PGRI
vs Pemerintah
Jejen Musfah ; Dosen Analisis Kebijakan Pendidikan UIN
Jakarta
|
KORAN
SINDO, 08 Januari 2016
Sukses bidang pendidikan pada 2016 ini akan bergantung pada
kemampuan pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam menjadikan masa lalu
sebagai penghidup masa depan. Bukan sebaliknya, masa lalu yang membunuh masa
depan. Pemerintah, organisasi keguruan, dan individu harus mampu belajar dari
pengalaman pahit dan manis pada 2015.
Akhir 2015 dunia pendidikan ditandai dengan friksi antara
organisasi guru terbesar yaitu PGRI dan pemerintah. Hal ini cukup mengejutkan
karena semestinya keduanya berjalan seiring sejalan dalam agenda peningkatan
kualitas pendidikan yang semakin baik, khususnya guru yang jumlahnya hampir 3
juta orang.
Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Yuddy Chrisnandi dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan
melarang guru-guru di berbagai daerah ikut perayaan HUT Ke-70 PGRI di GBK, 13
Desember 2015. Alih-alih mematuhi larangan itu, guru-guru tetap datang ke
Jakarta hingga berjumlah sekitar 100.000 guru dari berbagai daerah. Ini
melebihi kapasitas GBK yang berkapasitas 88.306 orang.
Respons
Pemerintah
Tentu hanya Yuddy Chrisnandi dan Anies Baswedan yang tahu pasti
apa alasan larangan tersebut. Tetapi, jika merunut ke belakang, bisa jadi ini
terkait eksistensi guru honorer yang nasibnya belum jelas, bahkan terombang-ambing.
Guru honorer menuntut pemerintah dan DPR segera mengangkat mereka menjadi
CPNS, sebagaimana janji pemerintah sebelumnya.
Akhir-akhir ini guru honorer semakin sering melakukan demo
besar-besaran menuntut hak mereka. Kecuali itu, mungkin pemerintah menilai
PGRI selama ini terlalu kritis terhadap pemerintah. Suara PGRI sering
berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Misalnya, kebijakan UKG pada 2015
ini. PGRI menilai UKG tidak akan efektif karena hasil UKG pada periode 2012
sebagai contoh tidak pernah ditindaklanjuti dengan pelatihan.
Konflik antara PGRI dan wakil pemerintah berlanjut dengan tidak
hadirnya dua menteri tersebut di GBK. Terlepas diundang atau tidak diundang,
yang pasti ada masalah komunikasi di antara mereka. Presiden pun tidak hadir
dan hanya diwakili oleh Puan Maharani, menteri koordinator bidang pembangunan
manusia dan kebudayaan. Komitmen pemerintah terhadap guru pun dipertanyakan.
Respons kekecewaan pemerintah terhadap PGRI sangatlah tidak
dewasa, emosional, dan terkesan terburu-buru, tanpa pemikiran yang matang.
Seharusnya pemerintah memberi contoh yang baik dalam mengambil
kebijakan. Larangan itu tidak menyelesaikan masalah yang ada antara keduanya,
tetapi menimbulkan masalah baru. Pemerintah bertanggung jawab segera
menghentikan friksi ini sehingga keduanya bisa bersama-sama melakukan kerja
produktif untuk kebaikan guru pada masa datang. Jika tidak, komitmen
pemerintah dalam mengurai masalah pendidikan yang sangat kompleks, khususnya
guru, patut diragukan.
Sikap positif dilakukan Anies yaitu menghadiri HGN dan HUT Ke-70
PGRI, 19 Desember 2015 di Kabupaten Banyuwangi. Sikap dua kementerian itu
tidak seharusnya terjadi karena PGRI adalah mitra pemerintah. Program
pemerintah terkait guru akan berjalan lebih baik jika melibatkan PGRI karena
ia memahami tentang kondisi dan masalah-masalah guru.
PGRI yang memiliki cabang hampir di seluruh kepulauan Nusantara
merupakan mitra yang potensial bagi pemerintah pusat maupun daerah.
Berdasarkan data Maret 2014, kepengurusan PGRI terdapat di 33 provinsi, 350
kabupaten/ kota, 4126 kecamatan, dan 68.139 desa. Terdapat 1,6 juta orang
anggota PGRI. Mengikuti perayaan HUT PGRI tidak akan mengurangi citra guru
profesional– sebagaimana disampaikan pemerintah. Sebaliknya, salah satu ciri
guru profesional adalah keikutsertaan guru dalam organisasi profesi, sebagaimana
diamanahkan regulasi.
Organisasi profesi adalah wadah pengembangan kompetensi guru,
sekaligus tempat guru menyampaikan, menghimpun, dan mencarikan jawaban
masalah-masalah terkait keguruan, baik internal maupun eksternal.
Sikap Guru
Kasus di atas menimbulkan kekecewaan guru-guru dari berbagai
daerah yang hadir di GBK. Akibatnya, saat Puan Maharani membacakan sambutan
Presiden, berkali-kali guru meneriakinya. Ia bahkan sampai meminta
persetujuan hadirin untuk melanjutkan sambutan atau tidak karena kesal. Meski
Puan seorang menteri dan hadir mewakili Presiden, guru seolah memandangnya
bukan very very important person–sebagaimana
biasanya seorang menteri hadir dalam sebuah acara.
Secara spontan, guru-guru meluapkan kekecewaannya dengan cara berteriak
di hadapan pejabat pemerintah, dalam hal ini Puan. Sikap para guru itu sangat
disayangkan karena menunjukkan sikap tidak dewasa dalam menghadapi masalah.
Guru seharusnya mampu menahan amarah mereka meski persoalan yang dihadapinya
tidaklah ringan. Memberi kesempatan orang bicara dan mendengarkannya dengan
baik merupakan karakter baik. Sikap sebaliknya, apa pun alasannya, adalah
karakter buruk.
Sebagai manusia, Puan pasti kecewa dengan hal tersebut. Tetapi,
semoga ia memaklumi dan memaafkan para guru yang sudah tidak menghargainya.
Sebagai menteri, ia punya kapasitas dan kewenangan untuk menyelesaikan
persoalan guru. Tentu bukan sendirian. Dia bersama Anies Baswedan, Yuddy
Chrisnandi, dan Mohamad Nasir duduk bersama untuk mengurai satu persatu permasalahan
guru.
Catatan lainnya buat guru adalah sampah bekas nasi kotak yang
berserakan di halaman sekitar GBK. Kondisi ini bertentangan dengan apa yang
selalu diajarkan guru di depan kelas dan di sekolah. Membuang sampah pada
tempatnya dan kebersihan merupakan karakter dasar yang harus ditanamkan
kepada siswa di sekolah. Hal ini tidak akan berhasil jika para guru sendiri
tidak memberi contoh yang baik kepada siswa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar