Jumat, 08 Januari 2016

MEA dan Identitas sebagai ASEAN

MEA dan Identitas sebagai ASEAN

Reza Akbar Felayati  ;  Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP
Universitas Airlangga Surabaya
                                                      JAWA POS, 06 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TAHUN baru selalu ditandai dengan harapan mencapai keberhasilan yang belum diraih pada tahun-tahun sebelumnya. Itu pula yang diharapkan sepuluh negara ASEAN.

Harapan dan kesempatan begitu besar pada pergantian tahun ini. Sebab, saat yang sama, gerbang penghubung negara-negara anggota ASEAN terbuka dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal 2016 ini.
Terbukanya gerbang MEA menjadi kesempatan bagi masyarakat di negara-negara anggota ASEAN untuk membuka pasar baru. Sekaligus memperbesar prospek ekonomi di tingkat regional.

MEA bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba, melainkan hasil evolusi. ASEAN pada 1993 telah merealisasikan ASEAN Free Trade Area atau AFTA yang meregulasi perdagangan barang-barang di ASEAN. Hasilnya, perdagangan di level ASEAN selama 2007–2014 menunjukkan hasil positif. Misalnya, nilai perdagangan meningkat dari USD 1,6 triliun pada 2007 ke angka USD 2,5 triliun pada 2014.

Bagaimana MEA?

MEA bergerak lebih komprehensif karena juga mencakup sektor jasa dan tenaga kerja, baik yang terlatih maupun tidak. MEA tidak hanya mengatur kelanjutan dari proses yang telah diatur dalam AFTA.

Tetapi, mereka juga pergerakan bisnis dan buruh antarnegara anggota ASEAN. Itu berarti setiap individu memiliki kemudahan membuka bisnis atau mencari pekerjaan di negara ASEAN yang lain.

Perihal pergerakan bisnis dan buruh di level regional yang dimudahkan, muncul berbagai suara dan respons masyarakat di Indonesia. Dalam hal itu, meski banyak yang mendukung, banyak pula yang merasa pesimistis dengan sepak terjang Indonesia di MEA. Argumentasinya, antara lain, Indonesia akan dibanjiri produkproduk dan buruh-buruh serta profesional dari negara-negara ASEAN.
Dalam banyak hal, MEA memang dianggap sebagai ranah persaingan. Akibatnya, akan ada pihak yang menang dan yang hanya menjadi pasar bagi negara-negara anggota ASEAN di luar Indonesia.

Meski dalam beberapa tingkatan hal ini tidak salah, sejatinya semangat MEA adalah kolaborasi di tingkat regional dan persaingan di tingkat global. Bukan persaingan antarnegara anggota.

Ada kecenderungan ketidakdekatan di level masyarakat antarnegara anggota ASEAN yang memiliki potensi menjadi penyebab adanya pola pikir persaingan tersebut. Ketidakdekatan di level masyarakat itu bisa terjadi karena absennya sebuah identitas bersama.

Identitas bersama di sini tidak berarti sebuah kartu identitas yang meregulasi atau upaya meleburkan semua negara anggota ASEAN dibawah satu pemerintahan. Namun, sebuah rasa memiliki ataupun sense of belonging yang lebih tinggi dari level nasional, yaitu regional sense of belonging.

Karena itu, Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan menekankan, 600 juta orang yang berdiam di wilayah Asia Tenggara perlu merasa bahwa mereka adalah bagian dari ASEAN.

Dalam kacamata konstruktivisme, aspek ideasional dan sosial memang memainkan peran penting dalam konstruksi realita. Dalam hal ini, ASEAN tidak cukup disebut sebagai sebuah wadah bagi negara untuk memenuhi kepentingannya.

Namun, lebih ke arah wadah konvergensi cara pandang dan kepentingan bersama. Yang kemudian menciptakan sebuah identitas dan norma dalam bentuk institusi.

Jika kemudian pembentukan identitas di level regional dapat terwujud, pembentukan identitas dan norma bersama tersebut juga perlu dilakukan di level nasional tiap-tiap negara.

Penciptaan identitas bersama di level masyarakat menjadi penting untuk mengembangkan efektivitas MEA ke depan. Eaton dan Stubbs menyiratkan bahwa jika kekuatan suatu institusi terletak pada tingkat kohesi kelompok ketimbang instrumen paksaan yang dibentuk di dalamnya, integrasi lebih mudah ditegakkan.

Sebuah survei ASEAN Community Building Effort pada 2012 menemukan bahwa 76 persen penduduk ibu kota negara anggota ASEAN tidak memiliki pemahaman dasar tentang ASEAN Community. Dan, sebanyak 19 persen belum pernah mendengar tentang MEA.

Hambatan Bahasa

Selain itu, hambatan bahasa dan perbedaan tingkat pendidikan menjadi ancaman untuk mencapai komunikasi komprehensif yang efektif di antara warga ASEAN. Jalan keluar awal untuk hambatan bahasa itu melakukan pertukaran informasi.

Melalui konsep diffusion mechanism, Claudia M. Fabbri melihat bahwa pembentukan identitas diawali dari proses saling mengetahui dan interaksi antarsesama. Realisasinya, transmisi informasi melalui tiga cara, yaitu sosialisasi, internalisasi, dan pembelajaran.

Hal ini senada dengan Teori Checkel bahwa melalui pengulangan pembelajaran sosial secara terusmenerus, identitas dapat dibentuk dan didefinisikan ulang.
Dalam beberapa hal, upaya-upaya transmisi informasi perihal MEA perlu untuk diintensifkan lebih jauh. Sebab, hingga saat ini, MEA lebih banyak dipromosikan melalui penggunaan platform online seperti Facebook, Twitter, dan YouTube.
Padahal, masih banyak wilayah di berbagai sisi negara anggota ASEAN yang rata-rata tingkat penetrasi internet hanya 30 persen. Otomatis ini menjadi pekerjaan rumah bagi ASEAN: bagaimana mulai membangun fondasi identitas bersama seiring dengan berjalannya MEA tahun ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar