Selasa, 12 Januari 2016

Konflik Iran-Saudi dan Kompleksitas Masa Depan Islam

Konflik Iran-Saudi

dan Kompleksitas Masa Depan Islam

M Bambang Pranowo  ;  Guru Besar UIN Jakarta;
Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, Banten
                                                  KORAN SINDO, 08 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dunia Islam di Timur Tengah kembali memanas. Pascaeksekusi mati ulama Syiah, Syekh Nimr al-Nimr oleh Pemerintah Saudi (2/1), rakyat dan pemerintah Iran meradang. Hanya beberapa saat setelah eksekusi al-Nimr, Kantor Kedutaan Besar dan Konsulat Saudi di Teheran diserang ratusan pemuda Iran yang marah. Kantor kedubes dan konsulat diobrak-abrik.

Rezim Arab Saudi yang merasa tidak bersalah (karena asumsinya, menghukum al-Nimr sebagai teroris dan pemberontak) pun bereaksi keras. Puncaknya, Minggu (3/1) malam Saudi pun mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Iran. Keputusan Saudi ini kemudian diikuti negara-negara Arab sekutunya. Sudan, Kuwait, Qatar, dan Oman mengikuti jejak Saudi memutuskan hubungan dengan Iran. Uni Emirat Arab (UEA)–mitra dagang terbesar Iran di Timur Tengah–meski tidak memutuskan hubungan diplomatik, menurunkan tingkat hubungan diplomatiknya dengan Iran. Akankah Bahrain, Mesir, dan Turki juga akan memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran?

Bagi dunia Islam, krisis Iran dan Saudi akan sangat besar pengaruhnya bagi masa depan Islam. Ini karena Iran selama ini dianggap sebagai representasi Syiah. Sedangkan Saudi, konon, dianggap sebagai representasi Sunni–dua mazhab terbesar dalam dunia Islam. Meski masih muncul perdebatan, apakah Wahabi–aliran yang diikuti Kerajaan Saudi ini Sunni atau bukan, tapi dalam krisis politik kali ini, niscaya Saudi akan menyebut dirinya Sunni agar mendapat banyak dukungan dari negara-negara Islam yang mayoritas Sunni.

Krisis Iran dan Saudi ini dilihat dari konteks global sangat mungkin akan membesar. Soalnya kita tahu, di belakang Saudi ada Amerika dan di belakang Iran ada Rusia dan China. Meski Amerika, Rusia, dan China tidak langsung terlibat dalam konflik ini, tapi tiga negara tersebut niscaya akan mengelompok untuk mendukung ”mitra-mitra” terdekatnya guna memperluas pengaruhnya di kawasan Timur Tengah.

Secara tradisional, pengelompokan itu sudah diketahui. AS ke Arab Saudi, sedangkan Rusia dan China ke Iran. Thomas Erdbrinkjan dalam artikelnya di New York Times (3/1) menyatakan posisi AS sebetulnya dilematis. Hubungan Teheran dan Washington sebetulnya mulai cair setelah Iran mengikuti kehendak Barat untuk menghentikan pabrik pengayaan uraniumnya (yang ditengarai sebagai upaya Iran membangun senjata nuklir).

Jerman misalnya sudah mulai melakukan penjajakan kerja sama ekonomi dengan Iran. Begitu juga Inggris dan Prancis. Obama juga mengecam hukuman mati al-Nimr karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Di pihak lain, sejak Barat menghentikan embargo ekonominya terhadap Iran, Juli 2014, pascakeberhasilan perundingan nuklir Iran-Barat, Arab Saudi merasa ”ditinggalkan” AS.

Sementara AS, sejak ditemukan sumber minyak serpih (shale oil/shale gas) di wilayahnya yang jumlahnya cukup besar untuk menghilangkan ketergantungan dari suplai minyak Saudi, mulai melebarkan pengaruhnya di Timur Tengah tanpa menimbang-nimbang kemauan Riyad. AS tidak hanya ”merangkul” Saudi, negeri penghasil minyak terbesar di Timur Tengah (10 juta barel per hari), tapi juga Iran dan Irak yang kini dikuasai rezim Syiah.

Bagi AS, mendekati Iran sangat strategis karena tiga hal. Pertama , mengurangi ancaman terhadap Israel. Kedua, memperlemah hubungan Iran dan Rusia sebab aliansi Rusia-Iran akan makin memperlemah pengaruh AS di Timur Tengah. Ketiga, kedekatan AS terhadap Iran dan Irak bisa memperlemah Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) yang sekarang menjadi ”monster” di kawasan Timur Tengah. Tapi, benarkah AS anti-ISIS?

Donald Trump menyatakan bahwa ISIS sebetulnya ”made in” USA. Kebijakan Presiden Bush untuk menghancurkan rezim Saddam di Irak yang dituduh menyimpan senjata pembunuh massal berakibat fatal. Pascakejatuhan Saddam, Irak yang sekuler, justru berubah menjadi negeri ”demokrasi” Syiah. Kaum Sunni Irak yang jumlahnya 20% dari populasi dan mantan petinggi militer Saddam yang tak puas dengan kebijakan AS bersatu dan kemudian membentuk (Islamic State of Irak (ISI) di bawah kepemimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi, seorang mantan perwira tinggi militer Irak pro-Saddam.

Dengan banyaknya militer pro-Saddam yang bergabung ke ISI inilah, kemudian mereka mampu menaklukkan Ramadi, Mosul, dan Falujah, tiga kota terbesar di Irak setelah Baghdad. Kehadiran ISIS juga menarik kaum Sunni di Suriah, negeri berpenduduk 22 jutaan dengan mayoritas Sunni, tapi dipimpin rezim Syiah Allawit. Gelombang demokratisasi yang melanda Suriah (Arab Spring) kemudian memunculkan faksi-faksi pemberontak Sunni di Suriah. Dari faksi-faksi tersebut, beberapa di antaranya bergabung dengan ISI sehingga terbentuklah Islamic State of Irak and Syria (ISIS).

Krisis politik di Suriah kemudian menjadi problematis. Arab Saudi dan AS misalnya menghendaki Presiden Suriah Bashar Al-Assad mundur. Sementara Iran, Rusia, dan China mendukung Assad. Di pihak lain, ISIS menghendaki Assad turun. Ini dilematis. Ketika Rusia mengumumkan keterlibatannya untuk menghancurkan ISIS di Suriah, AS, Inggris, dan Prancis tidak percaya sebab sangat mungkin jet-jet tempur Rusia tidak fokus menghancurkan ISIS, tapi justru menghancurkan pasukan oposisi Suriah yang ingin menjatuhkan Assad.

Bagaimana strategi AS sendiri di Suriah? Ini pun dilematis. Jika AS menghancurkan ISIS di Suriah, berarti tujuan pendongkelan Assad tidak tercapai. Tapi, jika AS mendukung Saudi menghancurkan rezim Assad, kondisinya makin runyam sebab harus berhadapan dengan aliansi kekuatan Rusia, China, dan Iran. Inilah yang membuat Washington ambigu! Mantan Menlu AS Henry Kissinger misalnya menyatakan, bagi AS, penghancuran ISIS jauh lebih penting ketimbang menjatuhkan Assad.

Faktanya, gerakan ISIS makin luas. Setelah kota wisata Palmyra di Suriah jatuh ke ISIS, kelompok oposisi Assad dan Saudi makin lemah tuntutannya terhadap pengunduran diri Assad. Di pihak lain, tuduhan bahwa AS ”mempersenjatai” ISIS juga makin kuat. Ofensif ISIS yang terakhir ini, yang berhasil merebut Palmyra dimungkinkan karena ”masuknya” senjata-senjata AS ke tangan ISIS. PM Irak Al-Abadai mengakui bahwa ISIS menyita 2300 Humvee bersenjata seharga lebih dari satu miliar dolar, sementara pejabat militer AS di Irak, Peter Van Buren, melaporkan bahwa paling sedikit 74.000 senjata bermesin dan 52 M 198 Howitzer mobile gun system jatuh ke tangan milisi Islam.

Fakta ini menunjukkan, memang ada suplai senjata besar-besaran ke ISIS dari Washington. Fakta ini juga menunjukkan ada faksi-faksi di militer dan intelijen AS yang berbeda kebijakannya dalam menangani ISIS di Suriah dan Irak (Tresno, 2015). Pertanyaannya, kenapa sikap AS membingungkan dalam krisis Timur Tengah ini? Kenapa AS berusaha ”membasmi” ISIS dan kelompok jihadis di Timur Tengah, tapi di pihak lain mensponsori kelompok teroris di Provinsi Uighur, Xinjiang, China? Kenapa Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan peperangan menghadapi ISIS hanya sandiwara?

Jawabannya: perebutan pengaruh AS dan China. Seorang analis politik China menyatakan, sekarang AS sedang berusaha ”mengganggu” pasokan minyak China dari Timur Tengah. Setelah AS merasa punya kemandirian energi (sejak ditemukan shale oil), kebijakan AS adalah bagaimana membuat China ”pingsan” akibat kurangnya pasokan minyak dari Timur Tengah. Ini karena saingan AS ke depan di dunia internasional bukan lagi Uni Soviet, tapi China.

Di satu sisi, AS berupaya melemahkan harga minyak agar Rusia (penghasil minyak terbesar dunia non-OPEC, 10,2 juta barel per hari) kehilangan sumber utama penghasilannya. Di pihak lain, bagaimana AS mempersempit suplai minyak dari Timur Tengah ke China. Dengan demikian, AS sebetulnya bermain dengan empat kaki di Timur Tengah (pura-pura anti-ISIS, pura-pura pro-Saudi menggusur Assad, pura-pura mendekati Iran dan Irak, dan memperkuat terorisme di Xinjiang). Tujuannya sebetulnya satu: bagaimana AS tetap menjadi super power dunia. Jangan sampai China mengalahkan kedigdayaan AS.

Dari perspektif inilah, kita melihat krisis Iran-Saudi. Konflik ini hanya menguntungkan Washington dan merusak dunia Islam. Dengan kompleksitas masalah tersebut, sudah waktunya Iran dan Saudi berpikir jernih–untuk apa krisis ”Sunni-Syi’ah” itu dilanjutkan? Bukankah Saudi dan Iran sama-sama mengaku Islam?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar