Konflik
Iran-Saudi
dan
Kompleksitas Masa Depan Islam
M Bambang Pranowo ; Guru Besar UIN Jakarta;
Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, Banten
|
KORAN
SINDO, 08 Januari 2016
Dunia Islam di Timur Tengah kembali memanas. Pascaeksekusi mati ulama
Syiah, Syekh Nimr al-Nimr oleh Pemerintah Saudi (2/1), rakyat dan pemerintah
Iran meradang. Hanya beberapa saat setelah eksekusi al-Nimr, Kantor Kedutaan
Besar dan Konsulat Saudi di Teheran diserang ratusan pemuda Iran yang marah.
Kantor kedubes dan konsulat diobrak-abrik.
Rezim Arab Saudi yang merasa tidak bersalah (karena asumsinya,
menghukum al-Nimr sebagai teroris dan pemberontak) pun bereaksi keras.
Puncaknya, Minggu (3/1) malam Saudi pun mengumumkan pemutusan hubungan
diplomatik dengan Iran. Keputusan Saudi ini kemudian diikuti negara-negara
Arab sekutunya. Sudan, Kuwait, Qatar, dan Oman mengikuti jejak Saudi
memutuskan hubungan dengan Iran. Uni Emirat Arab (UEA)–mitra dagang terbesar
Iran di Timur Tengah–meski tidak memutuskan hubungan diplomatik, menurunkan
tingkat hubungan diplomatiknya dengan Iran. Akankah Bahrain, Mesir, dan Turki
juga akan memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran?
Bagi dunia Islam, krisis Iran dan Saudi akan sangat besar
pengaruhnya bagi masa depan Islam. Ini karena Iran selama ini dianggap
sebagai representasi Syiah. Sedangkan Saudi, konon, dianggap sebagai
representasi Sunni–dua mazhab terbesar dalam dunia Islam. Meski masih muncul
perdebatan, apakah Wahabi–aliran yang diikuti Kerajaan Saudi ini Sunni atau
bukan, tapi dalam krisis politik kali ini, niscaya Saudi akan menyebut
dirinya Sunni agar mendapat banyak dukungan dari negara-negara Islam yang
mayoritas Sunni.
Krisis Iran dan Saudi ini dilihat dari konteks global sangat
mungkin akan membesar. Soalnya kita tahu, di belakang Saudi ada Amerika dan
di belakang Iran ada Rusia dan China. Meski Amerika, Rusia, dan China tidak
langsung terlibat dalam konflik ini, tapi tiga negara tersebut niscaya akan
mengelompok untuk mendukung ”mitra-mitra” terdekatnya guna memperluas pengaruhnya
di kawasan Timur Tengah.
Secara tradisional, pengelompokan itu sudah diketahui. AS ke
Arab Saudi, sedangkan Rusia dan China ke Iran. Thomas Erdbrinkjan dalam
artikelnya di New York Times (3/1) menyatakan posisi AS sebetulnya dilematis.
Hubungan Teheran dan Washington sebetulnya mulai cair setelah Iran mengikuti
kehendak Barat untuk menghentikan pabrik pengayaan uraniumnya (yang
ditengarai sebagai upaya Iran membangun senjata nuklir).
Jerman misalnya sudah mulai melakukan penjajakan kerja sama
ekonomi dengan Iran. Begitu juga Inggris dan Prancis. Obama juga mengecam
hukuman mati al-Nimr karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi
manusia (HAM). Di pihak lain, sejak Barat menghentikan embargo ekonominya
terhadap Iran, Juli 2014, pascakeberhasilan perundingan nuklir Iran-Barat,
Arab Saudi merasa ”ditinggalkan” AS.
Sementara AS, sejak ditemukan sumber minyak serpih (shale oil/shale gas) di wilayahnya
yang jumlahnya cukup besar untuk menghilangkan ketergantungan dari suplai
minyak Saudi, mulai melebarkan pengaruhnya di Timur Tengah tanpa menimbang-nimbang
kemauan Riyad. AS tidak hanya ”merangkul” Saudi, negeri penghasil minyak
terbesar di Timur Tengah (10 juta barel per hari), tapi juga Iran dan Irak
yang kini dikuasai rezim Syiah.
Bagi AS, mendekati Iran sangat strategis karena tiga hal.
Pertama , mengurangi ancaman terhadap Israel. Kedua, memperlemah hubungan
Iran dan Rusia sebab aliansi Rusia-Iran akan makin memperlemah pengaruh AS di
Timur Tengah. Ketiga, kedekatan AS terhadap Iran dan Irak bisa memperlemah
Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) yang sekarang menjadi ”monster” di
kawasan Timur Tengah. Tapi, benarkah AS anti-ISIS?
Donald Trump menyatakan bahwa ISIS sebetulnya ”made in” USA.
Kebijakan Presiden Bush untuk menghancurkan rezim Saddam di Irak yang dituduh
menyimpan senjata pembunuh massal berakibat fatal. Pascakejatuhan Saddam,
Irak yang sekuler, justru berubah menjadi negeri ”demokrasi” Syiah. Kaum
Sunni Irak yang jumlahnya 20% dari populasi dan mantan petinggi militer Saddam
yang tak puas dengan kebijakan AS bersatu dan kemudian membentuk (Islamic State of Irak (ISI) di bawah
kepemimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi, seorang mantan perwira tinggi militer
Irak pro-Saddam.
Dengan banyaknya militer pro-Saddam yang bergabung ke ISI
inilah, kemudian mereka mampu menaklukkan Ramadi, Mosul, dan Falujah, tiga
kota terbesar di Irak setelah Baghdad. Kehadiran ISIS juga menarik kaum Sunni
di Suriah, negeri berpenduduk 22 jutaan dengan mayoritas Sunni, tapi dipimpin
rezim Syiah Allawit. Gelombang demokratisasi yang melanda Suriah (Arab Spring) kemudian memunculkan
faksi-faksi pemberontak Sunni di Suriah. Dari faksi-faksi tersebut, beberapa
di antaranya bergabung dengan ISI sehingga terbentuklah Islamic State of Irak and Syria (ISIS).
Krisis politik di Suriah kemudian menjadi problematis. Arab
Saudi dan AS misalnya menghendaki Presiden Suriah Bashar Al-Assad mundur.
Sementara Iran, Rusia, dan China mendukung Assad. Di pihak lain, ISIS
menghendaki Assad turun. Ini dilematis. Ketika Rusia mengumumkan
keterlibatannya untuk menghancurkan ISIS di Suriah, AS, Inggris, dan Prancis
tidak percaya sebab sangat mungkin jet-jet tempur Rusia tidak fokus
menghancurkan ISIS, tapi justru menghancurkan pasukan oposisi Suriah yang
ingin menjatuhkan Assad.
Bagaimana strategi AS sendiri di Suriah? Ini pun dilematis. Jika
AS menghancurkan ISIS di Suriah, berarti tujuan pendongkelan Assad tidak
tercapai. Tapi, jika AS mendukung Saudi menghancurkan rezim Assad, kondisinya
makin runyam sebab harus berhadapan dengan aliansi kekuatan Rusia, China, dan
Iran. Inilah yang membuat Washington ambigu! Mantan Menlu AS Henry Kissinger
misalnya menyatakan, bagi AS, penghancuran ISIS jauh lebih penting ketimbang
menjatuhkan Assad.
Faktanya, gerakan ISIS makin luas. Setelah kota wisata Palmyra
di Suriah jatuh ke ISIS, kelompok oposisi Assad dan Saudi makin lemah
tuntutannya terhadap pengunduran diri Assad. Di pihak lain, tuduhan bahwa AS
”mempersenjatai” ISIS juga makin kuat. Ofensif ISIS yang terakhir ini, yang
berhasil merebut Palmyra dimungkinkan karena ”masuknya” senjata-senjata AS ke
tangan ISIS. PM Irak Al-Abadai mengakui bahwa ISIS menyita 2300 Humvee
bersenjata seharga lebih dari satu miliar dolar, sementara pejabat militer AS
di Irak, Peter Van Buren, melaporkan bahwa paling sedikit 74.000 senjata
bermesin dan 52 M 198 Howitzer mobile gun system jatuh ke tangan milisi
Islam.
Fakta ini menunjukkan, memang ada suplai senjata besar-besaran
ke ISIS dari Washington. Fakta ini juga menunjukkan ada faksi-faksi di
militer dan intelijen AS yang berbeda kebijakannya dalam menangani ISIS di
Suriah dan Irak (Tresno, 2015). Pertanyaannya, kenapa sikap AS membingungkan
dalam krisis Timur Tengah ini? Kenapa AS berusaha ”membasmi” ISIS dan
kelompok jihadis di Timur Tengah, tapi di pihak lain mensponsori kelompok
teroris di Provinsi Uighur, Xinjiang, China? Kenapa Presiden Turki Recep
Tayyip Erdogan menyatakan peperangan menghadapi ISIS hanya sandiwara?
Jawabannya: perebutan pengaruh AS dan China. Seorang analis
politik China menyatakan, sekarang AS sedang berusaha ”mengganggu” pasokan
minyak China dari Timur Tengah. Setelah AS merasa punya kemandirian energi
(sejak ditemukan shale oil),
kebijakan AS adalah bagaimana membuat China ”pingsan” akibat kurangnya
pasokan minyak dari Timur Tengah. Ini karena saingan AS ke depan di dunia
internasional bukan lagi Uni Soviet, tapi China.
Di satu sisi, AS berupaya melemahkan harga minyak agar Rusia
(penghasil minyak terbesar dunia non-OPEC, 10,2 juta barel per hari)
kehilangan sumber utama penghasilannya. Di pihak lain, bagaimana AS
mempersempit suplai minyak dari Timur Tengah ke China. Dengan demikian, AS sebetulnya
bermain dengan empat kaki di Timur Tengah (pura-pura anti-ISIS, pura-pura
pro-Saudi menggusur Assad, pura-pura mendekati Iran dan Irak, dan memperkuat
terorisme di Xinjiang). Tujuannya sebetulnya
satu: bagaimana AS tetap menjadi super
power dunia. Jangan sampai China mengalahkan kedigdayaan AS.
Dari perspektif inilah, kita melihat krisis Iran-Saudi.
Konflik ini hanya menguntungkan Washington dan merusak dunia Islam. Dengan
kompleksitas masalah tersebut, sudah waktunya Iran dan Saudi berpikir
jernih–untuk apa krisis ”Sunni-Syi’ah” itu dilanjutkan? Bukankah Saudi dan
Iran sama-sama mengaku Islam? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar