Masa
Depan Insinyur Kita di Era MEA
Ki Supriyoko ; Dosen Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Jogjakarta;
Anggota Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi
(BAN-PT) Indonesia
|
JAWA
POS, 08 Januari 2016
INDONESIA
terlibat aktif dalam lahir dan berlakunya Mutual Recognition Arrangement
(MRA) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari kerja sama Masyarakat
Ekonomi ASEAN alias MEA yang resmi dimulai 31 Desember 2015.
Salah satu
yang diatur dalam MRA tersebut adalah dibukanya keran persaingan insinyur
antarnegara ASEAN. Bahasa mudahnya, para insinyur akan lebih mudah
keluarmasuk antarnegara ASEAN.
Insinyur
Indonesia bakal lebih mudah masuk ke Singapura, Malaysia, Filipina, dan
negara-negara ASEAN lainnya. Sebaliknya, insinyur Thailand, Vietnam, Brunei
Darussalam, dan negara-negara ASEAN lainnya akan lebih mudah masuk dan
bekerja di Indonesia.
Tiga Kendala
Kalau kita
cermati isi MRA, insinyur bukan satu-satunya profesi yang keran persaingannya
dibuka. Dalam MRA, ada delapan profesi yang keran persaingannya dibuka.
Selain insinyur, ada arsitek, tenaga terampil pariwisata, akuntan, dokter
gigi, tenaga survei, praktisi medis, dan perawat. Artinya, delapan profesi
itu harus mampu saling bersaing, tentu tidak melupakan bersanding, kalau
ingin tetap eksis dalam profesinya.
Apakah
insinyur Indonesia benarbenar sudah siap bersaing dengan insinyur dari
Singapura, Thailand, Malaysia, dan negara-negara ASEAN pada umumnya?
Pertanyaan itulah yang wajib dijawab dengan baik; tentu bukan sekadar jawaban
secara orasional, tetapi jawaban dengan komitmen dan karya nyata.
Sebagaimana
secara eksplisit disebutkan dalam Undang-Undang (UU) No 11 Tahun 2014 tentang
Keinsinyuran, yang dimaksud insinyur adalah seseorang yang mempunyai gelar
profesi di bidang keinsinyuran. Yang dimaksud gelar profesi di bidang
keinsinyuran dalam UU itu tentu bukan sematamata gelar insinyur (Ir). Namun,
ada gelar lain seperti sarjana teknik (ST), magister teknik (MT), master of
engineering (MEng), dan Diplom Ingenieur (Dipl Ing).
Sekarang ini
terdapat tiga kendala yang dihadapi insinyur Indonesia. Yaitu, kendala
kuantitas, kualitas, dan relevansitas. Dari kendala kuantitas, sekarang
diperkirakan Indonesia memiliki sekitar 700 ribu insinyur.
Jumlah itu
masih kurang untuk memberhasilkan pembangunan nasional. Kekurangannya
diperkirakan 36 ribu–40 ribu insinyur setiap tahun. Jumlah kekurangan itu
relatif besar kalau dibandingkan dengan kapasitas perguruan tinggi di
Indonesia penghasil insinyur. Untungnya, banyak putra Indonesia yang
mengambil gelar profesi keinsinyuran di perguruan tinggi yang kredibel di
mancanegara.
Dari kendala
kualitas, sekarang belum semua insinyur Indonesia tersertifikasi profesi
keinsinyuran yang menjadi salah satu rambu terciptanya insinyur yang
berkualitas. Lahirnya insinyur dari program studi dan/atau institusi
perguruan tinggi yang peringkat akreditasinya tidak maksimal (A) menambah
jumlah insinyur yang kualitasnya tidak maksimal juga.
Dari kendala
relevansitas, sekarang banyak insinyur Indonesia yang bekerja bukan pada bidang
keinsinyuran mereka. Jumlah mereka diperkirakan lebih separo. Artinya, lebih
banyak insinyur yang bekerja tidak di bidang keinsinyuran daripada di bidang
keinsinyuran mereka.
Salah satu
penyebabnya adalah remunerasi, menyangkut penghasilan pada pekerjaan-pekerjaan
yang bukan bidang keinsinyuran justru mendapat penghasilan yang lebih tinggi.
Insinyur Asing
Apakah
realitas kurangnya insinyur untuk memberhasilkan pembangunan di Indonesia itu
justru akan memperlancar masuknya insinyur asing di negara kita?
Apabila kita
mengacu pada konsep MEA umumnya serta MRA khususnya, masuknya insinyur asing
ke Indonesia akan semakin mudah dengan kondisi seperti tersebut di atas. Di
satu sisi, kita kekurangan insinyur berkualitas. Di sisi lain, masuknya
insinyur asing dipermudah MEA dan MRA.
Bukankah kita
sudah memiliki UU Keinsinyuran? Apakah UU tersebut tidak bisa mencegah
masuknya insinyur asing ke Indonesia? Pasal 18 UU Keinsinyuran mengatur
insinyur asing yang boleh bekerja di Indonesia, yaitu harus memiliki surat izin
kerja tenaga asing. Bahkan, untuk mendapat surat izin itu, diperlukan surat
tanda registrasi insinyur dari Persatuan Insinyur Indonesia (PII).
Itu berarti, meskipun Indonesia
sudah menjalani MEA serta bersetuju dengan ketentuan MRA, masuknya insinyur
asing tetap bergantung pada pemerintah dan PII. Artinya, meskipun kita
menjalani era MEA, masa depan insinyur Indonesia tetap berada di tangan
pemerintah, organisasi keinsinyuran, dan diri sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar