki atau ajang pertarungan nista-celaka yang tiada habisnya. Tak hanya di Barat insan politik mengenal kondisi homo homini lupus. Juga di tanah Bugis dalam ungkapan sianre balei taue, orang saling memangsa seperti ikan dalam samudra.

Dalam perspektif Aristoteles, orang tanpa etika tak lebih dari binatang, lantaran dia terus bekerja tak hanya untuk memangsa orang-orang di sekitarnya, tetapi juga agar dia kapan pun bisa dimangsa. "Lantaran tak punya hal yang patut dicintai pada dirinya," tulis Aristoteles, "dia pun tak punya rasa cinta pada dirinya sendiri."

Di situlah kegelapan menjelma kutukan. Kian modern suatu zaman, kian sarat pulalah distraksi dan distorsi di dalamnya, dan karena itu kian niscaya pulalah konsensus politik yang kokoh-konstruktif di atas fondasi etika di mana prinsip kebajikan dan prinsip keadilan utuh terpadu. Hanya dengan modal etika suatu bangunan politik bisa terus dipertahankan serta dipermulia. Dalam napas ini pulalah kita harus membaca kata-kata Franz Magnis-Suseno (1988): "Etika politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar."

Lewat persidangan MKD itu, DPR sesungguhnya memperoleh kesempatan emas untuk merebut kembali sebagian berarti dari kehormatannya yang selama ini sudah begitu luas tercemar. Namun, ternyata mereka lebih memilih berkubang dalam ketercemaran. Alih-alih memilih menjadi bagian dari cahaya, Dewan di situ malah meresmikan diri sebagai bagian, bahkan biang, kegelapan. Dewan telah meresmikan sendiri kebangkrutan kehormatannya. Maka, sahlah suara masyarakat kala menyatakan bahwa MKD adalah "Mahkamah Kehormatan Dagelan" atau "Mahkamah Kehormatan Djamban."

Sudah menjadi acuan universal kapan pun bahwa tiap manusia/pejabat terhormat, sendiri maupun dalam himpunan, akan sepenuh hati menyambut kesempatan pertama untuk membuktikan keterhormatannya di depan khalayak tiap kali ada tuntutan ke situ. Atas penilaian kegagalan melaksanakan amanat publik, apalagi atas tuduhan berlaku nista di ranah publik, dia/mereka segera mengundurkan diri dari jabatannya. Dia/mereka juga siap memasang taruhan raga-jiwa untuk menegakkan (kembali) kehormatannya.

Laku terpuji itulah yang dilakukan Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito dua hari sebelum sidang MKD. Dalam besaran jauh di atasnya, itu pula yang dilakukan oleh Bung Hatta ketika menyadari bahwa Demokrasi Terpimpin sudah salah jalan. Sama halnya dengan Muhammad Sang Rasul kala bersumpah atas nama Allah bahwa beliau sendiri akan memotong tangan Fatimah, putri semata wayang yang sangat dicintainya, jika dia kedapatan mencuri. Di sini pulalah kita merundukkan kepala bagi Socrates yang rela-tegar menjalani hukuman minum racun oleh negara kepadanya, yang dia laksanakan ibarat meminum anggur. Dia membuktikan bahwa kehormatannya jauh lebih penting daripada raganya.

Sedikit banyak ke situ pulalah bermuara tradisi masa lampau berupa "duel pistol" di Barat dan laku "saling tikam dalam satu sarung" di Sulawesi Selatan, dan terutama adat harakiri serta seppuku di Jepang, yang begitu kukuhnya sehingga bisa dan telah dilakukan serempak oleh puluhan orang. Semua itu merupakan pernyataan gamblang dari keniscayaan etika atau keterusikan kehormatan. Di sini, yang individual sekalipun tak terlepas dari resiprositas keadaban publik.

Lewat MKD, DPR tak hanya menolak berterima kasih atas pengaduan bajik Menteri ESDM Sudirman Said menyangkut laku ekstra-lancung SN, tetapi justru dengan sengaja dan telanjang memilih untuk turut mempertontonkan kemunafikannya dengan membuta-tuli menolak ranah dan momen etika, menggunakan seluruh tipu muslihat untuk mati-matian menyangkal aduan bajik itu demi membela laku nista dengan argumen-argumen konyol pokrol bambu. Alangkah dungu jika dengan laku demikian DPR merasa telah mempertahankan kehormatannya. Di sini hukum besi Aristoteles sungguh relevan: "Mustahil memperoleh kehormatan dengan memperkaya diri dari dana publik".

DPR menolak keniscayaan etika baik pada dirinya sendiri sebagai lembaga tinggi negara maupun dalam resiprositasnya dengan rakyat sebagai pemangku kedaulatan. Parlemen kita telah memilih terus berhina ria atau berkomplisit dengan laku lancung, terus berkubang dalam kehitaman lumpur perilaku busuk-dengan secara terang-terangan mencampakkan etika. Sungguh menyedihkan bahwa dari 560 anggota DPR, hanya 30-40 yang pada hari-hari itu memakai pita hitam #SaveDPR, termasuk beberapa pejuang etika di dalam MKD! Sulit dibantah, mayoritas anggota DPR tak paham tentang, bahkan tak peduli dengan, etika. Tampaknya mereka tak pernah membaca petuah emas bahwa, "Dalam hukum, kita baru bersalah kala melanggar hak orang lain. Dalam etika, kita sudah bersalah kala baru berniat berlaku salah" (Immanuel Kant).

Pencampakan prinsip etika adalah pangkal kegelapan, sekaligus pangkal kutukan. Jiwa yang terus menolak cahaya etika-yang tak kuasa berteguh menegaki yang baik dan menolak yang buruk-adalah jiwa terkutuk. Sejujurnya, dengan menjadi "episentrum korupsi" dan/atau induk penyalahguna kekuasaan, Dewan telah bertahun-tahun memilih sendiri untuk menjadi biang kegelapan. Ia menyebarkan pembiasaan laku nista. Dan, itu sumber kutukan-kutukan bagi segala patokan politik luhur yang kita warisi sebagai bangsa (yang dimerdekakan dan didirikan oleh rakyat dengan pengorbanan yang tak terperikan). Hanya dengan penjunjungan atas itu semua bangsa kita punya masa depan.

Tugas legislator

Melampaui lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif, lembaga legislatif adalah tempat yang sejatinya menuntut komitmen tertinggi pada etika dan/atau moralitas. Bukan hanya Aristoteles yang menyatakan tugas legislator sebagai pembangun dan penjunjung utama kebajikan. Juga Dennis Thompson kala menandaskan dalam Political Ethics and Public Office (1987) bahwa "Kepentingan umum tidak muncul hanya dari kumpulan pilihan subyektif, melainkan juga harus diciptakan dalam proses legislatif".

Dengan kata lain, terutama pada lembaga legislatiflah etika dituntut terbangun dan berkiprah dari dalam. Tugas terpenting seorang legislator, menurut Aristoteles, tak lain menanamkan pertama-tama pada dirinya sendiri, kemudian pada segenap warga negara, kebiasaan berlaku dan berbuat bajik. Etika pribadi seorang legislator hanya bisa lahir dari kebiasaan berbuat bajik dan dari regularitas penyebarannya di tengah masyarakat.

Sebagai lembaga pembuat undang-undang, parlemen dituntut untuk benar-benar memahami segala hal yang baik dan yang buruk dalam kehidupan suatu bangsa dan mematri setiap yang baik dan/atau bertujuan baik ke dalam UU. Tak hanya Aristoteles yang menegaskan bahwa legislatorlah yang harus menjadi pemangku nobilitas karakter, melainkan juga Kajao Laliddo yang lima ratusan tahun silam menyatakan bahwa para penentu hukum haruslah pantang rienreki warang parang, pantang "dinaiki" atau diperbudak oleh harta benda (Mattulada, 1985). Ini adalah pedoman imperatif.

Kita menuntut Dewan berhenti mengorak aneka laku nistanya: menyalahgunakan kekuasaan, melakukan studi banding rampok dana publik ke luar negeri, membela serta menyelamatkan para koruptor dan pengemplang pajak lewat legislasi, memanfaatkan ketiga wewenang utamanya untuk melakukan ekstorsi dan pemerasan intra maupun ekstra pemerintahan (sehingga rangkaian kebocoran masif dana publik bisa atau sudah terjadi bahkan jauh mendahului penetapan APBN), serta "menjor-jorkan" jatah anggarannya dengan jatah anggaran eksekutif (dan bukannya mengidentifikasikan diri dengan rakyat sebagaimana mestinya).

Di atas semuanya, kita menuntut parlemen memenuhi tugas utamanya untuk menyusun UU demi kemaslahatan publik dan kemajuan bangsa, bukan demi mempergendut diri dengan harta dan kuasa haram, juga bukan untuk kepentingan para pemodal besar, apalagi kepentingan pihak asing.

Jika Dewan tetap memilih berkubang dalam kegelapan dan terus bekerja sebagai kutukan bagi bangsa kita, tak ada jalan lain bagi seluruh komponen bangsa kita selebihnya selain mengerahkan segenap potensi akal-budi politik dan hukum untuk mengusir kegelapan dan menghapus kerja kutukan itu. Kita harus percaya bahwa tak ada impasse bagi kebajikan publik dan tak ada kata habis bagi kreativitas politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar