Jumat, 08 Januari 2016

Mempertanyakan Independensi Hakim

Mempertanyakan Independensi Hakim

Soetanto Soepiadhy  ;  Dosen Pascasarjana Untag Surabaya
                                                      JAWA POS, 07 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

NEGARA kita sudah 70 tahun merdeka. Namun, sistem peradilannya malah semakin liar dan amburadul. Tampaknya, hal itu akan terus terjadi, entah sampai kapan. Ada dua pakar hukum, Nuno Garoupa dan Tom Ginsburg, dari Texas A&M University, yang menyatakan, ’’Saat independensi peradilan lemah, lembaga peradilan akan dipolitisasi. Tapi, saat peradilan ’terlalu independen’, lembaga peradilan akan melakukan politisasi.’’

Pernyataan mereka, agaknya, tepat untuk bisa menggambarkan dunia peradilan kita saat ini. Kadang independensinya lemah, kadang terlalu independen. Yang pasti, keduanya tidak menguntungkan bagi pencari keadilan karena tidak lepas dari syahwat politisasi.

Majelis hakim lemah atau terlalu independen bisa kita lihat secara kasatmata ketika menjatuhkan putusan. Kalau putusan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, hampir pasti hakim sedang melakukan syahwat politisasi. Artinya, hakim sedang berada dalam posisi terlalu independen.

Saat ini hakim terlalu independen. Buktinya, putusan Pengadilan Negeri Palembang, 30 Desember 2015, yang menolak gugatan perdata menteri lingkungan hidup dan kehutanan (LHK) terhadap perusahaan pembakar hutan PT Bumi Mekar Hijau (BMH).

Dalam sidang gugatan perbuatan melanggar hukum PT BMH, dalam amar putusannya, hakim menolak seluruh gugatan menteri LHK. Diputuskan bahwa tergugat, PT BMH, tidak melakukan tindakan melawan hukum dan tidak ada kerugian negara atau kerusakan lingkungan ( Jawa Pos, 1 Januari 2016).

Tentu saja putusan PN Palembang itu menuai kecaman karena dianggap tidak mencerminkan keadilan dan tidak mendukung upaya pemerintah dalam menjaga kelestarian hutan. Yang terjadi di sini, pihak yudisial dengan sangat vulgar telah melawan eksekutif.

Lalu, adakah yang salah dengan putusan PN Palembang tersebut? Tentu itu menjadi kewenangan Komisi Yudisial (KY) yang tentu saja tidak boleh tinggal diam. KY harus memeriksa hakim-hakim yang bersangkutan.

Namun, pertanyaan besarnya, apakah mungkin KY dalam kondisinya yang sangat lemah (di mata hakim) saat ini mampu memeriksa kemandirian hakim-hakim itu? Sebab, kita tahu, fungsi KY yang awalnya begitu luas –tidak saja mencakup rekrutmen, tapi juga pengawasan hakim secara keseluruhan sesuai UU KY– kini sudah jauh menciut.

Satu demi satu fungsi KY sudah dibabat habis oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga menimbulkan krisis kepercayaan terhadap lembaga KY. Pemangkasan terjadi dari mulai keputusan sepihak MA yang tidak mau diintervensi KY, yang kemudian hasilnya tidak ada kewenangan KY dalam rekrutmen hakim agung.

Berikutnya, dihapusnya fungsi KY terhadap pengawasan hakim konstitusi. Dan, yang terakhir, MK mengeluarkan putusan menghapus fungsi KY terhadap proses seleksi pengangkatan hakim di MA.

Kondisi KY yang terus diciutkan itu menuai kritik dari begawan hukum J.E. Sahetapy bahwa lebih baik para pejabat KY mengundurkan diri saja mengingat para anggotanya sudah tidak mempunyai tugas dan kewenangan apa pun. ’’Setidaknya Anda juga tidak makan gaji buta,’’ katanya.

Fungsi KY yang semestinya bisa menata sistem peradilan lebih bersih dan berkualitas kini, tampaknya, cuma ’’ macan kertas’’, sekadar berfungsi administratif. KY sudah kehilangan taji.

Reformasi Peradilan

Pada 2016 ini, DPR akan membahas dan mengesahkan draf RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan atau yang lebih dikenal sebagai RUU Contempt of Court (CoC). Penulis memastikan, tanpa empati kuat DPR yang lebih mengedepankan rasa keadilan bagi masyarakat, kemudian draf RUU CoC disahkan begitu saja, dipastikan UU CoC tersebut akan membunuh demokrasi di negeri ini. Bahkan menjadi produk legislasi yang bakal memberangus kebebasan pers. Sangat berbahaya!

Memang, beberapa ketentuan dalam RUU CoC sangat dikhawatirkan menjadikan wajah peradilan yang selama ini sudah dipenuhi karut-marut banyaknya kasus korupsi peradilan (judicial corruption) malah akan lebih amburadul. Dan, menjadikan hakim diktator bertangan besi.

Dengan disahkannya RUU CoC menjadi UU CoC, apakah lembaga peradilan kita nanti tidak malah semakin kacau-balau? Sebab, setiap hakim dalam putusannya nanti –apa pun putusan itu– merasa tidak akan ada lagi yang ’’berani’’ menggugat.

Tentu saja, itu terjadi karena KY sudah jadi ’’macan kertas’’, lalu ditambah UU CoC yang ’’memanjakan’’ hakim dan menjadikan mereka ’’terlalu independen’’. Apalagi sudah terbiasa menempatkan diri cuma satu tingkat di bawah kekuasaan Tuhan. Ditambah akan dibuatkan RUU Jabatan Hakim yang khusus memberikan perlindungan hakim.

Karena itu, ’’sempurnalah’’ lembaga peradilan kita ke depan. Menjadi sangat absurd justru di tengah padatnya praktik korupsi peradilan oleh mafia peradilan. Padahal, saat ini, menurut penulis, yang amat mendesak dilakukan justru reformasi peradilan untuk lebih memperkuat sistem pengawasan bagi para hakim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar