Selasa, 12 Januari 2016

Masa Depan Insinyur Kita di Era MEA

Masa Depan Insinyur Kita di Era MEA

Ki Supriyoko  ;  Dosen Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Jogjakarta;
Anggota Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) Indonesia
                                                      JAWA POS, 08 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

INDONESIA terlibat aktif dalam lahir dan berlakunya Mutual Recognition Arrangement (MRA) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari kerja sama Masyarakat Ekonomi ASEAN alias MEA yang resmi dimulai 31 Desember 2015.
Salah satu yang diatur dalam MRA tersebut adalah dibukanya keran persaingan insinyur antarnegara ASEAN. Bahasa mudahnya, para insinyur akan lebih mudah keluarmasuk antarnegara ASEAN.

Insinyur Indonesia bakal lebih mudah masuk ke Singapura, Malaysia, Filipina, dan negara-negara ASEAN lainnya. Sebaliknya, insinyur Thailand, Vietnam, Brunei Darussalam, dan negara-negara ASEAN lainnya akan lebih mudah masuk dan bekerja di Indonesia.

Tiga Kendala

Kalau kita cermati isi MRA, insinyur bukan satu-satunya profesi yang keran persaingannya dibuka. Dalam MRA, ada delapan profesi yang keran persaingannya dibuka. Selain insinyur, ada arsitek, tenaga terampil pariwisata, akuntan, dokter gigi, tenaga survei, praktisi medis, dan perawat. Artinya, delapan profesi itu harus mampu saling bersaing, tentu tidak melupakan bersanding, kalau ingin tetap eksis dalam profesinya.

Apakah insinyur Indonesia benarbenar sudah siap bersaing dengan insinyur dari Singapura, Thailand, Malaysia, dan negara-negara ASEAN pada umumnya? Pertanyaan itulah yang wajib dijawab dengan baik; tentu bukan sekadar jawaban secara orasional, tetapi jawaban dengan komitmen dan karya nyata.

Sebagaimana secara eksplisit disebutkan dalam Undang-Undang (UU) No 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran, yang dimaksud insinyur adalah seseorang yang mempunyai gelar profesi di bidang keinsinyuran. Yang dimaksud gelar profesi di bidang keinsinyuran dalam UU itu tentu bukan sematamata gelar insinyur (Ir). Namun, ada gelar lain seperti sarjana teknik (ST), magister teknik (MT), master of engineering (MEng), dan Diplom Ingenieur (Dipl Ing).

Sekarang ini terdapat tiga kendala yang dihadapi insinyur Indonesia. Yaitu, kendala kuantitas, kualitas, dan relevansitas. Dari kendala kuantitas, sekarang diperkirakan Indonesia memiliki sekitar 700 ribu insinyur.

Jumlah itu masih kurang untuk memberhasilkan pembangunan nasional. Kekurangannya diperkirakan 36 ribu–40 ribu insinyur setiap tahun. Jumlah kekurangan itu relatif besar kalau dibandingkan dengan kapasitas perguruan tinggi di Indonesia penghasil insinyur. Untungnya, banyak putra Indonesia yang mengambil gelar profesi keinsinyuran di perguruan tinggi yang kredibel di mancanegara.

Dari kendala kualitas, sekarang belum semua insinyur Indonesia tersertifikasi profesi keinsinyuran yang menjadi salah satu rambu terciptanya insinyur yang berkualitas. Lahirnya insinyur dari program studi dan/atau institusi perguruan tinggi yang peringkat akreditasinya tidak maksimal (A) menambah jumlah insinyur yang kualitasnya tidak maksimal juga.

Dari kendala relevansitas, sekarang banyak insinyur Indonesia yang bekerja bukan pada bidang keinsinyuran mereka. Jumlah mereka diperkirakan lebih separo. Artinya, lebih banyak insinyur yang bekerja tidak di bidang keinsinyuran daripada di bidang keinsinyuran mereka.

Salah satu penyebabnya adalah remunerasi, menyangkut penghasilan pada pekerjaan-pekerjaan yang bukan bidang keinsinyuran justru mendapat penghasilan yang lebih tinggi.

Insinyur Asing

Apakah realitas kurangnya insinyur untuk memberhasilkan pembangunan di Indonesia itu justru akan memperlancar masuknya insinyur asing di negara kita?

Apabila kita mengacu pada konsep MEA umumnya serta MRA khususnya, masuknya insinyur asing ke Indonesia akan semakin mudah dengan kondisi seperti tersebut di atas. Di satu sisi, kita kekurangan insinyur berkualitas. Di sisi lain, masuknya insinyur asing dipermudah MEA dan MRA.

Bukankah kita sudah memiliki UU Keinsinyuran? Apakah UU tersebut tidak bisa mencegah masuknya insinyur asing ke Indonesia? Pasal 18 UU Keinsinyuran mengatur insinyur asing yang boleh bekerja di Indonesia, yaitu harus memiliki surat izin kerja tenaga asing. Bahkan, untuk mendapat surat izin itu, diperlukan surat tanda registrasi insinyur dari Persatuan Insinyur Indonesia (PII).

Itu berarti, meskipun Indonesia sudah menjalani MEA serta bersetuju dengan ketentuan MRA, masuknya insinyur asing tetap bergantung pada pemerintah dan PII. Artinya, meskipun kita menjalani era MEA, masa depan insinyur Indonesia tetap berada di tangan pemerintah, organisasi keinsinyuran, dan diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar