Hubungan
Iran-Arab Saudi
Zuhairi Misrawi ; Intelektual Muda Nahdlatul Ulama;
Peneliti The Middle East Institute
|
KOMPAS,
06 Januari 2016
Eksekusi mati Sheikh
Nimr al-Nimr, tokoh utama Syiah di bagian timur Arab Saudi, berbuntut
panjang. Warga Syiah di seantero dunia marah. Massa di Iran membakar kantor
Kedutaan Besar Arab Saudi di Teheran dan demo besar-besaran berlangsung di
sejumlah negara, yakni di Iran, Irak, Pakistan, India, dan Lebanon.
Iran dan Arab Saudi
pun memutus hubungan diplomatik. Ayatollah Ali Khamenei, pemimpin tertinggi
Iran, mengutuk keras eksekusi mati itu karena keputusan Arab Saudi lebih
berlatar belakang politik. Tidak ada alasan yang kuat menghukum mati
seseorang yang mengkritik pemerintahannya. Karena itu, kata Khamenei, Arab
Saudi akan mendapat balasan setimpal.
Meski demikian,
Khamenei tak memberikan penjelasan yang jelas perihal balasan yang setimpal
tersebut. Secara implisit, Khamenei memberikan sinyal bahwa hubungan dengan
Arab Saudi akan makin memburuk di masa mendatang. Fakta di lapangan
membuktikan, sikap Khameini bukan isapan jempol, bahkan diamini oleh
mayoritas warga Iran yang sejak lama punya catatan khusus terhadap Arab
Saudi.
Pasang-surut
Pasca Revolusi 1979,
hubungan Iran-Arab Saudi terus memburuk. Perang Iran-Irak pada 1980-an
merupakan fakta memburuknya hubungan kedua negara karena Arab Saudi
menggelontorkan dana yang cukup besar untuk mendukung Irak.
Pada 1987, bentrokan
saat musim haji di Mekkah yang menewaskan lebih kurang 275 warga Iran telah menyebabkan
demonstrasi besar-besaran di Teheran. Mousa'ad al-Ghamdi, diplomat Arab
Saudi, tewas dalam peristiwa itu. Pada 1988, Raja Fahd resmi memutus hubungan
diplomatik dengan Iran.
Hubungan Iran-Arab
Saudi sempat membaik pada masa kepemimpinan Presiden Khatami yang dikenal
reformis. Pada 1999, Khatami melakukan kunjungan kenegaraan ke Arab Saudi.
Raja Fahd menyampaikan ucapan selamat atas kemenangan Khatami dalam pemilu
presiden. Pada 2001, Iran dan Arab Saudi menandatangani pakta keamanan.
Namun, pasca Khatami,
politik regional mengalami perubahan yang cukup signifikan. Jatuhnya Saddam
Husein yang mengubah peta politik di Irak, program nuklir Iran, dan musim
semi Arab telah memberi warna baru hubungan Iran-Arab Saudi.
Irak pasca invasi
Amerika Serikat menuju ekuilibrium baru dengan naiknya penganut Syiah dalam
panggung politik Negeri Seribu Satu Malam itu. Iran punya amunisi baru untuk
membangun koalisi besar di Timur Tengah. Komunitas Syiah yang sebelumnya
ditekan secara politik oleh Saddam Husein menemukan momentum untuk berperan
aktif di ranah politik.
Bersamaan dengan itu,
Iran semakin gencar memperkuat kekuatan militernya dan mengembangkan nuklir.
Tak hanya Arab Saudi yang ketakutan, tetapi juga negara Barat, khususnya AS.
Bahkan, AS harus memaksa Iran duduk dalam meja perundingan perihal
pengembangan nuklir dengan imbalan mencabut embargo terhadap Iran.
Bagaimanapun, Arab Saudi sangat tidak nyaman dengan kesepakatan nuklir antara
Iran dan negara-negara Barat, khususnya AS.
Musim semi Arab yang bergelayut
di Tunisia dan merambah kawasan di Timur Tengah, seperti Mesir, Yaman,
Bahrain, dan Suriah, semakin memperkeruh hubungan Iran-Arab Saudi. Yaman,
Bahrain, dan Suriah merupakan tiga negara yang bersentuhan langsung secara
politik dengan Arab Saudi dan Iran.
Yaman dan Bahrain
adalah dua negara yang berbatasan langsung dan mitra strategis Arab Saudi.
Sementara penganut Syiah cukup besar jumlahnya di dua negara tersebut.
Bahkan, penganut Syiah di Bahrain merupakan kelompok mayoritas. Meskipun
mayoritas penganut Syiah di Yaman bermazhab Zaydiyah, mereka mempunyai
hubungan dekat dengan Iran yang bermazhab Jakfariyah.
Sebaliknya, Suriah
merupakan mitra strategis Iran, tetapi penduduknya mayoritas Sunni. Hubungan
Iran dan Suriah sebenarnya bukan dilandaskan pada sesama Syiah karena umumnya
warga Syiah Suriah menganut mazhab Alawiyah.
Faktanya, Iran dan
Arab Saudi terlibat dalam perang proksi. Kedua negara tak berperang secara
langsung, tetapi menggunakan pihak lain. Semua tahu Arab Saudi menyokong
penuh rezim Bahrain dan Yaman, sedangkan Iran menyokong pihak oposisi di
Bahrain dan Yaman. Iran juga mendukung penuh rezim Suriah, sedangkan Arab
Saudi mensponsori pihak oposisi di Suriah.
Konflik sektarian
Di balik itu semua,
menurut Vali Nasr (2016), di samping eksekusi mati Sheikh Nimr al-Nimr
semakin memperburuk hubungan Iran-Arab Saudi, sebenarnya ada agenda yang
lebih besar, yaitu narasi sektarian konflik Sunni-Syiah. Pasalnya, tidak ada
alasan kuat untuk menghukum mati Sheikh Nimr al-Nimr. Memvonis Sheikh Nimr
dengan alasan melakukan aksi terorisme amat berlebihan. Tak ada bukti kuat,
apalagi ia disandingkan dengan Faris Suwail, warga Mesir yang menjadi tangan
kanan Ayman al-Zawahiri.
Sejauh ini, narasi
yang dimainkan Arab Saudi berhasil karena warga Syiah di seantero dunia
melakukan aksi demonstrasi besar-besaran, bahkan membakar kantor Kedutaan
Besar Arab Saudi di Teheran. Warga Syiah menggalang solidaritas dan
kepedulian bersama terhadap Sheikh Nimr. Bagi warga Iran, Sheikh Nimr punya
hubungan ideologis yang sangat dekat karena ia lulusan pendidikan keagamaan
di Qom, Iran. Dari kota ini, lahir para ulama dan tokoh politik yang mampu
menginspirasi revolusi di dunia Islam. Imam Khameini, Bapak Revolusi Islam di
Iran, adalah sosok yang ditempa dan dibesarkan di Qom.
Arab Saudi sebenarnya
sedang bermain api dengan mengeksekusi mati Sheikh Nimr. Kalau mau jujur,
Arab Saudi sangat tidak diuntungkan dengan eksekusi tersebut karena Syiah
merupakan paham yang sudah menyejarah dan mengakar kuat di seantero dunia
Islam. Paham Syiah hampir ada di seluruh dunia Islam, tak terkecuali di Arab
Saudi. Mengeksekusi mati Sheikh Nimr berarti rezim Arab Saudi sedang
membangunkan macan tidur konflik sektarian di negerinya sendiri. Langkah itu
sangat tidak menguntungkan politik internal Arab Saudi. Spirit perlawanan
akan semakin membara di wilayah bagian timur Arab Saudi, yang ditinggali oleh
mayoritas penganut Syiah.
Dunia Islam, khususnya
Arab Saudi, harus membangun jembatan harmoni antara Sunni-Syiah, bukan justru
membenturkan keduanya. Dampak buruk di balik konflik sektarian tersebut lebih
besar daripada manfaatnya, bahkan tidak ada manfaatnya sama sekali. Iran
sebagai negara dengan penduduk mayoritas Syiah, sejak lama bersama al-Azhar,
Mesir, sedang berjuang membangun dialog dan titik temu antara Sunni dan
Syiah. Iran sadar betul bahwa masa depan peradaban Islam adalah mencari titik
temu, bukan titik tengkar.
Mestinya Arab Saudi
juga mendorong agar titik temu antara Sunni dan Syiah diutamakan daripada
titik tengkar. Sayangnya eksekusi mati Sheikh Nimr sudah dilakukan dan kita
sedang menghadapi narasi sektarian yang dipertontonkan di hadapan kita.
Hal yang bisa
dilakukan kita di negeri ini adalah tidak terpengaruh narasi sektarian
tersebut. Kita adalah negara Pancasila yang mempunyai budaya gotong royong.
Sunni-Syiah bisa hidup berdampingan dalam damai di negeri ini, pun
agama-agama dan keyakinan lain.
Sudah saatnya kita
menginspirasi dunia dengan lantang menyuarakan kembali perihal pentingnya
dialog dan titik temu. Sebagai negara dengan mayoritas Muslim, hendaknya kita
tidak menjadi penonton. Kita harus aktif membangun titik temu Sunni-Syiah.
Sejatinya kita terus merangkai persaudaraan, sebagaimana pesan Imam Abi bin
Abu Thalib bahwa ada dua model persaudaraan yang harus dibangun: persaudaraan
seagama dan persaudaraan sesama manusia, makhluk Tuhan. Itu tugas peradaban
yang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa diwujudkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar