Jumat, 08 Januari 2016

Menyongsong Era Kegamangan Televisi Digital

Menyongsong Era Kegamangan Televisi Digital

Redi Panuju  ;  Pengajar Fikom Universitas dr Soetomo Surabaya
                                                      JAWA POS, 06 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEBAGAI sistem tanda, model digital tidak asing lagi bagi masyarakat kita. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sudah mengikuti tanda-tanda digital untuk mengetahui kecepatan, waktu, dan angka (kalkulator). Termasuk sistem ukuran yang lebih spesifik seperti kadar kolesterol, gula darah, sampai asam urat.
Demikian juga dalam alat pengiriman, penerimaan, dan penyampai sinyal, suara, dan visual. Teknologi digital memungkinkan semua itu. Hasilnya menjadi lebih berkualitas. Terkait televisi digital, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah pula menyosialisasikannya sejak era Menteri Mohammad Nuh, Menteri Tifatul Sembiring, dan Menteri Rudiantara. Tagline sosialisasi itu masif terpampang di baliho-baliho: ’’Masyarakat akan menikmati televisi digital yang gambarnya lebih jelas dan suaranya lebih terang.’’

Sebenarnya bukan hanya itu kelebihan sistem televisi digital. Teknologi tersebut memungkinkan tambahan banyak kanal yang berpeluang memunculkan penyelenggaraan penyiaran. Artinya, akan terbuka luas partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan penyiaran. Logikanya, akan banyak penyelenggara siaran televisi di tanah air. Masyarakat pun bakal diuntungkan dari segi peluang memilih acara yang diinginkan.

Masalahnya justru terjadi di ranah regulasi yang memayungi. Sejak lima tahun lalu, bahkan lebih, pemerintah telah mengusulkan RUU ke DPR untuk merevisi undang-undang penyiaran yang memungkinkan persoalan penataan struktur penyiaran terakomodasi di dalamnya. RUU itu memang sudah masuk prolegnas di urutan pertama, tapi sampai sekarang dibiarkan merana.

Tampaknya, DPR lebih memilih status quo dalam urusan penyiaran ketimbang mengantisipasi tuntutan perubahan. Ada pihak tertentu yang lebih enjoy dalam situasi yang tidak jelas. Inilah konsekuensi kuatnya relasi pemilik media dengan kekuatan politik.

Kita semua tahu bahwa konglomerasi media televisi di Jakarta berimpitan dengan kekuatan politik di Senayan. Bahkan, melalui siaran televisi yang dimiliki, mereka bisa membangun opini publik sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Kondisi tersebut merupakan bukti kegagalan regulator penyiaran dalam mewujudkan diversity of ownership. Bisa juga dimaknai sebagai wujud ketidakberdayaan menghadapi kekuatan modal yang punya kekuatan politik. Mati kutu.

Karena di- back up dengan payung hukum yang tidak kuat (undang-undang), langkah-langkah pemerintah dalam menyusun struktur penyiaran digital menjadi berantakan. Misalnya, pemerintah melalui Kementerian Kominfo menerbitkan Permen Nomor 12 Tahun 2011. Melalui permen tersebut, meski ditentang DPR, pemerintah tetap melaksanakan lelang untuk memilih lembaga penyiaran yang sanggup menyediakan infrastruktur penyiaran digital. Para pemenang pun sudah ditentukan. Namun, di tengah jalan, permen itu digugat pihak tertentu yang merasa dirugikan, dan pemerintah dikalahkan.

Patut disayangkan, bukannya mendorong DPR segera membahas dan mengesahkan revisi undangundang supaya payung hukumnya lebih kuat, pemerintah justru menerbitkan permen baru dengan nomor dan tahun berbeda tetapi substansi sama.

Hasilnya, penataan struktur penyiaran menjadi ngambang alias tidak jelas. Semua rekomendasi kelayakan (RK) dari komisi penyiaran Indonesia daerah (KPID) untuk permohonan izin penyelenggaraan penyiaran TV digital dikembalikan. Padahal, RK merupakan pintu masuk permohonan izin yang diputuskan dalam forum rapat bersama (FRB) antara KPI dan Kominfo.
Di sela-sela ketidakpastian tersebut, tiba-tiba Kominfo justru mengeluarkan peluang usaha baru untuk penyelenggaraan penyiaran televisi analog jasa LPS (lembaga penyiaran swasta) melalui Permen 31/2014 dan Kepmen Kominfo 1017/2014.

Semula saya memandang langkah terakhir Kementerian Kominfo tersebut sebagai upaya mengubah tahapan penataan struktur penyiaran. Sambil menunggu disahkannya revisi undang-undang penyiaran, disiapkanlah pemain digital melalui TV analog. Dengan begitu, kelak ketika regulasi sudah kuat, tinggal dilakukan pemindahan begitu saja (migrasi dari analog ke digital).
Namun, ternyata Kepmen 1017/ 2014 itu pun mengandung banyak persoalan. Persoalan muncul karena perbedaan tafsir batas tanggal permohonan, yaitu 23 Februari. Dalam kepmen hanya dituliskan batas penutupan tanggal 23 Februari 2014.

KPI (khususnya Jatim karena pemohonnya banyak) menafsirkan tanggal tersebut adalah tanggal masuknya permohonan, sedangkan kementerian menafsirkan sebagai tanggal masuknya RK di loket Kominfo. Dalam hal ini, Kominfo tidak mau tahu proses demokratisasi penyiaran yang ada di UU Penyiaran di mana proses permohonan IPP membutuhkan tahapan dan waktu. Seolah-olah Kominfo menyamakan permohonan izin penyelenggara ( provider) seluler yang tanpa demokrasi dengan permohonan IPP.

Kominfo tidak berani mengakomodasi semua RK untuk dibahas dalam FRB. Padahal, FRB adalah satu-satunya pintu untuk menvonis apakah RK diterima atau ditolak. Dalam hal ini, Kominfo telah mengambil alih kewenangan FRB untuk memutuskan nasib rekomendasi kelayakan. Akibatnya, sampai sekarang penyelesaian Kepmen 1017/2014 pun menjadi tidak jelas.

Akhirnya, saya sampai pada satu titik kesimpulan bahwa Kominfo sebenarnya juga berada di titik anomali regulasi penyiaran. Satu-satunya yang dapat dilakukan (supaya kelihatan bekerja) ya membuat kegaduhan di masyarakat penyiaran.

Dengan kegaduhan itu, diharapkan timbul kesan berani, konsisten, bersih, dan sebagainya. Padahal, intinya hanya buying time. Menunggu tahun 2018 saat sistem analog dinyatakan cut-off . Itulah darurat televisi yang akan mendera kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar