Tentang
”Partai Juara”
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
09 Januari 2016
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menyambut hari lahir yang
ke-43 hari Minggu (10/1) esok dengan rasa sukacita berkat kesuksesan di
pemilihan kepala daerah serentak, 9 Desember 2015. Menurut catatan, PDI-P
memenangi 114 dari 264 daerah pemilihan, baik melalui pencalonan kepala
daerah sendiri maupun melalui koalisi dengan partai-partai lain.
Tentu ada sejumlah alasan mengapa ”Moncong Putih” merebut gelar
”juara umum” pada pilkada serentak perdana ini. Salah satu alasan, ini
sekadar carry over kesuksesan 2014
ketika PDI-P memenangi pemilihan anggota legislatif dan Joko Widodo memenangi
pemilihan presiden.
Ada juga pandangan alasan kemenangan itu lebih karena figur yang
populer, khususnya yang petahana, dan tersedianya ”gizi” mencukupi untuk
pemilih. Dengan kata lain, PDI-P sebagai partai bukan menjadi entitas utama
yang diincar pemilih saat mencoblos kertas suara.
Bermacam-macamlah teori yang berkembang mengenai yang terjadi
dengan ”politik elektoral” kita tatkala pilkada serentak berlangsung.
Hendaknya, PDI-P, juga partai-partai lain, segera mempelajari dalam rangka
bersiap menyongsong pilkada-pilkada serentak mendatang.
Apa pun, rasanya adil untuk mengatakan salah satu alasan utama
kesuksesan PDI-P yang tak bisa dikesampingkan adalah faktor kepemimpinan
Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Ibaratnya, dia, seperti pernah
dikatakannya sendiri, masih tetap menjadi nakhoda pengendali kapal tanker
yang mengarungi samudra luas yang sarat peluang ataupun tantangan.
Tak berlebihan mengatakan, PDI-P adalah Megawati, dan
sebaliknya, Megawati adalah PDI-P. Ia membawa PDI-P sebagai partai perlawanan
terhadap Orde Baru, menang telak pada Pemilu 1999, dikalahkan Golkar empat
tahun kemudian, dan berada di urutan ketiga pada Pemilu 2009.
Terlalu banyak predikat superlatif yang dapat disebut untuk
Megawati. Predikat yang cukup melekat, suka atau tidak, dia adalah figur
politik nasional yang paling berpengaruh saat ini.
Megawati tentu tetap bertahan menyelesaikan tugas sebagai
penggembala PDI-P sampai kongres 2020, saat usianya mencapai 73 tahun.
Masihkah Megawati mencalonkan diri pada kongres empat tahun lagi atau
sebaliknya, mulai dari sekarang mendapuk para calon pengganti?
Memang telah berlangsung lama terjadi debat tentang calon-calon
pengganti dari ”kader biologis” ataupun ”kader ideologis”. Setidaknya sudah
ada dua anak Megawati yang berkiprah di DPP PDI-P, yakni Puan Maharani dan
Prananda Prabowo.
Dan, jumlah ”kader ideologis” tentu lebih banyak lagi. Seperti
halnya partai-partai yang mengandalkan ideologi konservatif lainnya di mana
pun di dunia ini, regenerasi di PDI-P berjalan relatif baik.
Ikatan dan
kepatuhan
Kekuatan utama PDI-P, mungkin serupa dengan Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), ada pada ikatan, pemahaman, dan kepatuhan kepada ideologi
tunggal Soekarnoisme yang tidak pudar dimakan zaman. Itu sebabnya para
politisi PDI-P terkesan kurang pragmatis—apalagi oportunis—dalam praktik day to day politics.
Tentu tidak ada yang salah dengan itu. Soekarnoisme yang antara
lain diterjemahkan menjadi Trisakti/Nawacita itulah yang memandu para
politisi PDI-P agar tidak terjerembap ke jurang pragmatisme/oportunisme ala
”papa minta saham”, misalnya.
Sayangnya, sepanjang 2014-2015, publik menilai PDI-P seperti
menunjukkan sikap kurang mendukung Presiden Joko Widodo. Bukan rahasia lagi,
sumber masalahnya berkaitan dengan rencana perombakan kabinet.
Sebagai partai pengusung terbesar, Megawati dan PDI-P pasti tahu
apa yang mesti dilakukan untuk memperbaiki hubungan dengan Presiden. Ada
kesempatan emas saat Presiden mengadakan sebuah pertemuan tertutup dalam
rangka Rapat Kerja Nasional PDI-P pada 10-12 Januari 2016.
Pertemuan tertutup itu bisa dimanfaatkan sebagai ajang dialog
terbuka, dari hati ke hati, dan produktif, dengan tujuan menjaga kelangsungan
pemerintahan yang bekerja untuk rakyat. Pertemuan tertutup tersebut kemajuan
pesat dibandingkan dengan peringatan HUT pada tahun silam ketika Joko Widodo,
baik sebagai Presiden maupun kader partai, tidak berpidato.
Di lain pihak, Presiden barangkali membutuhkan bantuan yang
lebih besar dan tulus dari PDI-P dibandingkan dengan sebelum-sebelumnya.
Kegaduhan politik akibat akrobat sejumlah menteri telah menimbulkan kesan
Presiden kurang mampu menjaga kekompakan kabinet.
Masih beruntung publik cenderung memisahkan antara ”Presiden”
dan ”pemerintah”. Publik kurang peduli dengan kegaduhan politik selama
Presiden tetap bernyali besar, merakyat, rajin bekerja, dan tidak ”main
proyek”.
Untuk PDI-P, dan juga Presiden yang juga kader partai, selamat
ulang tahun dan mengadakan rakernas! Sudah saatnya PDI-P kembali unjuk diri
dan berlaku sebagai ”partai juara” yang mendulang medali-medali emas di
pileg/pilpres 2014 dan pilkada serentak 2015. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar