Jumat, 08 Januari 2016

Ekosistem Moral Pendidikan

Ekosistem Moral Pendidikan

Doni Koesoema A  ;  Pemerhati Pendidikan;
Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong
                                                       KOMPAS, 08 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Mewujudkan ekosistem pendidikan dan kebudayaan yang berkarakter merupakan salah satu visi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sayangnya, ekosistem moral pendidikan kita belum terbangun karena penumbuhan budi pekerti belum menyentuh pembentukan kultur sekolah sebagai komunitas moral.

Gebrakan awal Mendikbud Anies Baswedan merevisi regulasi bermasalah, salah satunya penghapusan fungsi ujian nasional (UN) sebagai syarat kelulusan. Kebijakan UN sebagai syarat kelulusan telah melahirkan berbagai macam kecurangan, baik individual maupun sifatnya terstruktur dan sistematis. Langkah ini patut diapresiasi.

Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti merupakan langkah kedua untuk memperkuat regulasi pembentukan karakter di lingkungan pendidikan. Minimnya kemampuan dan minat baca anak Indonesia ditanggapi dengan ajakan untuk membaca 15 menit sebelum memulai pelajaran. Untuk menumbuhkan rasa cinta Tanah Air, insan pendidikan (guru-siswa) diajak menggemakan lagu wajib nasional di ruang-ruang kelas dan melakukan upacara bendera. Orangtua pun diminta mengantar anak pada hari pertama masuk sekolah.

Apa yang diperteguh melalui Permendikbud No 23/2015 sesungguhnya sudah banyak dilakukan. Bahkan, di banyak sekolah, praksis-praksis baik itu sudah lebih maju dan lebih kaya. Namun, di banyak sekolah kita, praksis pembentukan karakter yang memperkuat lembaga pendidikan sebagai komunitas moral belum banyak berkembang. Yang banyak dilakukan masih bersifat kulit luar, seperti upacara bendera, 5S (senyum, salam, sapa, sopan, santun), menyanyikan lagu nasional, atau praksis ritual keagamaan.

Apabila kita berbicara tentang lembaga pendidikan sebagai komunitas moral, yang jadi fokus adalah pembentukan roh moral individu sebagai pembelajar. Artinya, bagaimana lembaga pendidikan mampu menumbuhkan karakter individu sebagai pembelajar sepanjang hayat secara otentik, pembelajar yang memiliki visi moral dalam hidupnya. Upacara setiap minggu tidak akan berarti, kebiasaan 5S akan tanpa makna bila individu tidak tumbuh sebagai pembelajar.

Inkonsistensi kebijakan

Lembaga pendidikan kita saat ini belum jadi sebuah ekosistem yang menumbuhkan semangat belajar otentik. Contoh nyata dari tidak adanya ekosistem pembelajaran yang menjadikan lembaga pendidikan sebagai komunitas moral adalah adanya inkonsistensi kebijakan yang justru menjauhkan siswa dari proses belajar dan menjauhkan guru dari proses pengajaran.

Inkonsistensi pertama, di satu sisi Mendikbud telah mencabut fungsi UN sebagai syarat kelulusan, tetapi tetap mempertahankannya sebagai syarat masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Kebijakan ini akan tetap mempertahankan UN sebagai high-stakes testing sehingga potensi kecurangan dan manipulasi nilai tetap akan terjadi. Akibatnya, pembelajaran akan berubah menjadi drilling dan sibuk melatih siswa mengerjakan soal begitu kisi-kisi UN dikeluarkan pemerintah. Belajar menjadi kering, teknis, dan tanpa jiwa.

Inkonsistensi kedua, di satu sisi guru diberi kewenangan memberikan penilaian otentik pada rapor siswa, tetapi di lain pihak nilai rapor dipakai sebagai syarat kualifikasi jalur masuk perguruan tinggi negeri (PTN) tanpa tes yang kuotanya sangat besar, yaitu 50 persen. Akibatnya, konflik kepentingan. Banyak sekolah menginflasi nilai siswanya agar siswa tersebut dapat masuk PTN tanpa tes. Logikanya sederhana, tak ada sekolah yang tak ingin anak-anaknya tidak lolos dalam jalur undangan PTN.

Inflasi nilai juga terjadi karena adanya kebijakan kriteria ketuntasan minimal (KKM). Pemahaman KKM telah jauh melenceng dari maksud semula. KKM saat ini dipahami sebagai nilai minimal dalam rapor. KKM ditentukan oleh sekolah. Akibatnya, banyak sekolah-terutama sekolah negeri-berlomba-lomba meninggikan KKM-nya. Sekolah yang menentukan KKM untuk mata pelajaran tertentu 7, maka nilai dalam rapor siswa paling rendah adalah 7. Karena nilai rapor dipakai sebagai syarat masuk PTN jalur undangan, banyak sekolah berlomba-lomba menaikkan nilai KKM hingga tidak rasional. Bahkan, ada sekolah yang menentukan sampai 9 sehingga nilai siswa untuk mata pelajaran tertentu minimal 9.

Kebijakan KKM yang sudah di luar nalar ini diperkuat lagi dengan aturan bahwa, agar siswa dapat mengikuti UN, semua mata pelajaran harus tuntas. Artinya, siswa tak akan dapat terverifikasi sebagai peserta UN bila masih ada nilainya yang di bawah KKM yang ditentukan oleh sekolah. Karena itu, mau tidak mau, semua guru akan memberikan nilai minimal KKM bagi siswa kelas akhir agar siswa dapat mengikuti UN. Kalau nilai KKM-nya 9, guru akan tutup mata memberikan nilai 9 dalam rapor meskipun faktanya kemampuan siswa tersebut jauh di bawah 9.

Bagaimana bila siswa dalam kenyataan sehari-hari kemampuannya sesungguhnya tidak layak dapat 9? Pemerintah menganjurkan kebijakan remedial. Kebijakan ini sesungguhnya baik karena remedial adalah berupa pengayaan pada materi yang kurang. Namun, faktanya, guru sekadar memberi penugasan-penugasan atau pengerjaan ulang soal- soal ulangan yang pernah diberikan guru.

Kebijakan remedial kontraproduktif. Faktanya, justru para siswa semakin malas. Belum ulangan sudah bertanya kepada guru kapan remedial. Yang menjengkelkan bagi guru, sudah tidak belajar, malas, saat diminta remedial siswa tidak datang atau tidak mengerjakan dengan baik. Namun, akhirnya guru harus memberi nilai minimal KKM. Bila nilai di bawah KKM, siswa tersebut tidak boleh mengikuti UN. Guru berada dalam tekanan kepala sekolah bila memberikan nilai di bawah KKM, apalagi untuk siswa kelas III.

Revisi kebijakan

Rantai kebijakan pendidikan, mulai dari remedial, KKM, syarat rapor semester I, II, III untuk seleksi masuk PTN jalur undangan tanpa tes, dan syarat nilai UN, dan kriteria penilaian sikap, telah membuat lembaga pendidikan kita gagal membentuk semangat pembelajar. Bahkan, ekosistem moral pembelajar tidak terbentuk karena masing-masing kebijakan ini sama sekali tidak mendorong proses pengajaran dan pembelajaran yang otentik.

Kemdikbud harus berani merombak dan merevisi kebijakan pendidikan yang inkoheren dalam rangka melahirkan sekolah sebagai komunitas moral yang fokus pada penumbuhan semangat pembelajar yang otentik. Caranya adalah dengan menghapuskan konsep KKM, merevisi kriteria penilaian sikap, menghilangkan kebijakan jalur seleksi masuk PTN undangan tanpa tes dengan kuota 50 persen, dan melepaskan UN sebagai syarat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya dan merevisi penilaian sikap.

Mewujudkan ekosistem pendidikan dan kebudayaan yang berkarakter hanya mungkin bila Kemdikbud berani merevisi berbagai kebijakan pendidikan yang kontraproduktif bagi lahirnya ekosistem moral pendidikan yang bermakna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar