MEA
dan Identitas sebagai ASEAN
Reza Akbar Felayati ; Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP
Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA
POS, 06 Januari 2016
TAHUN baru
selalu ditandai dengan harapan mencapai keberhasilan yang belum diraih pada tahun-tahun
sebelumnya. Itu pula yang diharapkan sepuluh negara ASEAN.
Harapan dan
kesempatan begitu besar pada pergantian tahun ini. Sebab, saat yang sama,
gerbang penghubung negara-negara anggota ASEAN terbuka dengan berlakunya
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal 2016 ini.
Terbukanya
gerbang MEA menjadi kesempatan bagi masyarakat di negara-negara anggota ASEAN
untuk membuka pasar baru. Sekaligus memperbesar prospek ekonomi di tingkat
regional.
MEA bukan
sesuatu yang muncul tiba-tiba, melainkan hasil evolusi. ASEAN pada 1993 telah
merealisasikan ASEAN Free Trade Area atau AFTA yang meregulasi perdagangan
barang-barang di ASEAN. Hasilnya, perdagangan di level ASEAN selama 2007–2014
menunjukkan hasil positif. Misalnya, nilai perdagangan meningkat dari USD 1,6
triliun pada 2007 ke angka USD 2,5 triliun pada 2014.
Bagaimana MEA?
MEA bergerak
lebih komprehensif karena juga mencakup sektor jasa dan tenaga kerja, baik
yang terlatih maupun tidak. MEA tidak hanya mengatur kelanjutan dari proses
yang telah diatur dalam AFTA.
Tetapi, mereka
juga pergerakan bisnis dan buruh antarnegara anggota ASEAN. Itu berarti
setiap individu memiliki kemudahan membuka bisnis atau mencari pekerjaan di
negara ASEAN yang lain.
Perihal pergerakan
bisnis dan buruh di level regional yang dimudahkan, muncul berbagai suara dan
respons masyarakat di Indonesia. Dalam hal itu, meski banyak yang mendukung,
banyak pula yang merasa pesimistis dengan sepak terjang Indonesia di MEA.
Argumentasinya, antara lain, Indonesia akan dibanjiri produkproduk dan
buruh-buruh serta profesional dari negara-negara ASEAN.
Dalam banyak
hal, MEA memang dianggap sebagai ranah persaingan. Akibatnya, akan ada pihak
yang menang dan yang hanya menjadi pasar bagi negara-negara anggota ASEAN di
luar Indonesia.
Meski dalam
beberapa tingkatan hal ini tidak salah, sejatinya semangat MEA adalah
kolaborasi di tingkat regional dan persaingan di tingkat global. Bukan
persaingan antarnegara anggota.
Ada
kecenderungan ketidakdekatan di level masyarakat antarnegara anggota ASEAN yang
memiliki potensi menjadi penyebab adanya pola pikir persaingan tersebut.
Ketidakdekatan di level masyarakat itu bisa terjadi karena absennya sebuah
identitas bersama.
Identitas
bersama di sini tidak berarti sebuah kartu identitas yang meregulasi atau upaya
meleburkan semua negara anggota ASEAN dibawah satu pemerintahan. Namun,
sebuah rasa memiliki ataupun sense of belonging yang lebih tinggi dari level
nasional, yaitu regional sense of belonging.
Karena itu,
Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan menekankan, 600 juta orang yang
berdiam di wilayah Asia Tenggara perlu merasa bahwa mereka adalah bagian dari
ASEAN.
Dalam kacamata
konstruktivisme, aspek ideasional dan sosial memang memainkan peran penting
dalam konstruksi realita. Dalam hal ini, ASEAN tidak cukup disebut sebagai
sebuah wadah bagi negara untuk memenuhi kepentingannya.
Namun, lebih
ke arah wadah konvergensi cara pandang dan kepentingan bersama. Yang kemudian
menciptakan sebuah identitas dan norma dalam bentuk institusi.
Jika kemudian
pembentukan identitas di level regional dapat terwujud, pembentukan identitas
dan norma bersama tersebut juga perlu dilakukan di level nasional tiap-tiap
negara.
Penciptaan
identitas bersama di level masyarakat menjadi penting untuk mengembangkan
efektivitas MEA ke depan. Eaton dan Stubbs menyiratkan bahwa jika kekuatan
suatu institusi terletak pada tingkat kohesi kelompok ketimbang instrumen
paksaan yang dibentuk di dalamnya, integrasi lebih mudah ditegakkan.
Sebuah survei ASEAN Community Building Effort pada
2012 menemukan bahwa 76 persen penduduk ibu kota negara anggota ASEAN tidak
memiliki pemahaman dasar tentang ASEAN
Community. Dan, sebanyak 19 persen belum pernah mendengar tentang MEA.
Hambatan Bahasa
Selain itu,
hambatan bahasa dan perbedaan tingkat pendidikan menjadi ancaman untuk
mencapai komunikasi komprehensif yang efektif di antara warga ASEAN. Jalan
keluar awal untuk hambatan bahasa itu melakukan pertukaran informasi.
Melalui konsep
diffusion mechanism, Claudia M. Fabbri melihat bahwa pembentukan identitas
diawali dari proses saling mengetahui dan interaksi antarsesama.
Realisasinya, transmisi informasi melalui tiga cara, yaitu sosialisasi,
internalisasi, dan pembelajaran.
Hal ini senada
dengan Teori Checkel bahwa melalui pengulangan pembelajaran sosial secara
terusmenerus, identitas dapat dibentuk dan didefinisikan ulang.
Dalam beberapa
hal, upaya-upaya transmisi informasi perihal MEA perlu untuk diintensifkan
lebih jauh. Sebab, hingga saat ini, MEA lebih banyak dipromosikan melalui
penggunaan platform online seperti Facebook, Twitter, dan YouTube.
Padahal, masih banyak wilayah
di berbagai sisi negara anggota ASEAN yang rata-rata tingkat penetrasi
internet hanya 30 persen. Otomatis ini menjadi pekerjaan rumah bagi ASEAN:
bagaimana mulai membangun fondasi identitas bersama seiring dengan
berjalannya MEA tahun ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar