Selasa, 12 Januari 2016

KPK di Tengah Pesimisme Publik

KPK di Tengah Pesimisme Publik

Jamal Wiwoho  ;  Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret(UNS) Solo
                                                  KORAN SINDO, 08 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setelah dibayang-bayangi oleh kekhawatiran akan mundurnya pemilihan pimpinan KPK sebagai pengganti dari komisioner KPK periode 2011-2015, Komisi III DPR RI pada 17 Desember 2015 telah mengumumkan lima personel komisioner KPK yang baru sebagai hasil dari pemilihan terhadap 10 personel.

Begitu Aziz Syamsudin sebagai ketua Komisi III DPR RI mengumumkan lima pimpinan KPK hasil voting tertutup tersebut, cukup beragam pendapat di masyarakat yang memberikan apresiasi maupun yang ”mencaci” hasilnya. Pendapat yang setuju memberikan apresiasi atas kecermatan dan ketepatan batas waktu pengumuman pemilihan komisioner KPK yang awalnya dibayangi berbagai kekhawatiran karena ada alasan dari DPR yang memandang bahwa 10 nama yang diajukan panitia seleksi belum menggambarkan tebaran aparat penegak hukum yang ada (khususnya dari kejaksaan).

Di samping itu, publik juga mengapresiasi Komisi III karena sebelumnya komisi tersebut diduga akan menambah buruk persepsi publik terhadap sebagian anggota DPR yang menjalankan tugas sebagai Majelis Kehormatan Dewan (MKD) untuk menyidangkan kasus pelanggaran etika terhadap ketua DPR (kala itu) Setya Novanto.

Pada bagian lain, pihak yang kecewa atau pesimistis luar biasa (terutama para aktivis antikorupsi) atas terpilihnya lima komisioner KPK tersebut mempunyai alasan bahwa lima komisioner KPK terpilih tidak memiliki track record sebagai pejuang antikorupsi dan tidak melihat korupsi itu sebagai perbuatan hina karena telah menyengsarakan jutaan penduduk di Indonesia. Lima orang tersebut yang berasal dari Lembaga Kebijakan dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), Polri, Badan Intelijen Nasional (BIN), hakim, serta dosen dianggap sebagai personal-personal ”pelat merah” yang mewakili kepentingan pemerintah dan belum teruji dalam pemberantasan korupsi sebelumnya sehingga mereka dipersepsikan menganggap korupsi bukan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes).

Di samping itu, tidak masuknya Johan Budi dan Busyro Muqoddas sebagai Plt komisioner KPK sebelumnya dianggap sebagai bagian dari skenario DPR untuk mempermudah merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Seperti banyak diketahui publik bahwa pada saat fit and proper test di hadapan Komisi III DPR RI kedua orang inilah yang paling tidak setuju atas revisi UU KPK tersebut, sementara DPR telah merencanakan dan memprioritaskan bahwa pada 2016 akan melakukan revisi UU antirasuah tersebut.

Faktor lainnya disebabkan oleh karena dua orang tersebut saat wawancara paling lantang menolak upaya pencegahan jika dibandingkan dengan upaya penindakan sebagai aktivitas utama KPK. Karena ihwal tersebut, DPR dianggap telah memilih orang-orang yang diduga akan menumpulkan taring KPK dalam usaha pemberantasan korupsi yang makin marak.

Selain itu, ada juga anggapan mereka memilih komisioner KPK untuk menjadi ”anak yang baik dan penurut” pada kemauan DPR, kepolisian, dan kejaksaan sehingga mereka juga dipersepsikan tidak akan mampu mengembalikan marwah lembaga KPK yang dibentuk untuk melaksanakan pemberantasan korupsi secara rasional, intensif, independen, dan aktivitas yang berkesinambungan (sustainable activity).

”Menyalahkan” sepenuhnya pada pilihan DPR atas lima orang komisioner yang baru rupanya bukan merupakan tindakan yang adil, dewasa, dan tidak memihak karena sebagaimana kita ketahui bahwa 10 orang yang diajukan oleh tim ”Sembilan Srikandi ”yang terdiri atas Destri Damayanti, Eny Nurbaningsih, Prof Harkristuti Harkrisnowo, Betty S Alisyahbana, Yenti Garnasih, Supra Winbarti, Natalia Subagyo, Dani Sadiawati, dan Meuthia Gani Rahman sebagai tim panitia seleksi (pansel) yang ditunjuk Presiden Joko Widodo.

Sembilan wanita berlatar belakang sebagai ahli hukum baik hukum pidana, hukum tata negara dan hukum bisnis, ahli ekonomi dan manajemen organisasi, psikologi, sosiologi, dan tata kelola pemerintahan ini telah bekerja keras dengan melibatkan partisipasi publik, Bareskrim, PPATK, BIN, dan sebagainya untuk menjaring 622 pendaftar dan 194 orang yang lolos seleksi administrasi pada akhir Juli 2015 kemudian melakukan serangkaian ujian tulis, ujian lisan atau wawancara, psikologi, kesehatan, dan lainnya. Karena itu, secara realita DPR hanya diberi opsi untuk memilih lima dari 10 orang yang diajukan oleh tim pansel yang diketuai Destri Damayanti tersebut.

Harapan Baru

Harus diakui ada yang merasa puas dan merasa tidak puas atas keterpilihan lima komisioner KPK yang telah diangkat Presiden dengan Keputusan Presiden Nomor 133/P/2015 tentang Pengangkatan Pimpinan KPK Periode 2015-2019 dan telah dilantik Presiden Joko Widodo pada 21 Desember lalu.

Kendati demikian, kita akan lebih bijaksana untuk memberi kesempatan kepada ketua KPK yang baru dan para wakil ketuanya untuk dapat melakukan konsolidasi secara internal dan melakukan adaptasi agar komisioner KPK mampu secara cepat dan tepat menetapkan prosedur kerja (SOP) yang lebih memadahi. Di samping itu, Agus Rahardjo dkk juga diharapkan publik untuk menunjukkan kinerja nyata untuk menjawab tantangan pesimisme publik dengan meningkatkan sinergitas antara aparat penegak hukum lainnya seperti kejaksaan dan kepolisian.

Penulis berpendapat bahwa memvonis lima komisioner KPK sebelum bekerja membuat serangan melawan ganas dan berkembang biaknya korupsi di Indonesia akan kian tersendat. Di samping itu, publik juga masih mengontrol dan meneropong bagaimana sikap, tindakan, dan penanganan terhadap masalah-masalah megakorupsi di Bumi Pertiwi ini (misalnya kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia/ BLBI, Kasus Bank Century, dan sebagainya) yang menjadikan bangsa ini menderita dengan banyak utang dan pengangguran serta kemiskinan yang kian nyata bagi rakyat di Indonesia yang telah ”mulai” ditangani komisioner KPK jilid III.

Masyarakat menunggu janji pimpinan KPK yang dengan gagah berani akan meningkatkan dan memperluas jangkauan operasi tangkap tangan (OTT) dengan tidak mengedepankan penindakan semata, namun penindakan terhadap para koruptor tidak boleh dilemahkan oleh siapa pun atau lembaga mana pun. Semoga KPK jilid IV mampu menunjukkan kinerja yang lebih baik daripada komisionerkomisioner sebelumnya. Selamat bekerja KPK.

Di tangan lima komisioner inilah puluhan atau bahkan ratusan juta rakyat Indonesia menyematkan harapannya dan ingin melihat bahwa ”kau” adalah pilihan yang terbaik untuk menjadi orang-orang terpilih guna melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia dengan keberanian, kejujuran, dan profesional serta nyali besar tanpa bergantung oleh siapa pun dan lembaga mana pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar